Part 07

161 13 0
                                    

Rudy mendecih. "Entah apa yang kamu pikirkan...."

Rachquel memotong ucapan ayahnya, "Bukan apa yang aku pikirkan, tapi entah apa yang Papa pikirkan. Oh, aku baru ingat. Papa hanya punya satu anak tunggal, yaitu Danuarga Industrial Product. Hanya perusahaan besar itu yang Papa cintai, bukan aku. Itu yang Papa pikirkan, kan?"

Rudy tidak menjawab.

Rachquel tersenyum. "Aku memiliki koneksi dengan San Daily, mereka tidak akan berani membuat artikel apa pun tentang keluarga Danuarga."

"Bagaimana dengan Everlyn? Kita bisa menghukum kesalahannya dengan cara Danuarga. Kalau kamu memaksa menuntutnya, mentalnya akan down, kamu tahu dia masih terlalu muda?" ucap Rudy.

Rachquel tersenyum pahit. "Entah kenapa aku merasa Papa terkesan lebih memihak Everlyn? Yang anaknya Papa itu siapa? Aku atau Everlyn? Tapi, aku mengerti. Dibandingkan aku, Everlyn jauh lebih cerdas dan pintar dalam akademik. Itu sebabnya Papa lebih pro sama dia, karena dia bisa saja menjadi pemegang DIP setelah Papa. Ya, aku akui dia sangat luar biasa dan pandai, bahkan merebut suami orang pun dia sanggup."

Rudy mendengus kesal.

"Kesalahan yang dia perbuat tidak bisa bahkan tidak pantas ditutupi lagi dengan kebaikan atau apa pun, apalagi dengan usia. Kalau Papa ingin memaklumi kelakuannya, ke depannya dia bisa lebih parah dari ini," ucap Rachquel. Ia membuang napas sejenak. "Jangan menutupi kesalahan besar dengan sebuah kebaikan kecil. Itu tidak akan membuat kesalahan besar tersebut tertutup, tapi akan terlihat semakin besar di mataku."

Rudy mengangguk kecil. "Baiklah, artinya kamu tidak mau mendengarkan Papa, bukan?"

Rachquel tidak menjawab.

"Maaf mengganggu waktumu, Nyonya Rachquel Graceva."

Setelah ayahnya pergi, Rachquel menghela napas berat. Ia memegangi pelipisnya yang terasa nyeri. Wanita itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 11.30.

"Jam istirahat," gumamnya. Rachquel keluar dari ruangannya. Ia berpapasan Purinda dan Cherryl.

"Kamu istirahat, ya," kata Rachquel pada Purinda.

"Oh? Iya, Nyonya." Purinda pun berlalu setelah mengangguk santun.

Rachquel menggenggam tangan Cherryl. "Ayo, Cherry mau makan siang di mana?"

Cherry tampak berpikir. "Cherryl mau chicken!"

"Kalau begitu, kita ke sana." Mereka keluar dari gedung Rachquel Bouquet. Beberapa karyawan juga keluar untuk makan siang.

Pandangan Rachquel tertuju pada Jestian yang sedang bersandar pada mobilnya sambil menelepon.

Rachquel membatin, dia masih di sini?

Tampaknya Jestian selesai menelepon. Ia menoleh pads Rachquel dan Cherryl.

"Oh, Anda belum pulang?" tanya Rachquel.

Jestian tersenyum mendapatkan sapaan dari Rachquel. "Barusan saya mau pulang, tapi mobil saya sepertinya bermasalah."

Rachquel melirik mobil Jestian. Mobil sebagus itu bisa mogok? Yang benar saja, bahkan mobilnya terlihat masih baru.

"Saya akan menelepon montir," ucap Rachquel sambil mengambil ponsel dari saku celananya.

"Oh, tidak perlu. Barusan saya sudah menelepon orang yang akan mengurusnya," tolak Jestian.

"Ada sebuah cafe chicken di dekat sini. Kami akan makan siang di sana. Kalau Anda tidak keberatan, Anda bisa makan bersama kami. Jaraknya tidak terlalu jauh, kita bisa jalan kaki," ajak Rachquel.

PLUVIOPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang