Twenty-third Page

112 27 3
                                    

Deru napas menggema memenuhi pendengaran, gadis itu terus berlari menghindari sesuatu. Ia terus berlari menjelajahi hutan yang hanya dikelilingi pepohonan serta ilalang yang tinggi.

Keringat membasahi tubuh, ia terus berlari sesekali menoleh ke arah belakang, memastikan sesuatu yang entah apa itu. Saat ia kembali menatap ke depan, tiba-tiba saja ia terjatuh. Suara di sekelilingnya berubah, semula ia mendengar suara dedaunan yang tertiup angin kini berubah menjadi sangat hening.

Gadis itu mendongakkan kepala, ia terkejut karena dirinya tidak lagi berada di hutan. Tidak tahu dimana tepatnya, kini ia berada di sebuah lorong sempit nan gelap. Tidak ada penerangan apapun, gadis itu mencoba merangkak seraya meraba sekeliling.

Tiba-tiba saja setitik cahaya terlihat, ia menyipitkan mata dan mencoba bangkit. Berjalan perlahan mengikuti asal cahaya, masih dengan meraba dinding di sisi kanannya. Deru napas menggema, rambutnya kini basah karena keringat. Entah kenapa keringatnya begitu banyak, padahal udara di sini begitu dingin hingga menusuk tulang.

Semakin ia mendekati setitik cahaya itu, cahaya itu semakin menjauh.

Jantungnya berdebar, merasa seperti akan terjadi sesuatu pada dirinya. Gadis itu berlari sembari terisak, ia mengejar satu titik cahaya yang semakin menjauh ketika ia mengejarnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara langkah orang berlarian di belakangnya. Ia membalikkan tubuh untuk melihat sumber suara, matanya membelalak melihat sekumpulan orang berjubah hitam berlari ke arahnya seraya membawa lentera bercahaya emas.

Ia kembali membalikkan badan dan berlari. Akan tetapi, ia merasa seperti berlari di tempat. Isakannya menjadi tangisan yang menyedihkan hingga menggema di penjuru lorong. Hingga tiba-tiba saja suara larian di belakangnya menghilang, lalu kabut merah menabrak dirinya.

Bola mata gadis itu perlahan berubah menjadi hitam pekat, sekilas ia melihat dirinya sendiri sedang duduk di singgasana menggunakan gaun hitam. Akan tetapi, sedetik setelahnya ia merasa seperti di hantam sesuatu sangat kencang hingga terpental.

"Non!" Ara membuka matanya setelah tubuhnya tersentak, ia melihat bibi dengan wajah khawatir sembari menangis. Ia mengerutkan kening lalu melihat sekeliling —Ternyata mimpi— Akan tetapi, kepalanya sangat sakit seperti ingin meledak, suhu tubuhnya juga terasa begitu panas padahal telapak tangannya sedingin es.

"Bi? kenapa?" tanya Ara, ia mencoba bangkit dibantu bibi. Bibi mengusap air matanya lalu memberikan segelas air mineral pada Ara.

"Tadi, waktu Bibi mau pamit pulang, Non Ara lagi kejang-kejang." Bibi menjelaskan dengan suara parau, sepertinya bibi menangis lumayan lama.

Ara menghela napas, "Yaudah, Bibi pulang gih, aku baik-baik aja kok." Bibi menggelengkan kepala, ia memeluk Ara erat seperti anaknya sendiri. "Bibi temenin sampe Non ke rumah Echan ya? Bibi khawatir." Ucap bibi seraya mengusap kepala Ara lembut.

Hati Ara menghangat, dikelilingi orang yang sayang padanya adalah anugrah yang tidak mungkin banyak orang rasakan, tetapi ia mendapatkannya. 

"Gapapa, Ara baik-baik aja kok. Tadi mimpi buruk aja, mangkannya begitu." perlahan Ara melepas pelukan bibi, menggenggam tangannya dan menatap dengan mata teduh, berharap bibi percaya jika Ara akan baik-baik saja.

Walaupun ragu, bibi tetap menuruti ucapan Ara, "Yasudah, tapi kalo kenapa-napa cepat hubungin Echan ya? atau Echan bibi suruh ke sini buat temenin sampe Non selesai bersih-bersihnya?" tawar bibi, tetapi Ara menggelengkan kepala pertanda menolak tawaran bibi.

"Gapapa, Bi. Pulang gih, nanti kemaleman loh sampe rumahnya." Dengan berat hati, akhirnya bibi beranjak untuk pergi. Ara mengantar sampai pintu utama. Ara tersenyum seraya melambai pada bibi yang di jemput suaminya.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang