Part 10

170 12 0
                                    

Seperti biasa, Jestian datang berkunjung ke Rachquel Bouquet di jam makan siang. Ia mengajak wanita itu makan siang di restoran seperti hari-hari sebelumnya. Bedanya, kali ini mereka hanya pergi berdua, karena Cherryl sedang pergi ke sekolah.

Pelayan menyajikan makanan pesanan mereka ke meja. Setelah itu, pelayan pergi.

"Aku kira Cherryl sudah pulang, biasanya murid-murid SD pulang sebelum jam makan siang, kan? Apalagi yang kelas 1," tanya Jestian.

"Di SD Hardiswara jam pulangnya sama semua, yaitu jam 1 siang. Katanya SD Hardiswara menanamkan sholat berjamaah dan tadarus di sekolah bagi semua murid yang beragama Islam. Yang Non Islam diharuskan membaca buku di perpustakaan sampai jam 1," jawab Rachquel.

"Oh, aku baru tahu. Itu bagus untuk penanaman toleransi sejak dini, bukan? Ternyata jam pulang SD di Indonesia sama seperti di Singapura. Murid SD di Singapura masuk jam 7.30 dan pulangnya jam 13.00," kata Jestian.

"Mas Jestian bersekolah di Singapura?" tanya Rachquel yang terlihat kagum.

Jestian mengangguk lalu ia menjawab, "Iya, itu pun tidak lama. Hanya sampai kelas 4. Sebelumnya ibu dan ayahku sempat berdebat, karena ibuku ingin aku bersekolah di Inggris, sementara ayahku ingin aku bersekolah di Singapura. Tapi, karena aku mengalami culture shock di Indonesia mau pun di Singapura, jadi aku bersekolah di Inggris sampai SMP. Aku kembali ke Indonesia dan melanjutkan pendidikan SMA di sini."

"Kuliah di sini juga?" tanya Rachquel.

Jestian menggeleng. "Sepertinya waktu itu aku masih kesulitan beradaptasi dan aku kuliah di London."

Rachquel terlihat sedih. "Setidaknya sekarang Mas Jestian sudah merasa nyaman di sini, bukan?"

Jestian mengangguk. "Iya, aku nyaman tinggal di Indonesia. Dulu ibuku juga mengalami culture shock setelah menikah dengan ayahku dan pindah ke Indonesia. Tapi, sampai sekarang ibuku sedikit belibet kalau ngomong."

Rachquel mengangguk mengerti.

Jestian menatap Rachquel lalu tersenyum. "Jadi, aku harap kamu mengerti kalau suatu hari nanti bertemu dengannya."

Rachquel juga tersenyum. "Aku mengerti, aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut."

Hening.

Mereka menyantap hidangan makan siang dengan tenang dan pelan.

"Mas Jestian enak banget bisa pergi dan kuliah di luar negeri. Sementara aku... jangankan kuliah di luar negeri, liburan di luar negeri pun belum pernah," kata Rachquel pelan.

Jestian tampak terkejut dan tidak percaya dengan ucapan Rachquel. "Kamu belum pernah pergi ke luar negeri?"

Rachquel menggelengkan kepalanya.

Masa, sih? Dia terlihat seperti bule, aku pikir salah satu dari orang tuanya orang luar. Sulit dipercaya, putri dari keluarga terkaya nomor 1 di Indonesia belum pernah pergi ke luar negeri sekali pun, batin Jestian.

"Sewaktu SMP, aku bercita-cita ingin menjadi dokter. Aku ikut organisasi PMR waktu itu. Aku ingin menjadi dokter atau perawat di Danuarga Hospital seperti Kak Meisa. Tapi, karena ayahku punya masalah pribadi dengan Om Michael dan Om Robert, dia melarangku menjadi dokter sekali pun atau seandainya pun aku bekerja di rumah sakit lain," ucap Rachquel.

Jestian terlihat sedih. Ia mendengarkan tanpa memberikan tanggapan.

"Aku...." Rachquel tidak melanjutkan kata-katanya. Ia tersenyum pahit. "Maafkan aku, Mas. Aku malah curhat begini."

Jestian menggeleng. "Tidak apa-apa, aku tidak masalah, kok. Kalau kamu belum siap, kamu tidak perlu menceritakannya sekarang. Aku akan mendengarkan beban pikiran kamu kapan pun kamu siap."

Setelah makan siang, mereka kembali ke Rachquel Bouquet. Baru saja sampai di depan gerbang, ponsel Rachquel berdering. Ia mengambil ponselnya. Ada nama Yoan di layar. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, ada apa, Yoan?" tanya Rachquel.

Di seberang sana, Yoan tampak menyetir. "Jangan lupa, besok kita akan datang ke pengadilan. Aku akan menjemputmu."

"Aku tahu, aku akan menunggumu," ucap Rachquel.

Jestian memperhatikan Rachquel yang sedang menelepon.

Yoan membelokkan mobilnya ke kiri. "Iya, besok aku...." Tiba-tiba sebuah truk besar menabrak mobilnya.

Rachquel tersentak kaget mendengar suara benturan keras di seberang sana. Ia terlihat panik. "Yoan?! Yoan?! Apa yang terjadi?! Kenapa kamu diam?!"

Jestian menghampiri Rachquel. "Kenapa? Ada apa?"

Rachquel menatap Jestian dengan ekspresi khawatir. "Sepertinya pengacaraku mengalami kecelakaan."

"Aku akan menelepon ambulans, tapi pengacaramu sedang di mana? Di jalan mana?" tanya Jestian.

"Aku tidak tahu," kata Rachquel kemudian berlalu.

Jestian mengambil ponselnya lalu ia menyusul Rachquel. "Kamu mau ke ke mana?"

"Aku mau pergi mencari Yoan," kata Rachquel yang nyaris menangis. Ia memasuki garasinya.

"Kamu sedang terguncang, jangan menyetir sendirian, aku akan mengantarmu untuk mencarinya," ucap Jestian.

Di dalam mobil, Jestian tampak fokus menyetir, sementara Rachquel menelepon ambulans menggunakan ponsel Jestian. Sesekali Jestian melihat pada Rachquel yang sedang menelepon. Wanita itu terlihat gemetar karena cemas.

"Pelan-pelan," kata Jestian yang melihat Rachquel berbicara dengan suara bergetar.

Beberapa saat kemudian, Rachquel mengakhiri panggilannya. Ia memberikan ponsel tersebut pada Jestian. "Danuarga Hospital."

Jestian mengambilnya. Ia melajukan mobilnya menuju ke Danuarga Hospital. "Bagaimana?"

"Mereka bilang, ambulans sudah pergi sebelum aku menelepon. Mungkin orang di lokasi kecelakaan menelepon ambulan lebih dulu dariku. Mereka sudah memastikan kalau korban kecelakaan yang mereka bawa adalah Yoan yang baru saja tiba di rumah sakit," kata Rachquel.

"Semoga pengacaramu baik-baik saja," kata Jestian.

"Kenapa dia meneleponku sambil menyetir? Ini salahku juga, seharusnya aku tidak mengangkat telepon darinya. Kalau aku tidak mengangkat telepon darinya, dia tidak mungkin mengalami kecelakaan," tangis Rachquel.

Jestian menghentikan mobilnya, karena lampu merah menyala. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Belum tentu pengacaramu kecelakaan karena sedang menelepon. Mungkin ada pengendara yang lalai dan tidak sengaja menabrak mobilnya."

"Oh, bagaimana ini?" Rachquel menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Jestian merasa kalau Rachquel bereaksi terlalu berlebihan mengingat orang yang mengalami kecelakaan adalah pengacaranya, bukan anggota keluarganya. Jestian merasa sedikit cemburu.

Sesampainya di Danuarga Hospital, Rachquel dan Jestian duduk di ruang tunggu.

Rachquel memegang ponselnya dengan kedua tangan yang bergetar. Melihat itu, Jestian mengusap punggung Rachquel.

"Tenangkan dirimu," kata Jestian.

Tiba-tiba Rachquel teringat sesuatu. "Jangan-jangan...."

Dokter keluar dari ruangan, Rachquel segera berdiri dan menghampirinya. "Bagi keadaan Yoan, Dok?"

"Dia baik-baik saja, hanya mengalami benturan di dahinya. Tapi, karena shock, dia tidak bisa berdiri dan masih gemetar," kata Dokter.

"Syukurlah," kata Rachquel.

Jestian menghela napas lega.

"Kalian bisa menemuinya."

Setelah dokter pergi, Jestian angkat bicara, "Aku menunggu di luar saja."

Rachquel tampak berpikir. Ia menggandeng lengan Jestian. "Masuk saja, tidak apa-apa."

"Tapi...."

"Tidak apa-apa," kata Rachquel.

Mereka pun masuk ke dalam ruangan.

☔☔☔

15.03 | 01 Oktober 2021
By Ucu Irna Marhamah

PLUVIOPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang