Thirteenth Page

125 29 8
                                    

Setelah menempuh perjalanan lumayan jauh, akhirnya Nata dan Injun sampai di kediaman Injun. Rumah megah dengan gerbang tinggi menyambut kedatangan mereka. Nata memperhatikan Injun yang buru-buru memasuki rumah, terlihat Injun yang berlari dari gerbang hingga pintu utama rumah.

Dengan napas terengah-engah, Injun berbalik badan sejenak untuk melihat apakah Nata masih di depan rumahnya atau tidak. Ternyata tidak, Nata baru saja pergi setelah dirinya berlari memasuki rumah. Melihat Nata sudah pergi, Injun menatap pintu rumah yang masih tertutup. Jantungnya berdegup cepat. Faktor pertama karena ia sehabis berlari dan faktor utama karena mamanya pulang lebih cepat dari biasanya.

Injun mengumpulkan keberanian sebelum membuka pintu, setelah berkali-kali menghela napas akhirnya Injun memberanikan diri menghadapi setiap omelan yang mamanya berikan.

Injun membuka pintu. Sunyi ... itu yang Injun rasakan, ia masih belum melihat tanda-tanda bahaya akan menyerang dirinya. Kembali melangkah, memasuki rumahnya lebih dalam dengan langkah pelan.

Tubuh Injun menegang, melihat mamanya sedang duduk di sofa ruang keluarga sembari meminum teh. Rasanya tenggorokan Injun kering secara tiba-tiba, bahkan tubuhnya sulit untuk digerakan.

"Ngapain diem aja di sana? cepet bersih-bersih terus makan malem." Ucap Wenda —mama Injun— seraya memperhatikan Injun dari atas hingga bawah. Injun tersadar, dengan gerakan kaku ia melaksanakan perintah Wenda.

Setelah berganti pakaian dan bersih-bersih seadanya, karena sebelum ia pergi dengan Nata ia sudah mandi. Jadi ia rasa tidak perlu mandi lagi, hanya butuh bersih-bersih area wajah dan berganti pakaian. Walaupun sudah makan sebelumnya, Injun memaksakan perutnya untuk kembali terisi.

Ia sangat takut jika mamanya tahu kalo dirinya baru pulang main. Seharusnya malam ini Injun ada les, tetapi ajakan main Nata sulit sekali untuk ia tolak. Lagi pula, jadwal lesnya itu dadakan dan bukan jadwal asli, jadi Injun pikir itu tidak jadi masalah.

Di meja makan tidak ada obrolan khusus, hanya ada suara dentingan sendok bertemu dengan piring. Injun sebenarnya benci suasana seperti ini, tetapi ia juga tidak berani untuk memulai percakapan dengan kedua orang tuanya.

"Bu Chintia bilang kamu ga dateng, tadi kemana?" Di tengah keheningan, Cahyo —ayah Injun— memulai pembicaraan yang membuat Injun terdiam sejenak. Tangannya mulai gemetar mendengar pertanyaan yang Cahyo lontarkan padanya.

"Ngerjain tugas di rumah Nata," jawab Injun, berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang.

"Kamu ga pernah ngerjain tugas kalo malem." Saut Wenda seraya menatap anak bungsunya. Injun terdiam, ia tidak tau harus menjawab apa lagi mendengar perkataan Wenda.

"Kabur? main? mau sampe kapan kamu kayak gitu? liat nilai kamu, setiap ulangan selalu turun. Gimana kamu mau masuk univ di luar negeri?" Ucap Cahyo seraya menatap Injun, sorot matanya menunjukkan jika dirinya benar-benar marah pada Injun.

"Pa ... peringkat ku masih di atas rata-rata, nilaiku turun mentok diangka 90. Segitu masih kurang? segitu udah lebih dari cukup, Pa...." Jawab Injun seraya meletakan sendok yang semula ia genggam erat.

Cahyo menyipitkan matanya, terlihat jika dirinya sangat marah mendengar jawaban Injun, "Lebih dari cukup katamu? lebih dari cukup itu, kalo kamu menetap diangka 100! 90 itu ga ada apa-apanya, kamu ga bisa contoh kakak kamu ap-" Perkataan Cahyo terputus begitu Injun secara tiba-tiba memukul meja makan.

Injun berdiri dengan mata berair, tangannya terkepal sampai bergetar memandang ke arah Cahyo.

"Stop bawa-bawa kakak, Papa gatau kan kalo kakak itu gaada karena apa? SEMUA KARENA TUNTUTAN PAPA DAN MAMA! Jadi stop bandingin aku sama kakak!" Injun membentak Cahyo, matanya mulai berkaca-kaca.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang