8

2K 251 12
                                    

Shani pov.

"Kenapa Zeedan?"

"ZEEDAN DITANGKEP POSILI eh POLISI!"

"HA?!"

"KENAPA BISA?"

"Karena balapan Nek terus berantem juga!"

Percakapan pagi itu terus saja terputar bagai kaset rusak di otakku. Zeedan Zeedan dan Zeedan. Terus saja nama itu memenuhi pikiranku. Zeedan tertangkap polisi karena balap liar dan juga bertengkar.

Mengapa orang itu tak bisa menunjukkan sikap yang lebih baik? Mengapa harus membuat masalah? Apa hidupnya akan kurang tenang jika tidak membuat masalah?

Bahkan dia berhasil membuat pikiranku selalu tertuju padanya. Apa dia di sana sudah makan dengan baik? Apa dia baik-baik saja? Bisakah dia tidur dengan nyenyak di lantai yang pasti sangatlah dingin?

Pagi setelah kejadian penangkapan, nenek dan kakek, langsung pergi ke kota untuk memastikan keadaan Zeedan di sana. Menurut kabar yang nenek berikan, Zeedan, baik-baik saja di sana. Hanya luka lebam yang berada di beberapa titik tubuhnya. Setidaknya dia dan kawan-kawan terpantau aman di sana.

Sudah hari ke tujuh Zeedan di kota tepatnya masih di kantor polisi. Nenek kata hari ini Zeedan sudah diperbolehkan untuk bebas. Tapi belum di ketahui kemana Zeedan akan pulang. Ke rumah nenek? Atau kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana jika Zeedan lebih memilih kembali ke rumah orang tuanya. Itu bagus, karena akhirnya Zeedan sudah bebas dari hukumannya tapi...

Memikirkan Zeedan hanya membuat kepalaku menjadi pusing. Aku merebahkan kepalaku di atas meja belajar beralaskan lenganku sendiri. Tanganku satunya sibuk membuat coretan di atas kertas yang melukiskan wajah seseorang yang selalu menganggu pikiranku akhir-akhri ini. Kalian pasti sudah tau siapa dia? Bahkan aku sudah menyebutkan namanya berkali-kali bahkan mungkin puluhan sampai-sampai bisa membuat kalian bosan.

Apa aku salah jika mengharapakan Zeedan agar kembali ke kampung ini?

Aku bukan rindu, bukan.

Aku hanya ingin melihat wajahnya saja. Memastikan jika selama dia di tahan benar baik-baik saja.

Tok

Tok

Tok

"Shani~" itu suara Ibuku memanggil.

"Iya bu," sahutku.

"Keluar nak, ada Cio di depan."

"Hufft, Cio lagi," Gumamku. Aku sebenarnya lelah dengan lelaki itu. Jujur aku kurang nyaman saat bersamanya. Benar apa yang di katakan Zeedan, saat bagaimana Cio memandangku? Itu sungguh membuatku sangat tidak nyaman. Aku sudah mengadukan hal itu ke bapak, dan kata bapak akan menegur Cio sebagaimana mestinya.

"Shani ayo~"

"Iya bu." Aku membereskan alat tulisku, menutup buku yang aku beri coretan tadi lalu menatanya dengan rapi. Aku merapikan pakaian dan jilbaku sebelum keluar kamar.

Di sana sudah ada Cio di temani Bapak. Mereka terlihat membicarakan suatu hal. "Nah ini dia Shani," kata Bapak.

Aku mengambil duduk di sebelah bapak. Karna bagaimanapun aku dan Cio bukan muhrim dan tak seharusnya membuat jarak terlalu dekat. "Cio sedari tadi menunggumu nak," kata Bapak. Ingin aku mengatakan bahwa aku 'tak peduli' tapi aku tak seberani itu untuk mengatakan di depan bapak.

Aku seklias melihat Cio yang kembali aku dapati tatapan membuatku risih. Aku menyenggol pelan tangan bapak, mengode beliau. "Nak Cio, bisakah kamu tidak melihat Shani seperti itu?" tegur Bapak.

Cio nampak gelagapan dan langsung meminta maaf. "Maaf pak. Shani terlalu cantik, jadi membuat saya ingin selalu melihatnya."

"Tapi tak seharusnya kamu melihat seperti itu. Kamu harus tau batasan," jelas bapak. Bagus pak, tolong beri dia pengertian agar tidak melewati batas.

"Baik pak, saya minta maaf."

Hari sudah menginjak sore. Cio sudah pulang, karena mendapat sebuah telpon yang katanya dari sang ayah yang membuat dirinya harus segera pulang.

"Bapak lihat sendiri bagaimana Cio tadi? Jujur Shani risih Pak. Shani ga nyaman jika bersama Cio," keluhku. Aku ingin mengeluarkan unek-unekku yang selama ini aku pendam tentang tak sukanya aku dengan Cio.

"Itu mungkin karna kamu belun terbiasa nak. Bagaimanapun Cio aslinya lelaki baik," jawab Bapak.

"Jika dia lelaki baik, pasti dia tau batasan Pak. Apa bapak tak memperhatiakan tatapan yang Cio berikan tadi?" Aku berbicara masih dengan suara yang pelan dan sopan. Tak mungkin aku berani berbicara dengan suaraa yang keras kepada orang tua. Takut durhaka.

"Bahkan Zeedan yang banyak orang mencap dia adalah lelaki yang tak baik saja bisa menjaga bagaimana batasan yang seharusnya di lakukan," lanjutku. Zeedan memang yang terbaik bagiku. Eh, tidak maksudku itu..

"Sudahlah Shan. Jangan bawa-bawa Zeedan, dia lelaku tak baik. Kamu pasti sudah tau kalau dia bahkan sekarang di tahan oleh polisi."

"Tapi pak, kita belum tau kejadian sebenarnya yang membuat pertengkaran itu terjadi sampai Zee di tangkap."

"Sudah jelas semua karena balap liar Shan. Sudah kamu tak usah selalu membelanya."

Bapak masuk dengan membawa sisa kopi miliknya. Kenapa semua orang di sini selalu berpikiran Negatif terhadap Zeedan?

Shani Pov End.





























Puasa udah dapet brapa hari sih ges?

30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang