18

57 4 2
                                    

"Enggh??" Huma bangun dari tidurnya dan menatap heran tempatnya sekarang.

Huma bangun dari tidurnya dan sedikit meringis karena kepalanya yang pusing.

"Udah bangun ternyata."

Seseorang memasuki kamar kecil ini. Huma menoleh dan mengangguk.

"Ssttt..." dia kembali meringis saat pusing itu kembali melanda.

Rasanya tidak nyaman.

"Kamu pusing?"

Karena anggukan tadi membuatnya pusing, kali ini Huma hanya berdehem.

"Hmm."

Dia tersenyum dan duduk di tepi kasur.

"Ini ada teh diminum ya," katanya setelah itu ia sedikit ragu melanjukan ucapannya.

Huma mengambil Teh itu dan meminumnya seteguk, dibantu oleh orang yang membawakannya tentu saja.

"Sebelumnya maaf, tadi malam aku terpaksa mengganti bajumu. Aku tidak mau kamu semakin sakit saat tidur dengan baju yang basah-eh??"

Huma menunduk malu saat lelaki itu mengatakan hal yang sebenarnya dia ingin tanyakan. Lelaki itu juga sama, langsung terdiam dengan wajah yang ikut memerah.

"Aku melakukan hal lebih apapun, kau harus percaya!" katanya lagi pelan.

Huma mengangguk pelan tapi tak lama dia meringis.

"Eh, kamu gak papa?" tanya lelaki itu memegang kepala Huma.

"Hmm... pusing," jawabnya.

Lelaki itu menghela nafas dan membantu Huma tidur.

"Aku kebelakang dulu, mau ambil bubur sama obat. Tunggu ya," katanya lembut sekali.

Huma berdehem.

Lelaki itu pergi dari sana.

Huma menatap langit-langit kamar kontrakan kecil ini. Tentu saja tidak sebagus atau semewah apartemen milik Harvis waktu itu, ada bekas rembesan air hujan di salah satu sisi langit-langitnya. Sebenarnya tidak jauh beda dengan kontrakannya dulu.

Kontrakan ini malah terbilang bagus karena besar dan memiliki beberapa kamar? Atau memang hanya satu? Tapi tetap saja bagus. Dulu miliknya hanya ruang tamu, dapur yang di depannya kamar mandi. Kecil sih, uangnya hanya cukup untuk itu.

Omong-omong, kontrakannya dulu ada yang kosong tidak ya? Kalau ada, mungkin dia akan memilih kembali saja.

Tapi mengingat harganya yang terjangkau serta diminati karena berada tak jauh dari pusat kegiatan kampus sekitar serta tempat karyawan pabrik. Membuatnya tidak yakin tempat itu benar-benar akan kosong.

Helaan nafas keluar dari mulut Huma.

"Ada apa? Kamu merasa sakit lagi?"

Apa mungkin sebaiknya Huma mengatakan masalahnya?

@@@

"Kenapa kamu bisa hujan-hujanan seperti semalam?" tanyanya saat Huma selesai makan.

"Di usir," jawab Huma singkat.

Lelaki itu meringis, sejak mengenal Huma ternyata perempuan itu memang seperti ini. Singkat, jelas dan padat. Paling hebatnya lagi, dulu Huma langsung to the poin soal dirinya yang ingin belajar masak dan memintanya menjadi guru.

Masih ingat dengan teman yang membantu Huma belajar memasak, serta teman yang membuat Harvis menjadi menggila? Dia adalah Warna, lelaki pemilik kedai tenda di kaki lima. Menunya tentu saja martabak.

HuHeHaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang