Thirty-second Page

119 22 3
                                    

Senyap menyelimuti keluarga kecil yang hanya diam saling menatap, tak ada satupun jawaban yang keluar dari sepasang suami istri untuk pertanyaan yang putrinya ajukan. Karena jengah dengan keheningan, Ara menghembuskan napas sebelum beranjak dari tempatnya.

Decitan kursi membuat atensi Lea dan Leon mengarah pada Ara. Lea memejamkan matanya, dengan napas yang berat kini ia mengucapkan jawaban yang Ara nantikan, "Kamu ga bisa kirim sinyal lewat mimpi kalo kamu sendiri belum berinteraksi intens sebelumnya. Kamu cuman bisa masuk dan kendalikan mimpi seseorang yang sudah kamu kenal." Lea menjelaskan tanpa membuka mata.

Ara diam terpaku, kakinya bahkan belum melangkah, perlahan ia kembali menghadap ke arah Lea dan Leon, menatap kedua orang tuanya. "Terus, siapa yang bakalan berkorban buat tanggung jawab pelarian aku nanti?" Mendengar pertanyaan Ara, Lea sontak membuka matanya lalu menatap Leon.

Leon menghembuskan napasnya berat lalu menatap Ara, "Nenek Echan atau Echan, karena cuman mereka berdua yang bisa melepas kutukan itu. Bahkan setelah kutukan itu terlepas, Ayah maupun Mama gatau kamu kedepannya bagaimana, Ra." Kembali dikejutkan dengan fakta, Ara hanya mampu terdiam.

Air mata tanpa permisi mengalir saat mengetahui Echan salah satu korban atas pelarian dirinya. Dengan kasar Ara mengusap air mata yang mengalir di pipi, tatapannya pada Lea dan Leon tak lagi bersahabat, "Seharusnya Mama sama Ayah itu ga bersatu! kenapa kalian ga nurut aja sama orang tua kalian?!" Ara menjerit histeris diakhir katanya, bahunya naik-turun menandakan emosi yang meluap-luap.

"Kalo aja kalian ga nekat, mungkin kalian berdua udah hidup dengan tenang dan tentram. Ara ga minta dilahirkan seperti ini, Ma ... Yah ...," lirih Ara, membuat Lea tak lagi dapat membendung tangisannya.

"Aku benci kalian!" tungkas Ara sebelum akhirnya pergi meninggalkan dapur diiringi suara tangisan. Ara berlari memasuki kamar tak memperdulikan Leon yang terus-menerus memanggilnya.

Tangisan Ara kian menjadi, emosinya pun meletup-letup hingga seisi kamar ia hancurkan. Ara menatap pantulan dirinya di cermin. Penampilannya sangat kacau, rambut berantakan dengan wajah sembab dibanjiri air mata. Dengan emosi yang menggebu-gebu, Ara melempar botol parfum dan memecahkan kaca hingga pantulan dirinya tak lagi terlihat sempurna.

Seolah tak memperdulikan sekelamatan, Ara bersimpuh di atas serpihan kaca sembari menangis meratapi fakta kehidupannya yang selama ini tak ia ketahui.

° ° °


Hujan rintik di pagi hari membuat udara semakin sejuk, dingin hingga menusuk kulit membuat siapapun ingin terus berleha-leha dalam dekapan selimut. Akan tetapi, Ara memilih terjaga dan berangkat lebih awal tanpa berpamitan. 

Karena cuaca yang tak mendukung, jalanan kini terlihat sunyi. Para pedagang kaki lima yang biasanya sudah berbaris rapih kini belum terlihat. Banyak ruko-ruko kosong yang disinggahi orang yang meneduh atau hanya sekedar mengenakan jas hujan.

Diiringi musik favorit, Ara terus melajukan mobilnya hingga sampai di sekolah. Untuk pertama kalinya, Ara datang sepagi ini. Mungkin akan terlihat asing bagi siapapun yang mengenalinya, tetapi dengan suasana hati yang tak begitu baik, Ara akan menghiraukan godaan yang mungkin ia dapati.

Ara menutup payungnya lalu melihat ke arah langit. Hujan semakin deras, sialnya Ara tak mengenakan jaket atau outer apapun. Gadis itu menggelengkan kepala agar tetesan-tetesan air hujan yang berada di kepalanya jatuh. Ia pun merapihkan payung lipatnya kemudian berjalan menyusuri lorong kelas.

Ara terus mengusap kedua lengan yang terasa membeku, udara pagi ini cukup menusuk kulit, terlebih Ara hanya memakai seragam tanpa balutan apapun. Ditengah heningnya sekolah, Ara tiba-tiba saja merasakan seperti banyak orang yang memperhatikannya. Mencoba tak memikirkan lebih hal itu, Ara terus melangkah hingga ia tersentak ketika terdapat jaket yang menutupi tubuhnya.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang