Bagian Satu

35.4K 1K 35
                                    

Cahaya matahari merangsek masuk lewat kisi-kisi kamar juga celah tirai jendela. Satu larik cahaya menimpa wajah seseorang yang masih lelap di atas tempat tidur. Perlahan dia mengerjap, merasa terganggu dengan cahaya tersebut.

Matahari di luar sana sudah cukup tinggi. Menjelang tengah hari. Sementara seseorang tadi masih mengumpulkan nyawa. Ia meraih ponsel yang seingatnya ia taruh di atas nakas kecil di samping tempat tidur. Tangannya meraba atas nakas dengan mata yang sesekali kembali terpejam. Ketemu. Benda persegi itu segera ia arah ke depan wajahnya.

Pukul sebelas.

Entah atas dorongan apa, seseorang itu langsung duduk. Teringat sesuatu. Ia punya janji makan siang hari ini. Shit. Ia mengumpat pelan, lantas langsung melesat ke kamar mandi.

Tidak perlu waktu lama, ia sudah selesai bersiap. Sudah mandi. Sudah wangi. Dan pakaianmya juga rapi. Tapi perutnya lapar. Ia menghelas napas lalu mengusap perutnya sendiri.

Sebentar lagi kita makan ya, ucapnya pada diri sendiri.

Ia lantas meraih dompet, ponsel, juga kunci mobil. Untuk sedetik kemudian ia sudah belarian keluar rumah.

Jalanan ibu kota sudah bisa dipastikan akan ramai. Jadi ia harus bergegas. Telat terlalu lama setelah sekian tahun tidak bertemu sama buruknya dengan telat saat pertama kali bertemu.

Selama perjalanan, degup jantungnya sedikit tidak karuan. Entah karena apa. Ia sendiri tidak bisa menilai pasti. Tapi satu yang bisa ia kenali, degup itu serupa saat pertama kali mereka bernyanyi bersama bertahun-tahun silam. Degup yang sama anehnya, degup yang sama-sama tidak bisa ia pahami sepenuhnya.

Karena sudah bisa dipastikan ia akan telat sampai di tempat mereka janjian. Ia mengirim pesan, berkabar kalau akan sedikit terlamat. Dia bilang tidak apa-apa, sebab dia juga sedang terjebak macet. Jadi, mereka sama-sama telat.

Sama-sama telat. Segaris lengkungan tipis tercipta di wajahnya. Ia teringat masa lalu, di mana mereka berdua dalam beberapa hal selalu saja sama. Sama-sama telat salah satunya.

Kelebat kenangan itu melintas pelan diingatannya. Dan baginya itu menyenangkan. Ya, terkadang ada kenangan yang kita ingin hidup di dalamnya. Hidup di dalam banyak kenangan indah.

Sebentar lagi akan ia lihat wajah itu. Wajah dengan senyuman paling ia suka di dunia. Wajah dengan sepasang mata yang sorotnya menjadi favoritnya kala itu.

Satu lengkungan tercipta sempurna di wajahnya.

***

Mobil yang ia kendarai perlahan masuk ke area parkir sebuah restoran di tengah ibu kota. Restoran yang dulu sering ia sambangi bersama dia. Makanya ia mengatur acara reuni yang hanya diisi mereka berdua di tempat ini.

Sebelum turun ia menarik napas dalam. Mengatur irama detak jantungnya. Setelah dirasa cukup tenang ia turun perlahan dari mobil. Langsung memasuki area restoran dan naik ke lantai atas. Kemarin ia sudah mereservasi satu tempat duduk di area terbuka di lantai tingkat tiga. Tempat duduk favorit mereka dulu.

Semilir angin siang ini cukup menyejukkan. Ia tersenyum begitu menginjakkan kaki di lantai tiga. Ia berjalan tenang menuju tempat duduk yang sudah ia pesan. Dan di sana ternyata sudah ada sesesorang.

Deg, irama jantungnya kembali tidak beraturan.

"Salma," sapanya pelan.

Orang yang disapa menoleh sembari tersenyum. "Hey, Ron. Akhirnya sampai juga. Gak berubah ya ngaretnya."

Ia hanya tersenyum menanggapi kalimat pembuka pertemuan awal mereka setelah sekian tahun tidak bertemu.

"Apa kabar, Sal?"

"Baik."

Detik ini, dengan matahari yang tidak terlalu terik dan semilir angin yang cukup sejuk. Rony bersyukur pada semesta sebab masih memperkenankan mereka untuk bertemu.

Salma, perempuan di depannya saat ini masih sama cantiknya seperti terakhir kali mereka bertemu. Senyumnya masih sama, juga sorot mata itu. Segala yang ia lihat di depannya saat ini masih sama seperti Salma yang bisa ia ingat.

Angin mempermainkan ujung jilbab Salma, dan dia tersenyum. "Jangan kaku gitu lah, Ron." Ujarnya. "Duduk."

Rony tanpa kata lantas langsung duduk, bersamaan dengan Salma yang juga kembali duduk. Gerakan duduk mereka bersamaan. Dan mereka sadari hal itu, sontak membuat keduanya tertawa bersama.

Tawa pertama mereka setelah sekian tahun. Tawa pertama yang akan menghadirkan tawa-tawa selanjutnya. Semoga saja.

***

Kembali (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang