38

2.4K 248 8
                                    

Mata kuliah hari ini telah selesai. Aldo dan Zeedan tengah berjalan di koridor menunuju kelas Shani tentunya.

Mengapa Aldo ikut? Karena dia ingin mengembalikan buku cerita yang dia pinjam dari Feni. Dia kira ceritanya menyenangkan, tapi ternyata hanya awal saja yang menyengkan akhirannya boring. Buku itu adalah sebuah novel.

"Dan, kuy nongki. Ajak bini lu sekalian. Udah jarang nih kita ga nongki," ajak Aldo di tengah perjalanan menuju kelas Shani.

"Duh gue, kagak bisa kalau nanti Do. Soalnya gue, mau nemenin Shani ke rumah sakit sepulang ini," tolak Zeedan.

"Ke rumah sakit? Siapa yang sakit?"

"Ga ada yang sakit. Kita ke rumah sakit karena mau ngecek, Shani beneran hamil atau nggak."

"Shani hamil?!" Kaget Aldo.

"Semalem di cek pakek test peck iya. Makanya kita mau cek ke rumah sakit kali ini, biar lebih akurat. Memastikan aja," jelas Zeedan.

"Kalau beneran hamil, berarti gue, bentar lagi bakal punya  ponakan dong?"

"Iyelah, ntar gue, ajarin anak gue, buat morotin lu. Minta beliin sepatu jordan keluaran terbaru."

"Sialan. Semoga aja anak lu kagak sesat kayak bapaknya. Lebih ke ibunya aja gapapa, solehah," ungkap Aldo.

Sampai di kelas Shani ternyata masih melakukan kegiatan belajar. Aldo dan Zeedan lebih memilih menunggu di depan sambil bermain game. Hari-hari selalu dengan game.

"Itu Pak Badrun masih lama kagak sih?" Tanya Zeedan dengan bisik-bisik. Dia tak ingin sampai Pak Badrun yang terkenal killer itu mendengar.

"Bentar lagi kali Dan," jawab Aldo ikut berbisik.

"Lama banget ya tu orang kalau ngajar. Sok asik juga," kata Zeedan. Oke sepertinya sekarang akan masuk ke dalam sesi gibah time.

"Iye njir. Tapi gue, ngakak kemarin. Pas dia jalan di bawah matahari, kepalanya yang botak plontos itu mengkilap anjir. Udah kayak lampu aja."

"Anjir, lu foto kagak?" Tanya Zeedan.

"Kagak. Mana berani gue. Nanti ketauan berabe."

Saat asik-asik berbicara tiba-tiba Pak Badrun sudah berdiri di samping mereka melihat mereka yanh sedang bermain game.

"Sedang apa kalian di sini?" Suara Pak Badrun mengejutkan mereka berdua.

"Eh Pak Badrun. Udah makan Pak?" Tanya Zeedan. Sebenernya dia gelisah, takut kalau Pak Badrun sampai mendengar jika mereka sempet menggubahi beliau.

"Aneh-aneh aja lu Dan, pertanyaan-nya. Kita lagi nunggu temen Pak," jawab Aldo.

"Oh." Hanya itu kata yang di keluarkan Pak Badrun setelah itu ia pergi meninggalkan mereka begitu saja.

"Untung dah tua tu guru. Kalau kagak dah gua, ajak gelud pasti. Kapan pensiun sih itu guru?" Kata Zeedan.

"Sstt, jangan durjana lu Dan. Kena kurma lu nanti," balas Aldo.

"Karma dodol," sahut Zeedan.

"Nunggu lama ya?" Tanya Shani yang kini sudah keluar dari kelas. Shani mengambil tangan Zeedan dan dia tempelkan pada keningnya. Salim cuy.

"Nggak kok. Langsung aja nih?" Tanya Zeedan.

"Boleh. Biar ga kesorean juga nanti pulangnya," jawab Shani.

"Nanti kabar-kabar ya soal calon keponakan gue," kata Aldo.

"Gampang. Kita duluan ya," pamit Zeedan.

"Yoi."

Sesuai rencana mereka, setelah selesai kuliah aka  pergi ke rumah sakit untuk periksa. Sesampainya rumah sakit dan melewati berbagai macam pemeriksaan Zeedan dan Shani pulang ke rumah dengan perasaan yang sangat amat bahagia. Karena dokter mengatakan bahwa Shani benar-benar dalam kondisi mengandung.

Sampai hari demi hari, minggu demi minggu berlalu. Kini kandungan Shani sudah memasuki usia delapan bulan. Dengan kondisi perutnya yang sudah semakin membuncit membuat dirinya susah untuk bergerak. Sampai saat ini mereka tak ada niat untuk melakukan USG. Katanya biarlah menjadi kejutan nantinya saat lahir. Mau itu perempuan atau laki-laki. Zeedan dan Shani akan tetap menyayangi anaknya nanti.

Semasa hamil ini Shani sangat manja terhadap suaminya. Kemana-mana harus berdua. Tak mau di tinggal sana sekali, kecuali saat kuliah. Tapi, itu saja saat Zeedan di kampus selalu di teror oleh pesan bahkan panggilan dari Shani yang memintanya untuk segera pulang. Saking tak mau jauh dari Zeedan saat di rumah, ke kamar mandi pun mereka wajib berdua. Orang tua Shani tentunya sampai heran dengan keinginan sang anak mereka.

Tapi Zeedan tak mempermasalahkan hal itu. Dia berpikir mungkin itu efek hamil. Ngidamnya Shani, jadi Zeedan sebagai suami yang pngertian menuruti apa yang Istrinya itu inginkan. Seperti saat ini. Zeedan memilih izin tidak kuliah hari ini karena memenuhi keinginan Shani yang ingin di peluk seharian ini.

Sudah dua jam lamanya setelah meraka bangun dari tidur, Shani masih betah meringkuk di dalam dekapan Zeedan. Meski terhalang oleh perut buncitnya, Shani tak mempermasalahkan itu dan tetap pada posisinya. Dia tidak tidur, hanya memejamkan mata.

Sedangkan Zeedan, pikirannya sedang melayang mencari cara agar Shani mau melepaskan pelukannya. Memberinya waktu untuk sekedar sarapan. Jujur saja dia lapar, belum sarapan dari tadi.

"Sayang," panggil Zeedan.

"Hem?"

"Udahan dulu ya peluknya. Aku, laper pengen sarapan. Kamu juga belum sarapan kan?"

"Nggak!"

"Kok nggak sih? Kan biar ga laper. Biar dedek bayinya ikit kenyang, kasihan belum sarapan."

"Tapi aku, mau peluk," rengek Shani.

"Iya nanti abis makan aku, peluk lagi ya. Sekarang makan dulu, kasihan bayi kita," kata Zeedan memberi penjelasaan.

"Yaudan iya. Tapi gendong," pinta Shani. Hal itu membuat Zeedan berpikir.

Apa dia kuat menggendong Shani yang sedang berbadan dua?

Dia lebih khawatir jika nanti gendongannya kurang kuat dan akhirnya jatuh atau gimana kan serem.

"Jalan aja ya? Kalau gendong takut adeknya kenapa-napa," jelas Zeedan sebenarnya sekalian menolak dengan halus.

"Ish! Gamau aku, maunya di gendong!" Kata Shani masih kekeh dengan permintaanya.

"Tapi-"

"Yaudah gausah makan kalau gitu," sela Shani.

Ngambek nih ngamek kalau udah gini. Dengan menguatkan hati jiwa dan raga Zeedan memilih mengiyakan permintaan Shani. "Yaudah iya. Ayo aku, gendong. Gendong depan ya? Biar adek bayinya ga kegencet," kata Zeedan

"Iya," jawab Shani dengan semangat. Dia bahkan sekarang sudah berdiri di atas kasur siap meminta gendong pada suaminya.

Sekali hap!

Shani sudah berada di gendongan depan Zeedan. Jujur saja ini terasa berat, tidak seperti waktu Shani belum hamil. Tapi tentunya Zeedan tak mengutarakan hal itu. Takut jika menyinggung hati sang istri.

Zeedan pergi ke dapur dengan Shani yang berada di gendongannya. Ibu Shani yang berada di dapur habis mencuci piring, menggelengkan kepalamelihatnya. Sudah tak heran lagi jika Shani meminta hal seperti ini saat mengandung.

"Ayo-ayo makan. Ibu, tau pasti kalian lapar," kata Ibu Shani sambi menyiapkan makan untuk mereka berdua.




















Yoooo, up lage. Sabar bentar lagi end🙊

Tinggal beberapa biji part lagi gezz. Setelah ini end baru gua fokus ke childish ya. Sabar kalian.

Dah maap buat typo.

30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang