Yadi pulang ke mansion. Ia melihat Ferdian yang tampaknya baru pulang dari sekolah. Terlihat dari seragam guru yang masih melekat di tubuhnya. Pria itu mengotak-atik ponselnya sambil duduk bersandar di sofa.
"Ferdian, apa kamu punya pacar?" tanya Yadi sembari duduk di samping putra tunggalnya itu.
Ferdian menoleh kemudian menggeleng. "Tidak, memangnya kenapa?"
"Kalau kamu mau membangun rumah tangga lagi, Papa punya kenalan. Dia gadis baik-baik dari keluarga Danuarga," kata Yadi.
Ferdian tampak berpikir. "Kenapa Papa tiba-tiba membicarakan ini?"
"Karena Papa tahu, kamu membutuhkan seorang pendamping hidup. Selain itu, Cherryl juga membutuhkan sosok seorang ibu. Dia masih sangat kecil dan memerlukan kasih sayang darimu dan pasanganmu gantinya," jelas Yadi.
"Wanita mana yang bisa memperlakukan anak tirinya seperti anak kandungnya sendiri? Paling nanti wanita yang Papa pilihkan lebih menyayangiku dibandingkan anak itu. Aku sudah bilang, lebih baik anak itu dirawat di panti asuhan," kata Ferdian.
Yadi menatap kesal pada putranya. "Kenapa kamu selalu mengatakan itu?"
"Mengatakan apa?" tanya Ferdian.
"Kamu selalu menyebut Cherryl dengan sebutan 'anak itu', kamu tidak pernah menyebutnya, 'anakku' atau 'putriku'," kata Yadi.
Ferdian bangkit dari tempat duduknya sambil menghela napas berat. "Terserah Papa mau bilang apa, tapi aku tidak mau dijodohkan dengan gadis pilihan Papa. Aku juga tidak mau merawat anak itu."
Yadi akan mengeluarkan suaranya, tapi Ferdian sudah pergi. Pria paruh baya itu mendengus kesal.
Di tangga, Ferdian bersungut-sungut, "Gadis macam apa yang Papa pilihkan? Palingan gadis murahan. Mana ada gadis yang mau menikahi pria duda yang sudah memiliki anak."
Rachquel mendongkak menatap Rudy. Pria paruh baya itu tersenyum kecut lalu ia mengusap bahu Rachquel dan berlalu pergi.
Buliran bening menetes dari sudut matanya. Rachquel tidak menginginkan perjodohan itu. Meski Rudy mengatakan kalau perjodohan bisa saja batal dilaksanakan, karena semuanya tergantung pada Ferdian. Kalau Ferdian menyukai Rachquel, maka perjodohan itu akan berlanjut pada pernikahan.
Rachquel berharap Ferdian tidak menyukainya. Ia tidak siap menikah. Ia masih ingin bebas dan melakukan segala hal sendirian.
Suatu hari, Rudy mendatangi mansion Yadi dan mengatakan kalau Rachquel bersedia menerima perjodohan itu kalau Ferdian juga bersedia.
Ferdian sendiri menguping pembicaraan mereka.
Yadi tersenyum. "Apa kamu benar-benar merelakan putri tunggalmu menikah dengan putraku? Kamu tahu putraku sudah pernah menikah dan sekarang memiliki anak, kan?"
Rudy tidak segera menjawab. Ia menatap Yadi. "Aku berterima kasih, karena waktu itu kamu menolongku. Sebagai gantinya, aku bersedia menikahkan putriku dengan putramu."
Ferdian memutar bola matanya. "Seorang ayah yang menjual putrinya? Wah, apakah pria tua dari keluarga Danuarga itu pantas disebut sebagai seorang ayah? Aku semakin yakin kalau putrinya tidak sebagus yang diceritakan ayahku."
Namun, di saat pertama bertemu, Ferdian menarik kata-katanya. Ia menyukai Rachquel pada pandangan pertama. Pria itu langsung jatuh cinta. Ia bahkan tidak mengira kalau Rachquel juga menyukai putrinya. Bahkan bisa dibilang Rachquel lebih menyukai putrinya ketimbang dirinya.
Sayangnya, Everlyn masuk ke dalam hubungan Ferdian dan Rachquel, bahkan sebelum pernikahan. Hal tersebut yang membuat Ferdian terikat dengan Everlyn dan perlahan cintanya terhadap Rachquel mulai memudar.
Sebaliknya, Rachquel mulai mencintai Ferdian. Ia menerima kekurangan dan kelebihan pria itu. Hingga di satu titik ia menyadari kalau Ferdian berselingkuh dengan sepupunya sendiri, gadis yang selama ini ia anggap sebagai adik kandungnya. Seketika rasa cinta Rachquel terhadap Ferdian berubah menjadi rasa sakit dan benci.
☔ End Flashback ☔
Rachquel menunduk menyembunyikan air matanya.
Yadi menggenggam tangan mantan menantunya itu. "Maafkan Papa. Papa yang terlalu egois dan membuatmu tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Papa menceritakan ini agar kamu tahu yang sebenarnya. Rudy tidak sepenuhnya bersalah. Ada aku yang membantunya. Kami berdua bersalah."
Jestian menatap punggung istrinya yang berguncang menandakan kalau wanita yang sangat ia cintai itu sedang menangis.
Dalam perjalanan pulang, Jestian tampak fokus menyetir. Rachquel menatap jalanan yang dilewati mobil tanpa mengatakan sepatah kata pun sejak keluar dari ruang rawat Yadi.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jestian.
Rachquel menoleh pada suaminya lalu mengangguk pelan. "Meski pun kenyataan pahit yang aku dengar, setidaknya aku sudah mengetahui kebenarannya. Aku senang mengetahui kalau Papa sangat menyayangiku, tapi aku jadi merasa bersalah pada Everlyn."
Jestian menoleh sesaat pada istrinya. "Apa yang akan kamu lakukan?"
Rachquel mengedikkan bahunya. "Aku tidak tahu."
"Kenapa kamu merasa bersalah pada Everlyn? Kalau melihat ke belakang, dia sudah menghancurkan kebahagiaan kamu," ucap Jestian.
"Bukan masalah apa yang dia perbuat terhadapku, tapi apa yang dilakukan oleh ayahku padanya," sanggah Rachquel.
"Kamu merasa bersalah atas apa yang dilakukan ayah kamu?" tanya Jestian.
Rachquel terlihat sedih. "Saat marah, aku pernah mengatakan, kalau sifat dan sikap Everlyn yang buruk disebabkan karena dia anak yang tidak punya orang tua. Namun, sekarang aku merasa sangat bersalah karena mengatakan itu, karena ayahku sendiri yang telah membunuh orang tuanya."
Jestian mengangguk mengerti. "Kamu sangat baik. Meski pun kamu juga menderita, tapi kamu bisa melihat dari sudut pandang orang lain."
Keesokan paginya di rumah Ferdian.
"Aku berangkat." Ferdian mencium pipi kiri dan kanan Everlyn.
Everlyn tersenyum. "Hati-hati di jalan, Mas."
Ferdian memasuki mobilnya. Mobil tersebut melaju meninggalkan rumah. Everlyn melambaikan tangannya.
Saat Everlyn akan memasuki rumah, security menghampirinya. "Nona, sebentar."
Everlyn menoleh melihat security menyerahkan sebuah paket. "Ada paket untuk Nona."
"Pagi-pagi begini?" tanya Everlyn sambil menerima paket tersebut. Ia mengernyit melihat nama Rachquel yang tertera sebagai pengirim paket.
"Ada apa dengannya? Kenapa dia tumben mengirim paket?" gumam Everlyn sambil memasuki rumah.
Di kamarnya, gadis itu membuka paket tersebut. Ternyata isinya formulir pendaftaran di Universitas Germada dan beberapa surat lainnya.
"Kenapa dia mengirim formulir pendaftaran kuliah segala?" gumam Everlyn.
Ada surat tulis di bawah formulir tersebut.
~Kalau kamu punya waktu, apa kita bisa bicara empat mata? Ada yang ingin aku bicarakan dan ini sangat penting. Rachquel Mahali~
"Dia sudah berganti nama belakang rupanya," gumam Everlyn sambil meletakkan isi paketnya ke meja. Gadis itu membuka laptop dan mencari Universitas Germada di internet.
"Aku belum pernah mendengar nama Universitas Germada seumur hidupku. Ini membuatku penasaran." Everlyn tampak antusias.
Muncullah foto bangunan besar di mana universitas tersebut ternyata adalah salah satu universitas swasta yang cukup besar dan berkualitas.
"Wah, lumayan juga." Everlyn mengambil surat tangan dari Rachquel dan kembali membacanya.
"Apa yang membuatnya ingin bertemu denganku? Hal penting apa yang ingin dia bicarakan?" gumam Everlyn.
☔☔☔
18.14 | 01 Oktober 2021
By Ucu Irna Marhamah
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE
RomanceBLURB ~ Bahkan orang yang mengaku suka hujan pun akan berteduh, karena pada akhirnya kita tahu yang kita sukai pun dapat menyakiti. ~ _Ucu Irna Marhamah_ Malam itu Jestian pulang dari kantor. Ia menyetir mobilnya saat hujan deras. Pria itu hampir m...