Sixth Page

154 21 0
                                    

Suasana canggung mengiringi perjalanan Ara dan Tian menuju ruang Guru. Tidak ada salah satu dari mereka berdua yang ingin memecahkan keheningan.

Suasana sekolah begitu ramai, bahkan sepanjang koridor menuju ruang Guru dikelilingi murid yang sedang berkunjung.

"Gas? ga ke lapangan?" Tian dan Ara menghentikan langkahnya secara bersamaan. Mereka menatap ke arah seseorang yang memanggil Tian.

"Duluan gih. Ada urusan dulu sama, pak Tomi." jawab Tian sembari menepuk bahu temannya. Ara hanya terdiam memperhatikan keduanya, begitu teman kakak kelasnya menjauh, Ara mulai menyadari sesuatu.

"Nama Kakak, siapa? Kok panggilannya beda sih?" Akhirnya Ara memecahkan kecanggungan, rasa penasarannya lebih dominan dari pada rasa gengsinya.

Tian terkekeh, "Panggilan gue emang, Bagas. Tapi ... anak basket manggil gue, Tian." Jawab Tian sembari melihat Ara sekejap. Ara hanya menganggukan kepala, rasa penasarannya sudah terjawab.

"Udah lama temenan sama, Jeno?" gantian, kini Tian yang mulai pembicaraan mereka.

"Eh?" Tian menatap Ara yang juga menatapnya dengan raut wajah kebingungan. 

"Kenapa?" Ara menggeleng kepalanya, memutuskan untuk menatap kearah depan, "lumayan lama. Mungkin ... sekitar awal SMP." jawab Ara diiringi senyuman kecil. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia teringat awal mula ia dan teman-temannya bisa bersatu.

"Kirain dari kecil. Keliatannya akrab banget soalnya, ternyata dari SMP." Ucap Tian tanpa menatap Ara, pandangannya lurus kedepan sesekali tersenyum pada seseorang yang menyapa dirinya.

"Kakak lumayan terkenal ya?" Tian akhirnya menoleh kearah Ara mendengar pertanyaan adik kelasnya itu.

Tian tersenyum sembari menghela napas, "engga juga. Karena ikut organisasi aja, jadi lumayan banyak yang kenal. Lo sendiri, lumayan terkenal juga kan?" Ara mengerutkan kening mendengar ucapan Tian. Karena, Ara tidak merasa jika dirinya seterkenal itu di sekolahnya.

"Engga ah ... terkenal dari mananya, coba." saut Ara sembari terkekeh. Tian hanya tersenyum melihat Ara tertawa. 

Entah kenapa Ara merasa perjalanan menuju ruang guru terasa begitu lama. Padahal, seingatnya dari taman menuju ruang Guru tidak sejauh itu. Setelah obrolan tadi, mereka kembali hening tanpa berniat berbicara kembali. Namun, secara tiba-tiba Tian menutupi hidung Ara menggunakan saputangan.

Ara sempat mundur beberapa langkah, "itu ... lo mimisan." jelas Tian melihat raut wajah Ara yang tidak bersahabat.

Setelah mendengar penuturan Tian, Ara memeriksa hidungnya dengan menjauhi saputangan milik Tian. Ternyata benar, ada bercak darah di saputangan milik Tian. Dengan cepat, Ara mengeluarkan saputangan miliknya dan menutupi hidungnya. Melihat Ara mempunyai saputangan juga, Tian mulai melangkah mundur dan memberi jarak diantara mereka.

"Lagi sakit? mau ke UKS aja ga? nanti gue bilang sama pak Tian kalo datengnya setelah bel pulang aja." tawar Tian dengan nada khawatir, tetapi berbanding kebalik dengan raut wajahnya yang tanpa ekspresi.

"Gausah, udah berenti juga kok." jawab Ara sembari memperlihatkan hidungnya yang tidak lagi mengeluarkan darah. Tian sedikit ragu, ia takut jika adik kelasnya ini menutupi rasa sakitnya.

"Beneran?" tanya Tian untuk memastikan. Ara mengangguk mantap untuk meyakinkan  Tian.

"Harum saputangan kakak, persis kayak obat yang dikasih mamaku tau." Tian menatap saputangannya, ia hanya tersenyum lalu memasukan saputangan itu ke saku celana.

"Tapi ini bukan obat, ini cuman wewangian." jawab Tian lalu kembali melangkah. Ara masih terdiam menatap punggung kakak kelasnya itu.

"Tapi ... kenapa bisa sama persis wanginya? Padahal mama bilang, kalo itu ramuan yang mama bikin sendiri," gumam Ara. Tidak ingin memusingkan diri dengan hal sepele, gadis itu berlari kecil mengejar Tian yang sudah lumayan jauh darinya.

Evanescent [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang