Sixteenth Page

109 25 3
                                    

Bunyi alarm membangunkan Chia, ia mengerjapkan mata lalu melihat sekeliling kamar. Dari semalam ia tidur dengan posisi duduk. Chia terdiam sejenak untuk mengumpulkan nyawa sembari menatap potongan helai rambut, ia menghela napas lalu beranjak dan mengambil gunting yang tergeletak.

Ia menatap pantulan diri di cermin, melihat bagaimana rambutnya yang dipotong tak beraturan. Entah kali berapa ia menghela napas, Chia segera merapihkan rambutnya. Memotong sebagian hanya untuk terlihat lebih rapih, setelah merasa lebih baik dari sebelumnya Chia meletakkan gunting di meja rias.

Tanpa permisi air matanya mengalir membasahi pipi, dengan cepat ia mengusap lalu melangkah menuju kamar mandi. Kamarnya begitu luas, mungkin dapat menampung kurang lebih sepuluh orang.

Chia tidak langsung mandi, ia terdiam dahulu di bawah shower yang menyala. Air mengalir membasahi tubuhnya serta menyamarkan air mata, Chia memeluk tubuh sendiri yang mulai kedinginan.

Waktu masih menunjukkan pukul empat dini hari, tetapi Chia sudah siap dengan seragam sekolah lengkap. Chia menatap dirinya di cermin. Cermin panjang yang mampu menampilkan seluruh tubuh.

Gadis itu menghela napas sebelum mencoba tersenyum, senyumannya nampak begitu indah, membuat siapapun tidak akan menyadari apa yang terjadi dibalik senyuman tersebut.

Chia mengambil tas lalu keluar kamar. Chia selalu mengunci kamar, baik ketika ia ada di dalam maupun akan keluar kamar. Baru saja Chia membalikkan badan setelah mengunci pintu, gadis itu terkejut hingga mundur dan menabrak pintu kamar.

Di belakang ada Chika sedang memperhatikannya, penampilan Chika khas orang baru sekali bangun tidur. Chia masih pada posisi meringkuk di depan pintu kamar memandangi Chika, begitu juga Chika yang masih di posisi memperhatikan Chia dengan wajah baru bangun tidur bercampur kebingungan.

"Ini belum ada jam lima loh, De?" kata Chika, lalu melirik ke kamarnya melihat jam dinding.

"Mau gue berangkat jam dua sekalipun, itu bukan urusan lo," ketus Chia. Ia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Chika yang masih memandangnya.

"De! Achia!" Chia seakan menulikan pendengarannya, gadis itu terus melangkah menuju pintu utama tidak memperdulikan Chika yang terus memanggil.

"Pak Seto semalem izin pulang kampung, kamu berangkat sama Kakak ya?" Chia menghentikan langkahnya lalu segera memeriksa ponsel. Chia memejamkan mata melihat pesan supir pribadinya. Sepertinya pak Seto mengirim pesan saat Chia sedang tertidur.

"De?" Chia menghela napas, akhirnya ia membalikkan badan menatap Chika yang berdiri di anak tangga terakhir. Chika menatapnya penuh harap, ia sangat ingin dekat dengan Chia walaupun hanya sekedar mengantar sekolah.

"Cepet," jawab Chia singkat. Chika tersenyum mendengar jawaban Chia, ia mengangguk lalu berlari menuju kamar untuk bersiap seadanya.

Sembari menunggu Chika bersiap, Chia memilih duduk di ayunan taman halaman depan. Menikmati udara dini hari yang sejuk, mungkin lebih tepatnya dingin. Karena dinginnya sampai menembus tulang. Bodoh, Chia lupa mengambil jaket ataupun outer, ia hanya memakai seragam serta almamater sekolah.

Chia berdecak menatap pintu rumah, "Lama banget anjeng, ini keburu tukang buburnya ngantri." Celetuk Chia seraya melihat jam di ponsel. Alasan Chia selalu berangkat pagi adalah untuk bubur langganannya. Sebenarnya, lokasi bubur itu tidak jauh dari sekolah. Akan tetapi, antrian memasuki jam 06.30 pagi membuat Chia menyerah jika datang saat jam berangkat pada umumnya.

"Ayo de!" Panjang umur, Chika keluar dengan pakaian santai sembari menutup pintu utama. Chika jalan lebih dulu menuju garasi, Chia mengikuti sembari memeluk tubuhnya. Menunggu Chika memanaskan mobil, Chia hanya menatap sekeliling. Rasanya sangat canggung, Chia tidak biasa dengan suasana ini.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang