7. Menangis

680 48 0
                                    

“Besok aku akan mempertemukanmu dengan orang tuaku. Begitu selesai kita akan pergi keluar negeri.”

“Bertemu orang tuamu?”

“Ya.”

Dahi mengernyit dan alis mencoba bertaut terlukis di wajah sang gadis. “Buat apa aku bertemu orang tuamu?”

“Karena aku akan menikahimu.”

Seketika tawa pecah di ruangan. “Ayolah Kak Cris, menikah? Aku masih muda. Dan kabarnya kamu juga sudah bertunangan. Jangan mengumbar lelucon di situasi kita bisa mati begini.”

Cristhian berhenti dari aktivitas pencariannya. Melirik gadis itu dan duduk di tepi ranjang.

“Jawab saja satu hal, Evelin. Apa kamu tidak bisa membunuhku karena menyukaiku?”

Sejenak diam menerpa, beberapa detik kemudian Evelin bersuara. “Aku tidak menyukaimu. Kebetulan saja aku kasihan padamu dan tak jadi membunuhmu. Aku juga malas karena sangat ingin pensiun dari pekerjaan ini,” ocehnya berdrama.

Cristhian tersenyum meledek. “Jawab saja ya atau tidak?” Tampang drama retak di muka, Evelin seketika menatap masam.

“Tangisanmu sudah menjawabku,” laki-laki itu tertawa pelan. Ia berdiri, menghampiri sang kupu-kupu keras kepala. “Apa kamu tahu? Aku kuliah di jurusan psikologi.”

“Benarkah? Tapi tampangmu itu aneh. Dan sepertinya kamu cocok berteman dengan orang gila.”

Sekarang mereka berdiri berhadapan. Menilik dari penglihatan, Evelin jelas gugup bertatap muka dengannya. Cristhian mengabaikan sindiran dan mengatakan hal di luar dugaan.

“Baguslah, karena aku juga menyukaimu.”

Senyum bak bunga merekah di bibir, membuat pesona sebagai cinta pada pandangan pertama tepat untuk disandangnya. 

Entah seperti apa kata hati Evelin. Bayangan berupa di atas awan berbisik ingin memanjakan, tapi keangkuhan berdiri di permukaan. “Sombong sekali, kapan aku mengatakan suka padamu?”

Cristhian menarik pinggangnya. “Ayo tidur, besok kita tidak boleh terlambat bertemu orang tuaku.”

Jengkel terpancar karena diabaikan. Tapi tarikan tangan Cristhian tetap memaksa Evelin tidur di ranjang. Coat yang terpakai, dilepasnya dan dilempar ke sofa coklat empuk.

Tak peduli seperti apa respons orang di sebelahnya, sang gadis menarik selimut menutupi diri. Jujur ia cukup malu, hanya berpakaian seperti itu saat ini.

Mata elang Evelin menyorot Cristhian yang hendak tidur di sampingnya. “Kakak juga tidur di sini? Kamu mau macam-macam ya!” hardiknya.

“Ini kamarku. Aku lelah, jadi ayo tidur,” Cristhian juga menarik selimut penutup Evelin.

“Aku tidak mau berbagi selimut denganmu!”

Badan sudah terlanjur terbaring. Walau saling berhadapan, tatap muka mereka masih tak teralihkan. “Aku kedinginan. Jangan undang hasratku untuk macam-macam.”

Perlahan, Evelin membiarkan genggaman erat selimut terlepas di tangan. Ia memilih berbalik, takut jika Cristhian benar-benar melakukan apa yang diucapkan. Senyum simpul tersungging, sang pemuda ikut menutupi tubuh dengan kain lembut tebal berduaan bersama sosok di sebelahnya.

Entah sudah beberapa menit berlalu. Evelin tak bisa tidur, pikirannya menerawang apa yang akan terjadi selanjutnya. Robert dan Marcus pasti takkan mengampuni kegagalan misi. Hanya karena terpesona dan cinta pada pandangan pertama, jelas suatu omong kosong jika terdengar oleh kedua orang itu.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang