Fourth Page

153 23 0
                                    

Udara sejuk dengan cahaya rembulan menerangi bumi sungguh suasana yang indah, ditambah dengan taburan bintang yang berkelap-kelip menghiasi langit.

Sungguh suasana malam yang indah. Terlebih lagi ditemani semangkuk mie kuah dengan telur setengah matang. Tidak lupa juga dengan tambahan berbagai macam sayuran, untuk menambah toping pada mie mereka.

Echan dan Ara menikmati semangkuk mie buatan Syara -Mama Echan- Masakan Syara selalu menjadi favorit kedua remaja tersebut, apa lagi mie buatannya. Walaupun Ara tidak boleh makan sembarangan, terutama mie. Akan tetapi, mie buatan Syara sulit sekali untuk ditolak.

"Chan, menurut lo ... gue sama Jeno gimana?" Echan menyeruput kuah mie sembari mengerutkan kening, ia menegakkan tubuhnya sejenak lalu menoleh ke arah Ara.

"Gimananya ini, konsepnya apa?" Ara menghembuskan napas, terdengar begitu berat bagi Echan. Bahkan, gadis itu sampai menyandarkan tubuhnya pada ayunan.

"Gue ... mau confes. Tapi, takut." Ara memelankan suaranya pada kata terakhir, tetapi Echan tetap bisa dengar dengan jelas. Tentu saja, posisi mereka terlalu dekat bahkan saat ini mereka duduk berdempetan.

"Apwah yuang loh twakuthin?" Suara Echan hampir tidak terdengar jelas, karena ia berbicara sembari mengunyah mie.

"Telen dulu kek bangsat. Ga ngerti gue, ngomong apa kali," cetus Ara, ia kembali menyuap mie sembari menunggu Echan menelan habis mie yang ada di mulutnya.

"Apa yang lo takutin, hm?" Ara menatap langit malam yang indah, butuh beberapa detik untuk Echan mendapat jawaban dari Ara.

"Persahabatan kita, maybe?" Ara mengangkat kedua bahunya, ia kembali menyuap mie sembari mengayunkan pelan ayunan yang sedari tadi tak bergerak.

Echan tersenyum, ia sedikit membantu Ara untuk menggerakkan ayunan. Ia meletakan mangkuk yang sudah habis di kursi taman, yang kebetulan mereka gunakan sebagai meja untuk minuman.

"Ra, resiko suka sama sahabat sendiri, ya itu. Gausah takut soal pertemanan, gimana kita setelah lo jujur tentang perasaan lo, itu tergantung dari lo berdua." Ara melirik Echan dengan mulut penuh, Echan terkekeh melihat pipi Ara yang mengembang dengan bercak kuah di sekitar bibir.

"Seharusnya lo udah sadar dari awal naro perasaan ke Jeno." Echan melanjutkan perkataannya, sembari membersihkan bercak kuah di sekitar bibir Ara.

"Karena, mau lo confes atau engga. Itu tergantung dari cara lo nyembunyiinnya. Kalo lo ga confes tapi sikap sama tatapan lu beda, itu sama aja boong. Jeno bukan orang yang ga peka sama sekitar, dia bahkan lebih peka dari Nata, Ra." Ara menyetujui itu, Jeno memang terlihat biasa saja. Akan tetapi, lelaki itu lebih perhatian di antara teman-temannya, bahkan sesimple catatan saat ia tidak masuk saja Jeno siapkan.

Ahh, Ara tersadar sesuatu. Mungkin ia salah tangkap dengan perlakuan Jeno saat itu. Jeno orang yang begitu peka, bisa-bisanya dia salah menangkap kebaikan yang Jeno berikan padanya.

"Jadi gimana?" Tanya Ara kepalang bingung. Echan yang awalnya fokus menatap langit kini beralih menatap Ara.

"Gimana, apa lagi?" Tidak menjawab, Echan malah balik bertanya.

"Ya menurut, lo. Gue harus confes atau engga." Echan menaikan kedua bahunya juga menaikan kedua alisnya.

"Itu perasaan lo dan cuman lo yang bisa jawab, kalo gue jawab 'confes aja' tapi hati lo ga siap. Ya ... ga bakalan lo lakuin, jadi ambil tindakan sesuai kata hati lo aja." Ara menggigit sumpit setelah mendengar jawaban Echan.

"Arghh! Pusing banget, mending pacaran sama lo aja lah gue." Echan tertawa mendengar perkataan Ara, ia mengambil mangkuk Ara yang sudah kosong lalu ia tumpuk dengan mangkuk kosong miliknya.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang