15

2.2K 282 22
                                    








"Bagaimana para saksi sah?"

"Sahh~"

"Alhamdulillah. Kamu bisa mencium kening Shani sekarang," kata Penghulu.

Zeedan merasa senang. Dia juga gugup saat menatap Shani yang kini sudah sah menjadi istrinya.

"Ayo, cium Zeedan," kata Pak Sobirin.

Zeedan dengan malu-malu mendekatkan bibir nya pada kening Shani.

Cuph~

Rasa dingin mengenai bibir seksih milik Zeedan. Kening Zeedan mengernyit saat merasakan permukaan yang begitu kasar. Apakah kening Shani ini kasar?

Mata Zeedan terbuka lalu terkejut saat melihat pantat panci berada tepat di depan wajahnya. Mata Zeedan melihat nenek nya yang menjadi pelaku pembawa panci ini.

"Nenek!" Kaget Zeedan.

"Mimpi apa kamu sampe monyong-monyong gitu?" tanya Nenek sambil berkacak pinggang.

"Mimpi nyium nenek," jawab Zeedan beralasan.

"Cepet bangun Sholat Subuh."

"Iya nek bentar, lima menit lagi," jawab Zeedan.

TANG!

Zeedan terkejut karena suara dari panci yang nenek nya pukul menggunakan centong nasi dari kayu.

TANG!

TANG!

TANG!

"Buruan ga ada lima menit lima menit. Katanya mau jadi suami nya Shani. Suami nya Shani itu harus bisa ngelaksanain Sholat tepat waktu, bukannya malas-malasan," omel Nenek.

"Iya-iya nek. Masih pagi udah ngomel aja," gumam Zeedan di akhir kalimat.

"Nenek denger ya."

Zeedan buru-buru keluar kamar membawa handuknya, sekalian mandi ntar.

Zeedan sambil berkacak pinggang merenung di dalam kamar mandi. Dia masih pakek baju kok ges. Di otaknya masih memikirkan mimpi yang dia alami barusan. Menikah dengan Shani. Itu membuatnya sedikit galau, karena dia pernah mendengar kalau kita ketemu sama seseorang yang kita harapkan artinya kita tak akan bisa menyatu dengan dia. Tapi ntah itu benar atau tidak. Namun, di sisi lain Zeedan juga menyimpan harapan semoga mimpi itu bisa menjadi kenyataan.

~~~

"Sebentar lagi bulan ramadhan. Kamu mau ramadhanan di sini atau di kota?" tanya Kakek di sela makannya. Saat ini mereka berkumpul di meja makan, sarapan bersama seperti biasa.

"Kahayyaknya di kohtaa Khek," jawab Zeedan dengan mulut yang penuh sampai mengembung.

"Di sini aja sih Dan. Bisa main sama temen-temen juga di sini. Skali-kali, nenek masih kangen sama kamu," kata Nenek.

"Biar bisa deketin neng Shani juga Dan." Kakek ikut membantu Nenek agar cucunya ini mau tinggal di sini. Buktinya Zeedan langsung terdiam seperti memikirkan hal itu.

"Nah betul kata Kakek. Kamu tunjukin juga ke Pak Sobirin kalau cucu nenek ini cocok untuk anak nya," timpal Nenek.

"Bener juga ya," gumam Zeedan.

"Aku pikir-pikir lagi nanti."

Nenek berdiri membawa piring bekasnya ke wastaffel. Setelah itu, nenek hendak membuatkan kopi hitam untuk sang suami. Sudah kebiasaan Kakek akan meminum kopi di pagi hari. Saat mengambil gula ternyat gula itu tinggal sedikit. "Zeedan, habis makan beliin nenek gula di warung."

"Iya nek," sahut Zeedan.

"Upahnya beliin rokok ya nek, sebagai ongkos kirim itu," kata Zeedan bercanda.

"Kamu ini ngerokok terus. Masih muda kalau paru-paru kamu sampai rusak mau?" Omel Nenek lagi. Sudah dua kali hari ini Zeedan mendapat omelan dari sang Nenek. Nenek nya itu lagi mode sensi hari ini.

"Bercanda doang nek. Marah-marah mulu," balas Zeedan.

"Nih buat beli rokok, jangan bilang-bilang nenek," bisik Kakek sambil memberikan uang dua puluh ribu pada Zeedan.

"Makasih kek," ucap Zeedan. Kakek menjawab dengan acungan jempol.

~~~

"Bukk~ ibukk~ beli gula sekilo," ucap Zeedan di depan warung.

"Iya Zee, sebentar."

"Sama rokok marlboro," timpal Zeedan. Dirinya juga mengambil permen kaki yang kini menjadi ke sukaannya.

Setelah dari warung dia langsung akan pulang, tapi di pertengahan jalan dia melihat sang pujaan hati sedang jalan sendirian sambil membawa kresek. Sepertinya habis dari pasar. Zeedan yang masih memiliki simpati kemanusiaan pun menghampiri Shani berniat membantu. Motor Zeedan mengiringi langkah Shani di samping.

"Nama kamu Shani Indira ya?" tanya Zeedan sok-sok an agar terlihat seperti Dilan.

"Iya," jawab Shani, padahal dia sudah tau yang di sampingnya ini Zeedan yang sudah lama tak berkomunikasi dengan dirinya.

"Aku ramal-"

"Gausah ramal-ramal Zeedan. Gausah sok-sok an jadi Dilan," sela Shani.

"Aku blom selesai ngomong loh ini." Zeedan masih mengiring jalan Shani dengan motornya yang masih menyala. Zeedan mengendarai motor dengan satu tangan, karna tangan yang lain dia gunakan untuk memegang permen kaki yang tadi dia emut.

"Aku ramal kamu bakal jadi jodohku," lanjut Zeedan.

"Gausah jadi peramal. Jodoh itu di tangan Allah."

"Bercanda doang Shan elah, biar mirip Dilan. Kalau Dilan punya Milea, kalau aku punya kamu."

"Aku dan kamu akan menjadi kita di suatu saat nanti. Tunggu aja Shan," kata Zeedan dengan pede. Zeedan membawa motornya untuk menghalangi langkah Shani.

"Apa lagi Zeedan? Aku mau buru-buru pulang," Shani berkata sambil menatap kening Zeedan.

"Aku bantu, aku anterin. Biar kamu ga kecapean. Ga ada penolakan ayo." Zeedan mengambil alih beberapa barang bawaan Shani dan di letakkan di ituan motornya. (Yang di tengah-tengah cepitan motor itu loh ges, yang tempat kaki motor metic, taukan?)

Shani menurut saja, jika menolak juga pasti Zeedan akan memaksa dirinya agar mau. Sampai sana terlihat sebuah sepeda yang terpakir di halaman rumah Shani. Zeedan tau betul itu sepeda siapa. Hal itu membuat hatinya sedikit panas karena pasti sang pemilik sepeda kini berada di dalam rumah. Zeedan membantu membawakan sampai ke depan pintu. Di sana dia dapat melihat Cio yang sedang duduk menghadap Pak Sobirin. Apaka dia sedang di sidang? Ntah lah.

"Udah, biar aku bawa masuk. Makasih ya," kata Shani.

"Aku pamit langsung ya." Zeedan mengangguk mengisyaratkan bahwa dia akan pulang. Shani masuk ke dalam rumah untuk segera membawa belanjaan ke dapur.

"Shan, panggilkan Zeedan. Suruh dia masuk," pinta Pak Sobirin tiba-tiba.

Shani mengangguk, dia segera kembali ke luar untuk memanggil Zeedan. Untung saja Zeedan belum pulang. "Zeedan, di panggil Bapak. Di suruh masuk."

"Aku?" tanya Zeedan tak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, buruan."

Zeedan kembali turun dari motornya dan masuk ke dalam rumah. "Duduk Zeedan," kata Pak Sobirin.

Zeedan duduk di sebelah Cio, tapi tetap ada jarak di antara mereka. Sebenarnya Zeedan malas duduk sampingan dengan Cio seperti ini.

"Bapak di sini mau ngomong."





















Ngomong apaan tuh?

Kalian tau?

Nggak tau? Sama kok gua juga.

Maap buat typo;)

30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang