29

49 1 7
                                    

Di perjalanan Huma masih terlihat marah. Eh, gak tau sih marah atau enggak. Masalahnya dia kan emang pendiam, sulit untuk tau dia marah atau enggak. Tapi yang jelas, gue dapat merasakan hawa-hawa permusuhan itu.

Digandeng tak mau, di ajak bicara cuman ham hem ham hem.

Pokoknya beda aja!

Dede gimana ini, mamah mu emosi ternyata??!

"Gue kesana bentar, kamu jangan jauh-jauh dulu!"

Saat ini mereka ada di sebuah festival, dan kayaknya gue punya ide untuk membuat Huma sedikit memaafkan gue. Walau sebenernya sampai sekarang gue gak tau kesalahan gue dimana. Tapi sudahlah yang penting ayang gue kaga ngamuk lagi.

Dan ya, di pertengahan tadi gue liat ada yang jual barang unik, gue mau beli sesuatu buat Huma. Tapi gue gak bisa tinggalin dia nih, gimana ya??

Semoga Huma kaga kenapa-kenapa deh, gue kan gak pergi lama.

.

.

.

Gue kembali dengan sebuah figuran di dalam kardus. Gue gak tau pastinya apa, tapi pas gue tunjukin fotonya amang-amang tukang jualnya tadi bilang gini,

"Hinata, Hinata."

Lah gue mikir, ini foto sama Hinata yang ada dipikiran gue kok beda.

Hinata yang dipikiran gue cantik, bohay, tete-eh maksudnya bajunya ungu, beuhhh cantik kek Huma gue.

Nah ini boro-boro cewek, ini cowok rambutnya oren terus senyum lebar banget. Tapi keknya masih gantengan gue sih ya, gue gini-gini kan nyata bisa Huma peluk manja.

Owh kalau lu semua mau tau gue dapet darimana foto ini, ini tuh ada banyak di galerinya Huma. Banyak banget! Ya harusnya dari sana gue udah tau kalau Huma wibu- ekhem maksud gue suka anime.

Beda vis!

Beda!

Harus terbisa bedain nih, nanti ngamok lagi kan sulit jadinya!

Alis gue mengerut melihat seseorang tengah melakukan hal aneh. Gue mendekat dan melihatnya, sedang apa dia di dekat selokan itu?

Seperti tidak asing?

Gue membantunya berdiri segera mungkin!

Gila, anak gue hampir kegencet brooo!

Jadi tuyul penyet nant- husss... jangan mikir aneh-aneh Vis, pamali! Pikir gue segera sadar.

"Hei... bangun itu kotor!"

"Cincin!"

"Ya??"

"Cincin Harvis!"

Gue gelagapan karena di bentak, walau seperti itu gue tetep mencoba membuat Huma tenang. Anak gue takut kenapa-kenapa ey. Tapi lebih utama ibunya, Huma gak boleh kepikiran hal aneh atau kelelahan.

"Iya, iya, emangnya cincinnya kemana? Jatuh?"

Huma mengangguk dan menunjuk selokan yang tadi coba dia ubek-ubek. Dia gak turun karena kesusahan oleh baju dan juga perutnya mungkin.

"Keselokan? Kok bisa?"

Huma menggeleng. "Gak tau."

Gue melihat kuku tangannya yang sudah kotor oleh tanah. Sebenartnya got ini gak jijik-jijik banget, tapi tetep aja ada tanahnya dan sekitarnya juga ada genangann air. Lihat saja baju Huma, sudah basah dan kotor.

Mungkin tanpa sadar tadi lututnya bertumpu pada tanah dan itu tepat dia atas genangan air. Gue meringis membayangkan itu. Mungkin cincinnya pas, tapi tak sepas itu. Kenapa gue sampe lupa mengganti cincin itu.

HuHeHaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang