Twenty-first Page

110 25 11
                                    

Canggung menyelimuti  Nata dan Jeno, mereka hanya duduk bersebelahan tanpa berbicara. Niya menatap Nata dan Jeno bergantian, yang semula ia fokus pada cemilan hingga berhenti karena suasana canggung yang menyelimutinya.

Helaan napas Jeno terdengar, Niya dan Nata sontak menatap ke arahnya. Jeno menoleh, melihat Nata yang sepertinya mempunyai banyak pertanyaan, "Satu pertanyaan, ga lebih," ucap Jeno, lalu menatap ke arah lain.

Nata mengangguk, ia minum terlebih dahulu sebelum bertanya, "Kenapa kerja? bapak sama bunda lo bangkrut, apa gimana?" Jeno terkekeh, ia sudah yakin Nata akan bertanya mengenai hal itu. 

Jeno menggelengkan kepala, "Mau aja, gue mau bantu bunda walaupun sekedar uang jajan sama kebutuhan pribadi. Terus, ini ... siapa?" Jeno melirik Niya yang tengah memperhatikannya dan Nata sembari memakan cemilan.

Nata tersenyum, "Ade gue, kalo cerita dari awal panjang banget. Intinya dia ade tiri gue, bokap sempet nikah lagi waktu nyokap susah hamil." Jeno hanya mengangguk, ia mengetahui soal mama Nata yang susah hamil dari bundanya.

Tapi tidak dengan ayah Nata memiliki istri lain.

"Kenapa lo baru tahu sekarang?" tanya Jeno, Nata hanya mengangkat kedua bahunya.

Jeno menoleh menatap Niya, ia sadar jika gadis itu memperhatikannya. Niya segera mengalihkan pandangan menatap Nata, hal itu membuat Nata terkekeh geli. Bukan hanya Jeno, tetapi Nata juga menyadari jika adiknya memperhatikan Jeno.

Jeno mengulurkan tangan, Niya hanya memandang tangan Jeno lalu menatap Nata dengan kening mengerut. Nata terkekeh, "Kenalin, ini temen Abang, namanya Jeno." Ucap Nata seraya menepis tangan Jeno.

Jeno meringis lalu mencubit paha Nata, tetapi ia langsung tersenyum pada Niya yang hanya menatap dirinya dan Nata dengan raut kebingungan. 

Niya tersenyum pada Jeno, "Ni-Niya," ucapnya masih dengan senyuman yang manis.

"N semua ya nama anak bapak lo." Ucap Jeno seraya terkekeh, lucu saja baginya jika ada saudara kandung yang huruf depannya sama.

"Lah, iya anjir baru sadar gue. Eh iya, Jen." Jeno menoleh, menaikan satu alis sembari menyedot minuman. "Waktu di kantin, lo mau ngomong apaan anjir?! gue penasaran banget, asli dah." Jeno meletakkan gelasnya, ia mengerutkan kening mencoba mengingat kejadian sore tadi.

"Sumpah, gue bahkan gatau kenapa manggil lo." Nata mendecih lalu mendelik ke arah Jeno, "Masa iya langsung lupa anjir, gajelas banget manusia ini," cetus Nata, setelah itu ia fokus pada Niya yang hanya menyimak obrolan Nata dan Jeno.

Jeno terdiam, ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi seharian ini sedari pagi. Akan tetapi hanya hari-hari biasa yang ia ingat, karena tidak berhasil mengingat apapun Jeno membuka ponsel.

Keningnya mengerut melihat notifikasi Injun yang begitu banyak, segera ia membuka sandi ponsel lalu membaca dengan teliti pesan yang Injun berikan.

Jun

|lgi ngapain sih bangsat, ga diangkat

|itu suara siapa anjir? msh ragu ga lo?

|btw gue udh terjemahin suaranya

|Bahasa latin, Jen. artinya "Bunga yang berkilauan, bersinar dalam gelap. Kembali seperti semula, perbaiki yang rusak.

|kayak mantra, entah mantra apa

|coba deh, lo dengerin lgi siapa tau ada yg salah, nih video yg suaranya jernih

|tdi si echan ngasih yg suaranya udh dia perjelas.

Jeno menatap video yang Injun kirim, ia membaca ulang pesan dari Injun karena tidak paham dengan yang Injun bicarakan. Walaupun sudah membaca ulang, Jeno tetap tidak mengerti maksud pesan Injun. Jeno pun menatap video yang dikirim Injun, segera ia buka dan menontonnya.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang