22. Dua Tenebris dan Singa Orion

169 10 0
                                    

Hening.

Semua berisik seolah ditelan penampakan di luar dugaan. Mata merah layaknya ukiran berlian abadi, merona di netra seorang Lucius.

Semua pandangan yang menyaksikan, merasakan desiran aneh ketika menatapnya. Seakan tersihir agar mendekat pada sosoknya.

Sayangnya raut berbeda ditampilkan Atlea. Bahkan jika dia terpengaruh, tapi fokusnya luar biasa. Segera ia alihkan pandangan sekilas dan melirik dingin musuhnya.

“Jadi mata aneh itulah yang ada di balik penutup. Kau, apa kau seorang penyihir? Menilik kemampuanmu, aku tak yakin kau sekadar pembunuh bayaran biasa. Kau bangsawan bukan?”  

Perlahan Lucius mengangkat tangannya. Menyisir poni yang menutupi mata kanan sehingga semakin angkuh perawakan.

Segaris lekukan tipis membentuk senyuman. Dan suaranya mendingin berbeda dengan sebelumnya. Lucia yang masih setia memandangi, merasakan hawa tak biasa. Seakan kematian berdiri tepat di depannya.

“Luc—”

“Siapa pun aku, apa pedulimu?” Lucius malah memotong ucapan Lucia. “Bahkan kalau pun kau tahu siapa kami, kau takkan sudi melepaskan kami. Kau di sini untuk memburu aku dan kakakku bukan? Karena sudah begini, biar aku luruskan. Bukan kau singanya, Atlea. Tapi akulah sang pemangsa.”

Ksatria Orion pun seketika memasang kuda-kuda. Bukan tanpa alasan, semua karena kalimat juga tindakan pemuda di depan mata. Di mana Lucius bergerak maju dengan langkah tegapnya.

“Lucia,” panggil Lucius. “Perhatikan punggungku,” ia tersenyum senang.

Dan hal itu jelas mengusik perasaan. Tak diragukan lagi, ingatan tentang Robert menguar di otak Evelin. Senyumnya, tutur kata juga pola bicara, semua yang ada pada Lucius serupa dengannya.

Irama napas nan memburu langsung mencengkeram kesadaran Lucia. Tapi belum sempat ia menguasai diri, bunyi dentingan senjata yang beradu memekik di sana.

Milik Lucius juga Atlea yang mulai serius bertarung.

Semua berbeda, napas sang singa hutan tercekat akan kelihaian lawan. Gerakan yang tak lagi sama mengingatkan Atlea pada Raja Hidea. Tanpa sadar ia melontarkan kata tak terduga.

“Kau, apa kau pangeran Hidea?!”

Tentunya mengejutkan para pendengar. Tapi Lucius hanya tersenyum, dan tanpa ragu mencengkeram pedang Darcy yang ditahan.

“Luc,” syok Lucia melihat keberanian adiknya.

Tak peduli jika bilah tajam itu melukainya, darah terus mengalir membasahi lengan. Dan setiap tetesan yang meninggalkan tubuh Lucius, langsung berasap ketika menyentuh tanah.

“Kau!” Atlea menatap tak percaya.

“Bahumu,” bisik Lucius tiba-tiba.

Begitu cepat gerakannya, Atlea yang terusik tak sempat melindungi diri. Senjata terselubung pangeran itu menghantam bahu kiri. Seketika ia roboh dalam posisi terduduk dengan pedang menancap tanah.

Sensasi seperti dihimpit batu besar memenuhi sakit yang dirasa. Dan gemuruh jantung di dada, berteriak tak biasa. Berbisik kalau kematian sudah di depan mata.

"Ketua!” teriak salah satu bawahan akibat Lucius ingin memberi serangan lanjutan.

“Hentikan!” cegatnya. “Kalau kalian maju, akan kupastikan kepalanya melayang,” seringai Lucius padanya. Lucia yang mendengar itu menatap heran. Mendekat agar bisa berdiri berdampingan dengannya. “Oh ya, Kakak. Menurutmu kita apakan dia?”

Pertanyaan itu berhasil membuat Atlea menengadah. Tak tahu kenapa, tenaganya seperti menguap akibat sakit di bahu.

Serangan kasar yang dilontarkan, tampaknya punya rahasia lain untuk melumpuhkan.

“Lepaskan saja dia.”

Jawaban Lucia benar-benar membungkam lawan. Rupa menawan yang melukiskan ketegasan, mengernyitkan dahi bingung sekarang. Atlea bertanya-tanya rencana apa yang dipikirkan gadis muda di pandangan.

“Kamu yakin? Dia datang ke sini untuk memburu kita,” Lucius melirik lewat sudut mata. Tersenyum simpul untuk mendengar balasan lanjutan.

Tapi, sepertinya keputusan gadis itu sudah bulat. Dia pun mensejajarkan tubuhnya, menyentuh bahu kanan Atlea tanpa aba-aba.

“Kami akan melepaskanmu. Kuharap kau tidak melupakan itu, wahai Tuan Ksatria. Aku dan adikku, bisa membunuh kalian kapan saja. Kuharap ini terakhir kalinya kita bertemu. Selamat tinggal,” ia langsung berdiri dan meraih tangan adiknya.

Beranjak dari sana memasuki rumah mereka. Meninggalkan tanda tanya besar untuk setiap orang yang penasaran. Dan itu juga termasuk Lucius.

Sekilas, sang pemuda sempat menoleh ke belakang. Menyeringai lebar pada Atlea yang terbungkam. Pertanda kalau sosoknya sangatlah mengerikan, karena ekspresi itu menyiratkan kegilaan.

Ksatria elit Orion tersadar kalau musuh yang telah diusiknya bukanlah orang sembarangan.

“Kenapa melepaskannya?” tanya Lucius tiba-tiba. Ia bersandar di dekat jendela, menyaksikan kepergian para musuh yang bertangan hampa.

Perlahan Lucia pun bangkit dari rebahannya di sofa. Memperhatikan sang adik yang tak menoleh padanya.

“Kurasa kita tak punya alasan untuk membunuhnya.”

Tawa pelan tersembur, terdengar seperti sebuah ledekan di telinga. Sumbernya yang tak lain adiknya sendiri, mengundang tatapan aneh dari Lucia. Bertanya-tanya apa yang lucu dari kalimatnya barusan.

“Tak punya alasan? Sejak kapan kakakku punya rasa iba?” sindiran itu entah kenapa serasa menusuk kedalaman tulang. “Ah, benar juga. Kakakku kan hilang ingatan. Tenang saja, Luc. Aku akan memaklumi tindakanmu. Tapi jangan lupa kalau tak ada yang kedua. Tak peduli siapa pun di depan mata, selama mereka musuh maka harus meregang nyawa.” Langkahnya pun menghampiri Evelin. Lambat laun jari-jari panjang nan indah milik Lucius menyentuh pipinya. Mengelus lembut dan menyalurkan keanehan di sana. “Hanya itu pilihan kita, Lucia. Kau dan aku pendosa. Tetaplah jadi iblis, Kak. Karena hanya itu cara bertahan hidup kita. Aku menyayangimu, Lucia,” ia pun mengecup lembut kening kakaknya.

Berlalu dari sana, meninggalkan keterdiaman Evelin atas kejadian singkat mereka. Walau tak diucapkan, gadis itu menangkap sebuah rahasia.

Kesedihan, itulah yang terukir di balik mata tenang adiknya. 

Dan raga lelahnya direbahkan seperti semula. Mencoba melepas penat setelah pertarungan. Tak peduli jika darah menghiasi pakaian dua bersaudara Tenebris. Kantuk yang berbicara benar-benar berhasil melumpuhkan mereka.

Sementara Atlea, sepanjang perjalanan fokusnya entah di mana. Panggilan dari para bawahan tidak dihiraukan. Berisik tak mengusik pandangan, kecuali tangannya terus memegang bahu kiri.

Remuk tidak tepat untuk rasa sakitnya.

Bahkan area yang dipukul pedang Lucius jelas mati rasa. Batinnya masih bertanya-tanya siapa kedua orang itu sebenarnya. Terlebih netra mirip berlian merah terus menghantui pikiran.

Sepertinya, pilihan Atlea untuk mencari tahu kebenaran hanya dengan kembali ke kerajaan.

Dan di pinggiran sungai di lokasi yang tak jauh dari kediaman kakak beradik Tenebris, seorang pemuda sibuk memandikan kudanya.

Sambil sesekali bernyanyi walau suaranya tak begitu indah untuk menyusup masuk ke telinga. Namun sosoknya tak peduli sampai fokusnya buyar akan kehadiran seseorang.

Jubah gelap yang tak asing milik kenalan Lucius dan Lucia ketika meminta bayaran di bar. Ya, dialah wakil raja Darkas.

“Paman? Urusanmu sudah selesai?”

“Begitulah.”

“Jadi bagaimana? Apa utusanmu itu berhasil?”

Seringai tipis tiba-tiba tercipta di bibirnya.

“Bahkan Atlea juga tunduk di tangan mereka.”

“Benarkah?!” syoknya. Tubuhnya pun berbalik sempurna, merasa tak percaya pada apa yang baru saja di dengar. “Kamu tidak bohongkan? Ksatria singa itu?!”

“Ya. Singa hutan Orion sekaligus pahlawan perang Hidea. Dia dan komandannya, berhasil dilumpuhkan utusanku. Bagaimana pendapatmu? Pangeran Siez. Bukankah ini sangat menyenangkan?”

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang