Thirty-fifth page

98 16 6
                                    

Kedua remaja berlari secepat mungkin menuju parkiran sekolah, sesekali Nata melihat sekitar untuk mencari keberadaan Tian yang mungkin saja masih berada di lingkungan sekolah. Akan tetapi, mengingat bagaimana cara Tian menghilang, rasanya tidak mungkin jika kakak kelasnya itu masih berada di kawasan sekolah.

Dengan tergesa-gesa Jeno dan Nata memakai helm. Sejenak Nata terdiam, ia mencekal lengan Jeno yang hendak menyalakan mesin motor. Jeno berdecak lalu menoleh, "Apa lagi?! kita harus buru-buru!" Mata Jeno memerah disertai kilauan cahaya, ya ... Jeno menahan air mata, entah apa sebabnya, Nata tidak tau pasti.

"Kabarin dulu, siapa tau anak-anak lagi ada kegiatan. Lagi pula, kita mau kemana?" Nata mencoba menenangkan Jeno, walaupun sembari berdecak, untung saja Jeno menuruti ucapan Nata.

"Lo kabarin Injun." Perintah Jeno yang langsung diangguki oleh Nata. Lelaki itu segera mengeluarkan ponsel lalu menelepon Injun. Sudah tiga kali menelepon, tetapi tidak ada jawaban dari Injun. Jeno yang sudah selesai mengabari Echan memandang Nata yang terlihat gelisah.

"Kenapa?" tanya Jeno seraya membuka helmnya, Nata menggelengkan kepala, "Injun gabisa dihubungin." Jeno menghela napas lalu kembali memakai helmnya, "Kirim chat aja, biar die nyusul." Nata hanya mengangguk, sedangkan Jeno sudah lebih dulu meninggalkan Nata yang masih mengetik pesan untuk Injun.

° ° °


Sesampainya di rumah Echan, Nata dan Jeno saling pandang. Mereka melihat mobil Injun terparkir rapih di depan rumah Echan dengan tatapan heran. Tidak ingin membuang waktu, keduanya acuh dan melangkah masuk setelah memarkirkan motor di depan mobil Injun.

Baru saja hendak mengetuk pintu, secara tiba-tiba pintu terbuka menampilkan Injun dan Echan yang terlihat sangat panik. Nata dan Jeno kepalang heran melihat keduanya, "Kenapa?" Nata pertama kali bertanya dan hanya mendapat reaksi Echan yang langsung memandang Injun.

"Kenapa, Njun?" tanya Jeno, lelaki itu sangat geram karena pertanyaan Nata tidak direspon sama sekali.

Injun menggelengkan kepala, "Gue ga bisa jelasin lagi, lo semua harus liat sendiri." Injun berjalan mendahului ketiga sahabatnya, walaupun masih dilanda kebingungan, Nata dan Jeno mengikuti langkah Injun begitu juga dengan Echan yang mungkin sudah mengetahui alasan Injun terlihat sangat panik.

Injun berada di bagian belakang mobil, lelaki itu seperti memperhatikan sekitar sebelum membuka bagasi mobilnya. Melihat tingkah Injun membuat Jeno serta Nata ikut melihat sekitar, sampai dimana Injun membuka bagasi mobilnya.

Sontak Jeno dan Nata membelalakan matanya, begitu juga Echan yang hanya terdiam. Lukisan mawar bersinar yang sempat Injun tunjukan kini berubah menjadi segumpal asap merah delima.

Jeno menatap Injun, "Sejak kapan?" tanya Jeno, Injun menggelengkan kepala, "gatau, tadi balik sekolah gue liat dah begini." Mereka berempat terdiam melihat lukisan Injun yang berubah dengan sendirinya.

Ditengah keheningan, tubuh Nata tiba-tiba saja melemas hingga terhuyung dan berpegangan pada Jeno. Echan dan Injun terkejut lalu sontak memegang lengan Nata. Nata hanya terdiam memandang lukisan tersebut, "Lukisannya ...," Nata memejamkan matanya sejenak sebelum kembali melihat lukisan Injun, "lukisannya bergerak! kalian liat ga?!" Nata dengan panik meninggikan suaranya seraya menunjuk ke arah lukisan tersebut.

Nata perlahan menjauh sembari memegang kepalanya, "Anjing! plis lukisan lo gerak, Njun! Liat!" Nata terus menunjuk-nunjuk lukisan tersebut sembari membentak Injun.

"Nat, apa yang lo liat?" suara tenang Echan membuat Jeno dan Injun hanya bisa terdiam menoleh ke arahnya.

"Hutan, rombongan orang berjubah hitam, istana, lorong, lentera, dan ...," Nata menyebut semuanya tanpa memandang lukisan tersebut, sampai ia mengingat satu gambar yang sangat ia kenali, "Ara sama Chia! mereka ada di sana!" mendengar ucapan Nata membuat Echan menghela napas.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang