19. Cristhian dan Kaizer

271 17 2
                                    

Tiba-tiba, hunusan pedang kasar pun diarahkan ke Lucius. “Ugh!” geram sang pemuda akibat serangan yang menekan.

“Berani-beraninya kau membunuh komandan, Bocah!” hardik Kaizer.

Tapi justru seringai yang diberikan Lucius. “Selamat tinggal, Pangeran,” ia pun memutar tubuh dan memberikan tendangan ke perut lawan.

“Yang Mulia!” teriak prajurit lainnya.

Dan tanpa keraguan Lucius menarik lengan Lucia. Mengejutkan gadis itu juga musuh-musuhnya.

“Berhenti!” teriak sosok yang memakai zirah putih tadi.

Tapi terlambat. Lucius juga Lucia, melompati tebing yang ternyata aliran sungai menantinya. Sungguh mereka tak bisa berkata-kata akibat keberanian keduanya.

“Mereka kabur,” Kaizer berujar santai.

“Terus? Apa yang harus kita katakan pada Raja? Pembunuh tangan kirinya kabur. Begitu?” sosok berzirah putih menatap jengkel lawan bicara.

Laki-laki yang beradu pedang dengan Lucius tadi hanya diam. Sorot matanya, masih memandangi aliran sungai di bawah sana. Deras, namun ia yakin dua orang itu baik-baik saja.

Terlebih lagi musuhnya tahu jati dirinya. Padahal sepanjang yang ia ketahui, hanya segelintir orang di kerajaannya mendapati sosoknya dengan gelar pangeran. Mengingat Kaizer lebih banyak menghabiskan hari di kastil ksatria. Tempat di mana orang-orang Orion melatih dirinya untuk menjadi prajurit tangguh kerajaan.

“Ayo kita kembali,” ajaknya pada laki-laki di sampingnya.

Dan ksatria berzirah putih itu pun memainkan mata pada salah satu bawahan. Sebagai tanda, agar pengikutnya memulai pencarian perburuan. Dengan mangsa seorang pemuda juga gadis yang sudah membunuh Komandan Pasukan Kerajaan.

“Kupikir kita akan mati,” lirih Evelin tiba-tiba setelah berhasil diselamatkan adiknya ke tepi sungai. Untung saja, mengingat sosoknya tak bisa berenang. Namun bukannya membiarkan dirinya beristirahat, Lucius malah mencengkeram kerah bajunya.

“Apa-apaan kau ini?! Kau hampir saja membunuh kita berdua!” kesalnya.

Sang kakak terkesiap melihat tatapan garang yang dipamerkan adiknya. Evelin langsung menepis cengkeraman, tapi ternyata sia-sia. Genggaman erat Lucius bukan sekadar bualan belaka.

“Lepaskan aku bodoh!” ia pun meronta. Tapi tiba-tiba pipinya malah dicengkeram saudaranya.

“Lihat aku. Cristhian? Omong kosong macam apa itu? Kau sedang bermain drama?” seringainya.

Evelin yang merasa tidak nyaman pun menatap masam. “Dia ayah dari anakku.”

Tawa mendadak pecah dari mulut sang pemuda. Bersamaan dengan cengkeraman yang dilepaskannya.

Sungguh gadis itu tidak memahaminya. Entah kelucuan apa yang ditangkap Lucius dari ucapannya. Sampai-sampai pandangan sang pemuda berair di pelupuk mata.

“Ayah dari anakmu? Kamu hamil?” cibirnya dan menyentuh perut kakaknya.

Spontan saja Evelin menepis kasar tangan itu dan mundur dua langkah. “Jaga sikapmu!”

Raut meremehkan memudar. Ekspresi Lucius menjadi lebih tenang. Dan lambat laun mendingin seirama aliran angin kasar di sekitar mereka. Gadis itu terkesiap tak tahu kenapa seperti bisikan kematian seakan-akan memeluknya.

“Lucius—”

“Dengar, Lucia. Persetan dengan hilangnya ingatanmu,” ia memotong ucapan tiba-tiba. “Aku takkan lagi mengampuni kesalahan. Kau mungkin lupa, jadi akan kuingatkan kembali. Orion, kerajaan itu, ikut membantai keluarga kita. Dan pangeran yang kau panggil Cristhian itu, adalah bajingan yang membunuh ibu. Jika kau jatuh cinta, maka aku akan memakluminya. Tapi bersiaplah, karena kepalanya akan hadir di piring sajimu. Ingat itu, Kakak.”

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang