Thirtieth Page

100 23 0
                                    

Angin berhembus pelan menyapu surai tebal milik Nata, di tengah hembusan angin, ia menatap ke arah langit. Langit biru cerah, dihiasi kabut hitam bergelombang bak ombak di pantai. Keningnya mengerut melihat pemandangan yang tak pernah ia nampak sebelumnya.

Nata melihat sekeliling padang rumput yang lapang. Entah berada dimana dirinya kini membuat jantung Nata berpacu lebih cepat.

Nata menyipitkan mata kala melihat Jeno. Sahabatnya itu berdiri tegak dan memandang ke arah langit. Ketika hendak memanggil Jeno, pandangan Nata tidak sengaja terfokus pada kastil yang tak jauh di belakangnya.

Ia membalikan tubuh, memandangi kastil dengan teliti hingga tertuju pada satu jendela yang terbuka.

Ia menyipitkan mata upaya melihat isi ruangan dengan jelas. Namun, tiba-tiba saja tubuhnya tertarik hingga berada di satu ruangan yang teramat megah nan indah.

Nata berdecak kagum dengan dekorasi ruangan tersebut, tetapi ia mendapati satu hal yang begitu menjanggal. Di dinding ruangan, terdapat berbagai macam lukisan yang abstrak saat dilihat dari dekat. Namun, sangat jelas jika dilihat dari jarak tiga langkah. 

Nata menyusuri ruangan, melihat satu persatu lukisan besar yang tergantung di ruangan hingga langkahnya terhenti begitu bertemu dengan Injun.

Nata terkejut sampai menunjuk Injun yang tengah melukis dengan pakaian khas bangsawan, mulutnya kelu tak mampu terbuka hanya untuk memanggil nama Injun.

Injun yang semula tak menyadari kehadirannya kini menoleh, tangan yang semula memoles kuas terhenti, kening berkerut memandangi Nata dari ujung kaki hingga kepala.

Nata menggelengkan kepala, ia kembali melihat-lihat lukisan yang sebelumnya sudah ia perhatikan.

Nata menyadari satu hal, seluruh lukisan yang terpajang adalah lukisan bergerak yang pernah ia lihat sebelumnya di rumah Jeno, ketika Injun menunjukan lukisannya.

Telinga Nata tiba-tiba saja berdengung kencang, sontak ia menutup telinga upaya menyamarkan suara dengungan tersebut.

Bukannya mereda, suara tersebut semakin kencang hingga membuat kepalanya terasa ingin meledak. Nata memejamkan mata, ia bersimpuh dan menunduk dengan kedua tangan menutup telinga.

Sampai akhirnya, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Nata tersentak dari tidurnya dengan napas terengah-engah, ia melihat sekeliling.

Rambut Nata basah keringat, begitupun dengan pakaian bahkan bantal yang Nata tiduri.

Yora menatap khawatir pada putranya, ia menghela napas lega saat Nata membuka mata. Segera ia peluk Nata membuat sang putra dilanda kebingungan. Nata hanya terdiam dengan pandangan kosong.

"Mimpi apa kamu sampe kejang-kejang gitu?" Pertanyaan Yora sontak membuat Nata terkejut, ia tak menyangka jika dirinya bisa sampai seperti itu.

Nata hanya menggelengkan kepala, Yora tersenyum seraya merapihkan rambut berantakan Nata, "Yaudah kalo belum bisa cerita, siap-siap gih. Tuh, si Jeno udah di ruang tamu." Setelah memberitahu kedatangan Jeno, Yora segera pergi meninggalkan Nata yang membelalakkan mata sembari mencari ponsel.

Nata menepuk kening melihat jam menunjukan pukul enam lewat sepuluh menit. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas bersiap-siap. Karena panik dirinya terlambat, Nata sampai melupakan apa yang telah terjadi pada dirinya di mimpi.

° ° °

Nata menghela napas, ia melirik Jeno yang belum juga selesai mendumal. Sedari di rumah hingga kini mereka menuju kelas, Jeno masih saja membahas keterlambatan Nata.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang