Zeedan duduk di sebelah Cio, tapi tetap ada jarak di antara mereka. Sebenarnya Zeedan malas duduk sampingan dengan Cio seperti ini.
"Bapak di sini mau ngomong."
Ibu Shani ikut bergabung duduk di samping bapaknya. Sedangkan Shani bersembunyi di balik lemari, menguping. Dia juga kepo kali, dengan apa yang akan keluarga nya itu bicarakan.
"Cio, dengan keputusan yang sudah bapak pikirkan semalaman. Bapak ingin perjodohan kamu dengan Shani... di batalkan," kata Pak Sobirin. Cio tentu saja terkejut. Zeedan pun sama, dia, bahkan hampir tersedak permen kaki yang masih dia emut.
"K-kenapa di batalin Pak?" Lirih Cio.
"Kamu masih bertanya? Jelas-jelas apa yang udah kamu lakuin itu memalukan! Kamu berani-beraninya menjalin hubungan dengan wanita lain padahal kamu sudah di jodohkan dengan anak saya," jelas Pak Sobirin menggebu-gebu.
"Sabar Pak sabar," Ibu Shani mengusap lengan Pak Sobirin. Zeedan hanya diam, dalan hati dia bersorak karena doa nya agar perjodohan itu batal terkabulkan. "Omelin terus aja Pak gapapa, kasih paham," batin Zeedan sambil menahan senyum.
"S-saya Khilaf Pak," sahut Cio.
"Saya tidak bisa menerima hal itu," timpal Pak Sobirin.
"Saya tidak mau perjodohan ini di batalin Pak. Saya cinta sama Shani," kekeh Cio.
"Woi tolol sadar." Zeedan dengan tidak sopan menoyor kepala Cio.
"Sadar diri ngapa jadi orang. Lo selingkuh dalam keadaan sadar kan? Ga mabuk kan? Yaudah sih lo juga harus terime konsekuensi atas perbuatan yang lo lakuin itu. Anak ustadz kan? Harusnya tau dong mana yang salah mana yang bener," kata Zeedan dengan tengil.
"Kamu seharusnya juga harus sadar diri dong. Kelakuan kamu ga bener, masih nasihatin saya mana yang baik mana yang bener," timpal Cio.
"Serah gua lah, setidaknya gua masih tau cara ngehargain wanita itu kayak apa. Lah elu, udah di kasih spek bidadari malah gathel nyari yang spek lonte," ceplos Zeedan dengan frontal.
"Zeedan jaga batasan kamu. Yang sopan," tegur Pak Sobirin.
"Maap pak," ucap Zeedan. Dia kembali memasukkan permen kaki ke mulutnya dan menunduk. Suasana kembali hening.
"Keputusan saya sudah bulat Cio. Besok saya akan ke rumah ngebicarin hal ini sama keluarga kamu."
"Tapi pak, tolong beri saya kesempatan. Saya cinta sama Shani."
"Saya sudah memikirkan ini matang-matang. Keputusan ini tetap sama. Kamu bisa pulang sekarang," balas Pak Sobirin.
Cio dengan berat hati memilih pulang. Terlihat dari raut mukanya dia menahan amarah yang bisa kapan saja meledak. Cio sudah pulang, kini tersisa Zeedan. Dia menggaruk tengkuknya canggung, bingung apa yang harus dia lakukan sekarang. Apa mending dia ikut pulang saja? Pak Sobirin ataupun Ibu Shani belum mengucapkan sesuatu untuk dirinya.
"Saya juga ikut pulang?" tanya Zeedan yang bingung. Pak Sobirin menggeleng. "Ada yang ingin saya bicarakan, dengan kamu," kata Pak Sobirin.
"Soal apa Pak?" tanya Zeedan.
"Kamu serius dengan Shani?" tanya Pak Sobirin dengan raut wajah yang serius.
"Ha serius apa?" Lagi-lagi Zeedan ngelag. Maklumi ges, jaringan lagi E.
Pak Sobirin berdecak, karena Zeedan yang tiba-tiba menjadi lemot. "Serius mau nyalon jadi suami nya Shani?"
Zeedan yang paham langsung mengangguk semangat. "Serius lah pak, dua rius malahan pak."
"Tunjukin kalau kamu pantes jadi calon suami anak saya. Kepala keluarga itu harus tegas dan bisa membingmbing istri dan anak-anaknya kelak. Kamu bisa?"
"BISA PAK."
"Tunjukin! Kalau kamu bisa berubah, saya akan mengizinkan kamu menikahi anak saya."
Mata Zeedan berbinar mendengarnya. Dia masih tak percaya. Apa ini artinya Pak sobirin ngerestuin Zeedan?
"Jadi, Pak Sobirin ngerestuin saya deket sama Shani?" Zeedan bertanya ingin meminta kepastian.
"Saya beri kamu lampu kuning. Tunjukin dulu apa yang saya katakan tadi," jawab Pak Sobirin.
"Siap pak siap. Saya bakal tunjukin perubahan itu. Saya bakal tunjukin kalau saya itu cocok buat jadi calon imam Shani."
"Saya tunggu hal itu. Saya kasih waktu 30 hari. Seberapa pesat perubahan yang kamu alami. Kamu bisa pulang sekarang."
Zeedan dengan perasaan senang berpamitan dengan Pak Sobirin dan juga Ibu Shani. Dia tak lupa juga mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas kesempatan yang di berikan kepadanya. Zeedan keluar rumah dengan melompat-lompat riang seperti anak kecil.
"Shani sini nak," panggil Pak Sobirin. Shani keluar dari persembunyiannya berekting seperti tak tau apa-apa.
"Besok kita ke rumah Cio. Bapak sudah membatalkan perjodohan kalian." Shani tak terlalu terkejut karena dia juga sudah mendengar sebelumnya.
"Bapak tau kalau kamu, sebenarnya mencintai Zeedan. Maafkan bapak karena sudah egois," ungkap Pak Sobirin.
"Iya pak," cicit Shani. Rasanya dia ingin menangis karena harapan untuk bisa bersama Zeedan mulai muncul.
"NENEK KAKEK! ZEEDAN DAPET RESTU!" Mereka terkejut dengan teriakan Zeedan dari luar rumah. Ternyata Zeedan belum pulang. Mereka menganguk dari dalam rumah, apa yang Zeedan lakukan di luar.
Tanpa di duga Zeedan sekarang malah melakukan pargoy di halaman rumah. Dia lalu berseru bahagia. "Yes! Akhirnya perjuangan gua, yuuhuuu...!"
Zeedan berlari meninggalkan halaman rumah Shani, tapi kembali lagi karena motor yang dia lupakan. Dia menaiki motornya dan menyalakan. Dia mengegas dengan semangat sampai bagian motor depan itu terangkat. Untung saja motor kakeknya ini tahan banting.
"Itu suami yang kamu mau?" tanya Pak Sobirin.
"Hehehe..." Shani hanya cengengesan malu.
Udah ya gua izin istirahat dulu. Pusing aing mah, butuh hiling. Biar lancar lagi ni otak.
Maap buat typo.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari [END]
Teen Fiction"Kiw-kiw cewe, namanya siapa neng?" Tanya Zeedan pada anak Pak Sobirin dengan cengiran. "Astaghfirullah," ucap Gadis itu. "Astaghfirullah," ucap warga serempak mengikuti ucapan anak Pak Sobirin.