26

2.1K 244 11
                                    







Puasa sudah hampir memasuki setengah bulan. Di bulan puasa ini perubahan demi perubahan semakin terlihat dari diri Zeedan. Mulai dari dia yang rajin melaksanakan Sholat, tadarusan di masjid sehabis tarawih, adzan juga dia mulai sering melakukan. Bahkan suara Udin saja bisa dikatakan jarang terdengar akhir-akhir ini.

Itu adalah sebuah kemajuan bagi Zeedan, meski masih saja jiwa selengekannya terlihat. Sepertinya hal itu sudah mendarah daging.

Waktu juga terus berjalan, sampai tak terasa kurang berapa hari lagi adalah waktu satu bulan yang Pak Sobirin berikan untuk Zeedan.

Hal itu tentu saja membuat Zeedan senang, tapi di satu sisi juga gelisah. Takut jika ternyata Pak Sobirin masih merasa kurang dengan apa yang sudah Zeedan lakukan selama ini.

Karena Zeedan sadar bahwa dirinya belum bisa menjadi sebaik dan sesoleh dari deretan laki-laki yang menyukai anak nya Pak Sobirin. Jujur saja Zeedan masih minder dan insecure.

Hari sudah semakin larut. Jam juga sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sekarang Zeedan masih berada di Masjid bersama dengan Pak Sobirin menyelesaikan tadarus untuk malam ini. Sebenarnya ada Shani juga, tapi dia keluar entah kemana.

"Shadaqallahul azhim." Pak Sobirin menutup kitab Alquran. Ia berbalik melihat Zeedan yang seperti duduk merenung sambil bertopang dagu.

"Kamu belum mau pulang Dan?" tanya Pak Sobirin yang membuat lamunan Zeedan buyar.

"Ah, pulang kok Pak, sebentar lagi," Jawab Zeedan.

"Pak Sobirin mau pulang?" tanya Zeedan basa-basi.

Pak Sobirin seperti melihat sekitar. "Sebentar lagi, Shani belum balik ke sini," jawab Pak Sobirin. Memang sedari tadi Shani belum kembali setelah keluar entah kemana.

Pak Sobirin beralih duduk di dekat Zeedan. Ia merasa Zeedan tak seperti biasanya hari ini. "Kamu kenapa? Ada masalah?" tanya Pak Sobirin.

"Ha? Nggak kok Pak. Saya ga papa hehehe." Zeedan mengusap leher belakangnya karena tiba-tiba merasa canggung.

"Kalau kamu mau berbagi cerita sama saya ga papa Dan."

Seiring berjalannya waktu juga ternyata Pak Sobirin sudah tak bersikap seperti dulu pada Zeedan. Dia bahkan akhir-akhir ini sering mengajak Zeedan untuk pergi ke pengajian bersama. Itu salah satu hal baik.

"Anu Pak, e..."

"Kenapa?" Tanya Pak Sobirin lagi melihat Zeedan nampak gugup.

"Saya mau tanya Pak. Emm... gimana keputusan Pak Sobirin selanjutnya? Bapak restuin saya sama Shani?" Akhirnya Zeedan berani mengungkapkan isi hatinya yang sedari tadi mengganjal.

"Kamu ini terlihat buru-buru sekali ingin menikahi anak saya."

"Iya dong Pak. Saya takut Shani di ambil orang. Maka dari itu saya pengen cepet-cepet bisa nikahin Shani," sahut Zeedan.

"Tapi ini belum ada sebulan Zeedan."

"Kurang lebih seminggu lagi sudah satu bulan Pak seperti apa yang Pak Sobirin berikan waktu itu."

"Hemm, jadi waktu kamu masih satu mingguan lagi?" Pikir Pak sobirin.

"I-iya Pak," gugup Zeedan. Apalagi kini Pak Sobirin menatapnya dengan serius.

"Kalau begitu, saya beri keringanan untuk kamu. Syarat terakhir jika kamu bisa melaksanakannya, saya izinkan kamu menikahi anak saya. Tapi tetap jika kamu berhasil, kamu harus menjaga anak saya dan menjadi kepala keluarga yang membimbing istrinya dengan baik, ke jalan yang benar," jelas Pak Sobirin.

"Siap Pak siap. Saya akan tepati itu, saya akan lakukan. Jadi apa tahap terakhirnya Pak?" Kepo Zeedan.

"Sangat mudah!" Sahut Pak Sobirin sambil tersenyum.

"Kamu tinggal menghafalkan surat-surat di juz 30 dalam waktu seminggu. Mudah kan?" Ungkap Pak Sobirin masih dengan tersenyum.

Senyum Zeedan perlahan pudar. Kepalanya terus memikirkan apa yang Pak Sobirin katakan. Juz 30? Dalam seminggu? Eih Zeedan merasa kurang sanggup karena sebenarnya daya ingatnya ini kadang-kadang mendadak ilang-ilangan kayak sinyal ponsel di E.

"P-pak, seminggu hafalin surat di Juz 30? Gabisa diganti jadi baca aja Pak? Kalau baca saya, siap pak, sekarang pub saya siap. Tapi kalau, menghapal? Susah Pak. Kasih saya, waktu lagi, seminggu sepertinya susah," keluh Zeedan mencoba meminta keringanan.

"Hei! Itu sudah sangat mudah. Kau tak tau saja niat awal saya, malah mau meyuruh kamu untuk menghapalkan 3 Juz sekaligus. Tapi saya, tau bagaimana dirimu, jadi saya, kurangi banyak menjadi surat-surat di dalam Juz 30," jelas Zeedan.

"Ta-tapi Pak, kalau saya, ga bisa bagaimana?" tanya Zeedan berubah sendu.

"Ya jangan harap kamu bisa nikahin Shani! Gitu aja kok pakek tanya."

"Saya, sudah memberi banyak keringanan buat kamu Zeedan. Saya, harap kamu bisa memanfaatkan itu dengan baik jika kamu benar-benar serius. Terserah bagaimanapun caramu untuk bisa melaksanakan ini. Tapi kembali lagi, jika kamu benar-benar seirus. Jika kamu sudah siap, sudah hafal, bisa langsung stor ke saya, sehabis terawih," lanjut Pak Sobirin.

Bahu Zeedan menurun. Bibirnya mengerucut, sudah seperti bebek saja. Dia menjadi lemas memikirkan cara agar bisa menghapalkan dan stor tepat waktu di Pak Sobirin. Tangannya memainkan songkok yang tak dia pakai.

"Bapak, pulang kapan?" tanya seseorang yaitu Shani yang sudah kembali.

"Sekarang aja ayo. Udah malem, pasti ibu nungguin di rumah."

Pak Sobirin bertumpu pada lututnya. "Bapak pulang dulu ya. Kamu juga pulang, udah malem," kata Pak Sobirin.

Kemudian Pak Sobirin berdiri. "Selamat berjuang Zeedan." Pak Sobirin mengusak kepala Zeedan yang tak tertutup songkok itu.

"Ayo Shan."

"Zeedan, aku, pulang dulu," kata Shani lembut.

"Jangan larut-larut rumahnya," lanjut Shani.

"Iya Shan," jawab Zeedan sambil tersenyum manis.

Shani berbalik meninggalkan Zeedan yang masih terduduk.

"Eh, Shani, sampai rumah jangan tidur dulu! Nanti aku, mau telpon boleh?"

Pertanyaan Zeedan membuat Shani berhenti di ambang pintu. Zeedan masih memperhatikan punggung Shani yang tak kunjung menjawab.

Tak lama Shani berbalik sambil tersenyum. "Boleh."

Setelah berkata Shani buru-buru berbalik dan pergi keluar masjid.

Sedangkan di dalam masjid Zeedan sudah kejang di lantai karena efek melihat senyuman manis yang di berikan Shani. Dia kemudian berdiri lalu melakukan gerakan pargoy punggung. Tak hanya itu dia juga salto ke depan sebelum akhirnya mengangkat ke dua tangannya senang sebagai selebrasi terakhirnya.

Senyumnya terus merekah mengingat senyuman yang manis sampai ngena di hati rasanya.













































Zeedan dengan salting yang penuh selebrasi.

Up malem-malem. Baru ada waktu ges buat up.

Gue lagi sibuk bangt, dibantai samai tugas tugas laporan anjer sial!

Rasanya hari hariku tak tenang karena semua ini.

Dah gitu aja, gue mo turu. Ntar kesiangan malahan.

Maap buat typo.

30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang