First Page

302 36 10
                                    

Sedari kecil, kekebalan tubuh Ara memang lebih lemah dibanding teman-temannya. Ara tidak boleh kehujanan, makan makanan sembarangan, ataupun kekurangan jam tidur. Jadi ketika ia demam setelah hujan-hujanan sore tadi, ia sudah tidak kaget lagi. Ia sudah mengira hal ini akan terjadi. Namun ia tak menyangka sakitnya akan seperti ini.

Kepalanya sakit seperti ingin meledak. Dingin menyelimuti tubuh. Padahal jika ia tak sengaja kehujanan, badannya hanya akan hangat dan hidung berair. Mungkin karena hujan sore tadi terlalu deras. Mungkin karena tubuhnya yang sedang kurang fit. Atau mungkin karena hatinya yang berdegup terlalu kencang.

Ara mengulum senyumnya.

Ia menyukai Jeno sejak kelas sepuluh. Kapan tepatnya Ara tak begitu ingat. Ara suka senyumnya, matanya, tulisan tangannya, perilakunya, dan semua tentang Jeno. Hanya Echan dan Chia yang tau. Dua orang itu yang selalu menjadi tempat bercerita tentang perasaannya. Ara memegang dada. Jantungnya terasa ingin jatuh hanya dengan memikirkan kejadian tadi sore. Ara merasa dirinya akan gila. Namun sakit kepala mengganggu momen kasmaran Ara. Kepalanya sangat pusing. Gadis itu merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya.

Suara pintu yang diketuk membuat Ara terpaksa harus mengeluarkan suara. "Masuk aja, pintunya gak dikunci." Ucapnya lemah.

Mamanya —yang bernama Lea— datang dengan masih membawa tas tangan. Terlihat baru saja pulang kerja. Papanya masih di luar kota, jadi kemungkinan besar Lea pulang sendirian.

"Kamu kenapa, Ra? Sakit?" Lea menempelkan telapak tangannya ke atas kening Ara. Sedikit terkejut karena suhu badan Ara sedikit lebih tinggi dibanding demam sebelumnya.

"Badan kamu panas." Ara hanya berdeham singkat. Ia seperti ingin memutuskan kepalanya karena sakit yang ia rasakan terlalu hebat.

"Udah makan? Kalo kamu emang gak enak badan, makan duluan aja, sayang. Gak usah nunggu Mama pulang." Lea mengusap rambut Ara lembut.

Sudut bibir Ara tertarik sedikit. Ara selalu suka jika Lea seperti ini. Hatinya merasa hangat. Ia merasa lebih berharga dibanding harta karun mana pun. Lea keluar dari kamar Ara dan kembali lagi 10 menit kemudian dengan nampan berisi mangkuk bubur, air minum, dan Paracetamol. Wanita itu bahkan belum berganti baju, tak ingin anak perempuannya telat makan barang sesaat pun ketika sedang sakit.

Ara makan disuapi oleh mamanya, meskipun gadis itu hanya menghabiskan sepertiga dari porsi bubur. Lagi, hatinya kembali menghangat. Mungkin, hari ini adalah hari keberuntungannya. Banyak hal baik yang terjadi hari ini. Setelah minum Parasetamol, Lea menaikkan selimut Ara hingga sebatas leher agar gadis kecilnya dapat tidur dengan nyaman. "Selamat malam, sayang." Lea memberi kecupan kecil di kening Ara, semacam jimat agar gadis kecilnya segera pulih.

Setelah mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur, Lea keluar dari kamar putrinya. Malam ini, Ara akan mimpi indah. Meskipun kepalanya sakit dan meskipun dingin begitu menusuk kulitnya. Dia yakin.

° ° °


Paginya, Echan berangkat sekolah sendiri. Tentu saja Echan tidak akan berubah menjadi menye ketika ia berangkat sendiri. Ia juga sudah tak kaget saat Lea mengatakan kalau Ara sakit. Hujan kemarin cukup deras, Ara yang daya tahan tubuhnya sedikit lemah tentu akan demam. Ia mengerti itu, ini juga bukan pertama kalinya ia berangkat ke sekolah seorang diri. Echan hanya merasa sedikit ... sepi.

Koridor kelas 11 ramai seperti biasanya. Echan dengan santai melenggang dengan menggunakan kacamata hitam. Jalan bak model lengkap dengan angin musim hujan yang bertiup. Orang yang mengenalnya sudah tidak heran lagi. Haekal Chandrawinata, murid yang selalu bertingkah random dan tak pernah kekurangan akal. Namun tak dapat disangkal, ada beberapa gadis yang berdebar karena tingkahnya hari ini.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang