Eighteenth Page

108 21 13
                                    

Suara notifikasi membangunkan Ara, gadis itu tersentak lalu segera beranjak dari tidurnya. Napas yang terengah serta keringat bercucuran, padahal pendingin ruangan berada disuhu rendah. Ara menatap sekeliling, ia menghela napas setelah sadar berada di kamar.

Ara melirik ponsel, melihat notifikasi pesan dari Lea. Ia tersenyum, hatinya perlahan menghangat membaca beberapa pesan. Ara tidak membalas pesan Lea, ia hanya membaca lewat notifikasi. Ara memejamkan mata seraya menyandarkan tubuh, kepalanya terasa pusing karena langsung duduk setelah bangun.

"Gue mimpi apaan sih?" gumamnya, mata Ara lurus menatap kaki yang terbungkus selimut. Belakangan ini ia mendapatkan mimpi yang sangat aneh, tidur Ara tidak tenang beberapa hari belakang. 

Mimpi itu terasa begitu nyata, bahkan ia dapat merasakan apa yang ia lakukan di mimpi. Seperti tadi, ia bermimpi jika dirinya seperti menjadi seorang ratu, dengan mahkota indah serta kalung yang indah. Akan tetapi, ia melihat kelima sahabatnya tersiksa hidup-hidup di hadapannya.

Suara teriakan, rintihan, serta tangisan mereka begitu jelas. Keringat dingin kembali bercucuran mengingat mimpi buruk itu. Ara menggelengkan kepala, mencoba untuk melupakan bunga tidur tersebut. Mungkin saja karena dirinya begitu lelah dan selalu kepikiran tentang mimpi kecelakaan keluarga Kael.

Ara menatap jendela kamar, ternyata langit sudah gelap. Ara segera beranjak untuk menutup jendela serta gorden, setelah itu langsung menuju kamar mandi. Tidur sore membuat Ara menjadi linglung, contoh saja ketika ia hendak pergi ke kamar mandi malah turun tangga ingin ke dapur.

Setelah selesai mandi, ia memberi pesan pada Echan terlebih dahulu, ia memberitahu Echan jika ia akan telat sedikit karena baru bangun. Ara meletakan ponsel di nakas, ia melihat lukanya yang basah karena selepas mandi.

"Padahal luka kecil, kenapa sakit banget ya." Gumam Ara seraya mengambil saputangan baru, mamanya membuat banyak saputangan. Jaga-jaga karena Ara sering sekali terluka.

Ara melipat saputangan persegi menjadi segitiga, setelah itu ia lipat memanjang dari sisi lebar hingga sisi runcing. Ara mengambil tas yang ia letakkan di samping nakas lalu mengambil botol kecil berisi air obat buatan mama. Semua tentangnya harus handmade, untuk alasannya Ara pun tidak mengerti.

Karena satu tangan memegang saputangan, jadi Ara membuka tutup botol menggunakan satu tangan. Kesialan seolah menghantui Ara hari ini, botol tersebut jatuh dan air yang sisa sedikit tumpah di kasurnya.

Ara mendengus kesal menatap bercak basah tersebut, "Jancok!" umpatnya. 

Dengan malas Ara beranjak, ia harus mengambil persediaan air obat itu di kamar Lea. Ara menuruni tangga sembari memainkan saputangan, ia menggeolkan pinggul ke kanan dan kiri seiring melangkah menuruni tangga. Sudah seperti penari. Ara tertawa sendiri, karena merasa geli dengan tingkahnya.

Setelah sampai di anak tangga terakhir, Ara berlari menuju kamar Lea. Walaupun larinya terlihat aneh, karena satu kaki masih sakit ketika terhentak.

Tanpa ragu, Ara membuka pintu kamar Lea, "Dimana ya?" ucapnya, ia menjelajah seisi kamar orang tuanya mencari keberadaan botol obat tersebut.

Ara terus mencari sampai ia melihat satu lemari kecil di sudut ruangan, gadis itu tersenyum karena telah menemukan apa yang ia cari. Ara melangkah mendekati lemari kecil, ia membuka pintu kaca lemari lalu mengambil satu botol kecil. Saat menutup lemari, pandangan Ara terfokus pada kain merah di sisi kanannya.

"Sejak kapan ada background di sini?" Ara beranjak, ia melangkah menuju kain merah gelap. Ara terus memandangi kain tersebut dengan dahi berkerut, "Ini mama sama ayah abis photoshoot kah?" Ara terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri, menerka-nerka sejak kapan kain merah ada di kamar Lea serta untuk apa kain itu terpajang.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang