“Cih! Berhentilah bercanda, Kak. Kamu tidak bisa sembarangan mengajakku berpergian di saat kau dan aku jadi buronan.”
“Kalau begitu jawab aku. Menurutmu, apakah rekanmu yang lain akan mengejar kita?”
“Tentu saja. Kalau pun belum sampai, aku yakin mereka pasti sudah di pesawat sekarang.”
“Berarti mereka takkan naik kapal bukan? Baguslah, kita bisa bersembunyi sekalian.”
Evelin tak bisa berkata-kata. Memang tak ada kemungkinan jika anggota organisasinya akan muncul di sini. Bisnis mereka lewat pelabuhan di kota yang berbeda. Kuasa di negara ini juga terbatas, karena kuasanya aktif di negara lain.
Mengingat tasnya masih ada di kamar mandi club Cristhian, itu berarti organisasinya belum bertindak. Apalagi, mereka biasanya memberi kurun waktu tiga hari untuk menyelesaikan misi.
Evelin waspada, pikirannya tetap tak karuan sampai beberapa jam berakhir sia-sia akan jawaban yang tidak kunjung ia dapatkan.
Apakah ini pilihan tepat baginya? Mengikuti Cristhian sang perebut hati. Lalu bagaimana dengan Marcus? Pengkhianatan gadis itu jelas akan meretakkan hubungan mereka dan berujung pada insiden tak terduga. Ronald takkan mengampuninya, begitu pula dengan nyawa Cristhian.
Tapi perlahan, hatinya ingin hidup bersama pemuda itu. Mencoba lepas dari bayang-bayang gelap dan menempuh hidup baru. Dia memang gadis muda yang terlalu naif jika menyangkut masalah perasaan. Otaknya buntu dalam bekerja, karena terpesona akan hasrat untuk bahagia.
Sejauh mata memandang, gelombang air yang menyapa. Mencoba menatap ke bawah, pantulan wajah samarnya seolah tertawa. Seakan mengatakan apa saja yang sudah ia lakukan. Sentuhan lembut Cristhian pun mengagetkan Evelin.
“Apa kamu menyesal melakukan ini denganku?” Hanya tatapan lepas ke perairan yang diperlihatkan Evelin. “Apa kamu ingin membunuhku?”
Gadis itu menoleh dengan raut masam. “Berhentilah menanyakan itu. Atau aku benar-benar akan melakukannya.”
Cristhian tertawa pelan. “Aku benar-benar tak menyangka semua akan jadi seperti ini. Apa kamu ingat pertemuan pertama kita?”
“Bagaimana mungkin aku lupa? Itu baru beberapa hari yang lalu.”
Cristhian tersenyum. “Jika kuingat-ingat kembali, aku memang pemuda yang sangat brengsek. Bisa-bisanya aku melakukan itu pada orang yang baru kutemui.”
“Memang brengsek.”
Senyum Cristhian perlahan memudar. “Jadi, kenapa kamu membiarkan itu terjadi? Kamu tidak seharusnya membiarkan aku mengambil milikmu jika tujuanmu memang ingin membunuhku.” Evelin terdiam. Tangan kanannya terkepal erat. “Jika bukan aku. Apa kamu juga akan membiarkan hal seperti itu terjadi kalau targetnya bukan aku?”
“Yang terjadi biarlah terjadi. Aku tak ingin membahas masa lalu lagi,” Evelin pun pergi meninggalkannya.
Menjelang sore datang, seorang wanita melangkah masuk sambil membawa tas cukup besar ke istana Presiden Jason. Dandanannya terlalu biasa, sambil diiringi sambutan tegas dari kepala pelayan.
“Tentang detail pekerjaanmu, bisa ditanyakan pada Bertha,” kalimat terakhir yang di dengar orang baru itu dari kepala pelayan.
Sekarang, langkahnya mengikuti orang yang bernama Bertha menuju rumah tepi, tempat para pelayan tinggal. Hanya sebuah rumah dengan perabotan sederhana, tapi memuat lima kamar untuk ditempati.
Bertha sang pelayan, namun dengan pengalaman lebih senior di sana mengingat sudah berapa lama ia mengabdi. Rambut potongan afro coklat, namun diikat agar tak terlalu mekar. Untuk wanita berusia 37 tahun, ia cukup cantik di kalangan bawahan.
“Mulai hari ini, kamu akan tinggal di sini. Ini kamarmu, karena kamu anak baru jadi hanya akan sendiri. Besok, tugasmu cuma perlu membersihkan jendela di kediaman ini tanpa terkecuali. Hanya jendela. Jika ingin makan, ada Zaina yang bertugas untuk masak, jadi kamu hanya perlu meminta padanya. Gaji akan dibayarkan sebulan sekali oleh kepala pelayan. Dan jangan bertingkah aneh-aneh karena di sini ada banyak penjaga. Jika kamu tidak betah silakan angkat kaki, kediaman ini tidak butuh pegawai tak berguna yang hanya akan memenuhi kediaman ini. Apa kamu mengerti?”
“Ya, saya mengerti.”
“Kalau begitu silakan beristirahat,” Bertha pun pergi meninggalkan kamar.
Wanita itu perlahan menutup pintu ruangan yang akan ditempatinya. “Aku memang akan angkat kaki. Siapa juga yang sudi berlama-lama di sini? Kalau bukan karena misi, sudah kukoyak mulutmu yang cerewet itu. Benar-benar menyebalkan,” gerutunya melempar tas ke ranjang. Ia pun mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Aku sudah masuk. Nanti malam akan kulakukan.”
“Ya,” jawab seseorang. Panggilan pun terputus begitu saja sambil pria yang menjadi lawan bicara pelayan baru menghisap rokoknya dan menyemburkan asapnya. “Evelin, apa yang sudah kamu lakukan? Hanya masalah waktu sampai Ronald tahu tentang ini,” ucapnya menghela napas pelan. Tampaknya, sorot mata lepasnya menyiratkan beban pikiran.
Entah sosok yang dipikirkan menyadarinya atau tidak, tapi waktu perburuan sudah memasuki tangga penyambutan.
Langit sore mulai mencoba bersembunyi saat datangnya malam. Bintang muncul membisikkan kenyataan, angin berembus menyuarakan keadaan. Marcus terdiam begitu mengetahui fakta tentang gadis kecil yang ia besarkan, melarikan diri bersama anak presiden.
Bahkan Antonio, mata-mata yang menyusup ke kediaman Presiden Jason seminggu lalu bersumpah kalau Cristhian Ronald mengakui Evelin Gosca sebagai calon istri dan sedang mengandung anaknya. Kegilaan apa yang dilakukan Evelin? Batin Marcus bergemuruh geram akan ulahnya.
Jadi, apa yang harus ia lakukan? Terlebih Barbara sedang mengurus pembunuhan malam ini. Wanita itu, pasti akan memburu Evelin jika mengetahuinya.
Tiba-tiba Evelin tersentak dalam tidur lelapnya. Keringat dingin mengalir membasahi tubuh, jantungnya berdetak tak karuan, instingnya berteriak tak nyaman. Ditatapnya pemuda yang terbaring di samping, wajahnya begitu indah di mata, tapi tak bisa mengurangi kecemasannya.
Ia bangkit lalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Ditatapnya tangan yang gemetar itu, mengusik kembali bayangan mimpi di tidurnya. Teriakan, darah, tangisan, sesaknya tekanan air, bayangan itu menghantuinya.
Tidak peduli berapa banyak waktu berlalu, kenapa mimpi itu harus datang lagi? Tubuhnya tak bisa berhenti gemetar dengan mata perlahan memerah. Lambat laun dirinya pun mengatur pernapasan untuk menenangkan raga dan jiwa. Berharap semua akan baik-baik saja. Dia tak ingin kehilangan lagi. Tidak untuk sosok yang mulai ia cintai sepenuh hati.
Sekarang, rupa gadis itu menegas dengan keyakinan terpancar di sana. Dirinya mencintai Cristhian Ronald dan ia akan melakukan apa pun untuk melindunginya.
Bahkan jika itu akan memberikan lubang besar dalam hubungannya bersama mereka yang mengikatnya.
“Maafkan aku.” Gumaman pelan itu mengudara di balik langkahnya.
Akan tetapi, waktu mulai bergulir ke saat yang sedang dinanti Barbara sambil tersenyum sinis di dalam kamarnya.
“Saatnya berburu,” sebuah pisau dan pistol ia sembunyikan di balik baju pelayan itu.
Guratan keangkuhan berubah begitu langkahnya keluar kamar menuju kediaman keluarga Presiden Jason. Bangunan utama, entah karena akan ada sesuatu yang terjadi, auranya malam ini begitu berat.
Bunyi langkah kaki dalam keheningan, waktu yang menunjukkan pukul 01.37, dinginnya malam, lelapnya para manusia di kediaman. Perlahan, sosok wanita itu berhenti di lantai dua sambil bersandar ke sebuah pintu kamar.
“Saatnya pertunjukan sayang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Wanita Terkutuk
Fantasy(18+) Warning! Mengandung kekerasan dan konten dewasa. Mohon bijak dalam membaca. Evelin Gosca, sang pembunuh bayaran di dunia nyata pun harus merasakan cinta pada pandangan pertama yang pahit. Di mana dirinya malah menghabiskan malam bersama dan m...