3

2.3K 266 7
                                    











Hari kembali berganti. Zeedan memacu motornya dengan kecepatan yang di atas rata-rata, dikarenakan bangun kesiangan membuatnya hampir telat untuk berangkat ke kampus. Setiap jalan Zeedan selalu merutuki dirinya karena begadang bersama teman-temannya untuk bermain game. Padahal jelas-jelas Zeedan ingat bahwa pagi ini dia akan menjalani ulangan harian. Bodoh sekali emang. Harusnya dia semalam menuruti perkataan sang nenek untuk tetap di rumah dan belajar. Namun, Zeedan tetapalah Zeedan. Apapun yang berhubungan dengan game dia akan segera sat set, menghiraukan lainnya.

Cklik

Zeedan mencopot helm nya dengan terburu-buru. "Ah bangsat, semoga Pak Jidi belum masuk kelas," harap Zeedan setelah melihat jam di tangannya.

Zeedan berlari menelusuri lorong menuju kelasnya. Harap-harap belum ada dosen di sana, walaupun dia telah telat 10 menit.

Brak!

Tangan Zeedan bertumpu pada pintu kelas, dia berdiri dengan nafas yang terengah- engah. Matanya melihat ke arah meja dosen yang masih kosong. "Untung saja," gumam Zeedan bersyukur.

Kakinya dengan segera pergi ke bangku miliknya. "Woi cok, ngape lu ngos-ngosan gitu? Abis di kejar babi hutan?" tanya Aldo teman kota nya.

"Bangsat, sembarangan. Kesiangan bangun gua cok," jawab Zeedan.

"Woi, Didi, bagi air minum lu. Gua haus," pinta Zeedan pada lelaki berkacamata yang nampak cupu tapi sebenarnya dia ngambis dan cukup pintar.

Didi dengan suka rela membagikan air minum miliknya apa Zeedan.

"Kok bisa kesiangan? Tumben banget, padahal setau gua semenjak lo pindah ke kampung rumah nenek lo, lo selalu berangkat pagi, bahkan mungkin lo yang buka gerbang kampus ini, hahah..."

"Sialan." Ucap kesal sambil mengembalikan botol minum milik Didi.

"Gua semalem abis ngegame sama temen-temen gua di sana. Sampe jam setengah satu gua, baru balik ke rumah. Di rumah gua baru bisa tidur jam satu. Efek minum kopi kali jadi susah tidur. Jadinya, ya gini gua kesiangan," jelas Zeedan.

"Itu tuh akibat kalau elu maen kagak ajak-ajak gua. Makanya lain kali kalau elu main tuh ajak gue kali. Semenjak elu di kampung, kita ga pernah main Zee. Gimana kalau ntar selsai ngampus kita mian?"

"Boleh, ntar istirahat kita bicarain lagi. Pak Jidi udah masuk tuh," kata Zeedan.

"Byuhh, ulangan harian nih. Lu belajar ga Zee?" tanya Aldo.

"Nggak."

"Mampus lo kalau ga bisa ngerjain ntar," kata Aldo menaku-nakutin.

"Gue nyontek elu lah. Lu belajarkan semalem?"

"Wooo... tentu tidak," jawab Aldo disertai dengan cengiran kuda.

"Sialan, ni anak." Zeedan menggeplak pelan kepala Aldo dengan buku miliknya.

Kelas kini nampak sepi karena siswa/i sedang fokus pada ujian yang terlaksana. Pak Jidi yang terkenal sebagai dosen kiler serta mata yang tajam dan sat set membuat para siswa/i yang ingin melakukan hal licik yaitu mencontek dibuat kesulitan olehnya.

Salah satunya Zeedan, matanya diam-diam nampak melirik samping kanan kiri mencari jawaban. Jujur saja otaknya ngeblank, terasa kosong. Apa mungkin efek belum sarapan dari pagi karna terburu-buru, membuat otaknya susah diajak kerja sama sekarang.

Tak beda dengan Aldo. Dia sesekali menggaraku kepalanya yang terasa panas, memikirkan jawaban yang harus di isi. Ingin sekali dia membuka ponselnya dan mencari jawaban di google. Tapi dia tak seberani itu di mapel Pak Jidi. Karena ketegasannya yang tak segan-segan langsung merampas hp siswa/i dan mereset hp itu di detik selanjutnya.

Zeedan dan Aldo kini diam-diam saling mengode meminta jawaban. Tangan mereka yang menjadi alternatif tukar jawaban sekarang. Karna tak mungkin mereka sat sut sat sut mengeluarkan suara. Sama saja menyerahkan diri namanya.

Ujian Harian telah selesai, semua jawaban pun telah terkumpul di meja guru. Di rasa sudah semua, Pak Jidi keluar kelas padahal jam nya masih tersisa sekitar satu jam-an. Namun, ia memilih untuk keluar kelas karena malas mengajar katanya, toh juga target dia hari ini hanyalah ulangan harian.

Jadi setelah ulangan, Zeedan dan Aldo memilih pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang terasa bergemuruh meminta asupan. Kantin cukup ramai, tapi untung saja masih ada tempat yang bisa mereka duduki.

"Biar gua yang pesen, lu cari tempat duduk. Lu mau apa?" tanya Zeedan.

"Bakso sama es jeruk," jawab Aldo.

"Oke, gue pesen dulu."

Zeedan mengantri untuk memesan makanannya. Sumprit rame banget ternyata yang memesan makanan. Mereka sudah seperti emak-emak yang sedang mengantri sembako, banyak yang tak sabaran dan berdesak-desakan. Zeedan yang malas untuk berdesak-desakan pun lebih memilih diam menunggu tempat yang nanti terlihat mulai sepi.

"Weh Zeedan," sapa seorang perempuan yang bernama Feni.

Zeedan menoleh lalu tersenyum. Matanya salah fokus pada seseorang yang berada di samping Feni.

Kalian tau siapa? Coba tebak.

Ya benar dia adalah Shani.

Sungguh kebetulan sekali sebenarnya. Shani ternyata satu kampus dengan Zeedan tapi berbeda jurusan saja. Namun, kenapa Zeedan tak mengetahui itu. Dia baru mengetahui belum lama karna melihat Shani yang selalu berpakaian rapi di waktu pagi  dan saat ditanya ternyata Shani berkuliah di tempat yang sama dengan Zeedan.

"Hai, mau pesen makan?" tanya Zeedan berusaha terlihat ramah.

"Iya, tapi ko rame banget," jawab Feni

"Mau pesen apa, sekalian biar gua pesenin."

"Lo mau apa Shan?" tany Feni.

"Nasi kuning aja sama es teh," jawab Shani.

"Gue samain kayak Shani, Zee," kata Feni.

"Yaudah, kalian tunggu aja di meja, gabung sekalian sama Aldo. Dia udah nyari tempat."

Feni yang sudah mengenal Aldo pun langsubg saja setuju untuk bergabung. Bisa-bisanya Zeedan tak mengenal Shani waktu dulu, padahal Shani satu jurusan dengan Feni yang juga temannya.

Setelah menunggu antrian akhirnya Zeedan berhasil membeli makanan. Kini dia dibantu pelayan membawa makananya di tempat dimana Zeedan, Feni, dan Shani menunggu.

"Wedeeh, akhirnya makananya dateng," kata Aldo.

"Makasih Zeedan," ucap Shani. Zeedan hanya membalas dengan senyuman.

"Berdoa dulu kalau mau makan," kata Shani. Zeedan sudah ingin menyuapkan mie ke dalam mulutnya kini terhenti di depan mulut yang sudah siap menerima makan.

Zeedan menelan ludahnya, mengembalikan mie ayang- eh mie ayam ke dalam mangkuk lalu tangannya terangkat untuk berdoa.

Feni mengenggam ke dua tangannya, berdoa menurut kepercayaanya. Mereka berdoa bersama meskipun agama berbeda tapi tetap saja pertemanan terjalan dengan baik. Setelah berdoa baru mereka menikmati makanan masing-masing.

Mereka makan dengan sesekali berbincang agar tak terasa sepi. Zeedan telah selesai dengan acara makannya. Kini matanya sedang menatap Shani yang duduk di depannya. Shani nampak cantik dengan kerudung yang selalu dia kenakan.

Shani yang menunduk, membetulkan kerudungnya kini bersuara. "Jangan liatin aku kayak gitu."

"Woi babi." Aldo mengusap wajah Zeedan.

"Jangan liatin kayak gitu, lu kayak om-om pedofil tau gak?" Kata Aldo.

"Sialan lu Do. Maaf Shan," kata Zeedan malu.

Shani hanya mengangguk. Kini meja mereka terisi oleh candaan dan godaan yang tertuju pada Zeedan yang jelas-jelas menyukai Shani. Shani hanya diam tak mempermasalahkan itu, meski namanya juga terbawa di dalam candaan ini.


















Sekian dan terimakasih.

Maap buat typo.

Btw ada yg suka cerita horor? Tapi ga horor

30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang