Zeedan pov
Kupacu motorku dengan cepat. Tak peduli jika itu dapat membahayakan diriku sendiri. Jarak rumah Shani dengan rumah nenek tak begitu jauh, membuat kini aku telah sampai di rumah. Aku melepas helm ku dengan tergesa. Ingin rasanya aku untuk segera merebahkan diri yang sudah telah merasakan kekecewaan yang tiada habisnya. Pintu yang telah terbuka lebar menandakan adanya penghuni di dalam, langsung saja aku memasuki rumah.
"Zeedan udah pulang. Sana makan, nenek masak sop ayam," kata Nenek ku yang kini tengah menonton tv siaran berita.
"Iya nek. Nanti aku Zeedan makan," jawabku tak selera.
"Ada apa denganmu?" Tanya Nenek yang sepertinya merasakan sedikit perbedaan pada diriku.
"Zeedan lelah nek. Pengen cepet-cepet istirahat," jawabku. Aku memilih untuk segera memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Aku hanya tak ingin di ganggu oleh siapapun kali ini.
Aku meletakkan tas ku di atas meja belajar, kemudian berganti baju menjadi pakaian rumah. Aku merebahkan diriku di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan tangan kananku yang berada di atas dada kiri. Sungguh perkataan Pak Sobirin membuat aku sakit hati. Apa sesusah itu percaya dengan apa yang aku jelaskan? Padahal itu jelas-jelas terjadi tepat di depan mataku sendiri. Huh, lagi pula tak ada bukti juga yang dapat membuat Pak Sobirin percaya.
Terlebih Shani? Aku sedikit kecewa dengan nya. Mengapa dia hanya diam saja di saat bapaknya membentakku. Setak begitu berartinya kah diriku ini di matanya? Bapak dan anak sama saja susah percaya. Jujur aku lelah dengan percintaan ini. Mengapa aku harus jatuh cinta kepada Shani yang jelas-jelas dari adabnya saja beda jauh. Apalagi bapaknya yang tak mungkin merestuiku. Sepertinya memang tak ada harapan lagi untuk aku bisa bersama Shani. Semua itu hanya menjadi angan-angan saja. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk aku mencoba melupakan perasaan ini. Ya, apa yang dikatakan Luky semalam benar.
Flashback on
"Gua kasihan deh sama lu Zee. Berjuang ngejar-ngejar si Shani, tapi Shani nya aja belum tentu suka sama elu. Apalagi dia udahxm dijodohin kan. Kalau saran gue sih Zee, mending lu coba move on deh. Atau nggak coba pakek cara jauhin si Shani buat ngecek dia ada perasaan yang sama apa nggak sama lu. Kalau ada pasti dia bakal dateng ke elu dan nyari tau," kata Luky.
"Ente tau darimana Luk?" tanya Soleh.
"Pengalaman temen gue sih gitu. Nyatanya sekarang temen gua udah nikah sama orang yang dia suka."
Flashback off
Move on, kata-kata itu terus terngiang di kepala ku. Benar kata Aldo kalau aku terlalu keras kepala. Cinta tak harus memiliki, aku tak bisa memaksa untuk Shani bisa bersamaku. Biarkan semua ini berjalan sebagaimana mestinya. Tanpa aku yang selalu mengejar-ngejar Shani. Aku harus bisa move on.
Telolet om telolet~
Dering ponselku membuyarkan lamunanku. Kuliat nama Aldo babi yang tertera di sana. Aku dengan malas menjawab panggilan telpon darinya.
"Halo?"
"Zeedan, jadi maen kagak lu? Ntar malem gimana? Kata lu tadi mau maen, jangan ott deh," cerocos Aldo.
"Iye, ntar malem jam setengah 7 gua ke kota. kita maen dah, gua pengen malem ini kita seneng-seneng."
"Gampang! Emangnya kapan sih lo ga seneng klau main ama gua?"
"Yaudah, ntar malem oke."
"Yo i bro!"
Tut!
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari [END]
Teen Fiction"Kiw-kiw cewe, namanya siapa neng?" Tanya Zeedan pada anak Pak Sobirin dengan cengiran. "Astaghfirullah," ucap Gadis itu. "Astaghfirullah," ucap warga serempak mengikuti ucapan anak Pak Sobirin.