23. Ambisi Sang Pangeran

199 11 0
                                    

Senyum merekah terpatri. Begitu indah rasanya, sangat pantas dipamerkan laki-laki bermata aquamarine itu. Rambut perak dengan poni menyentuh alis rapi membingkai wajah, ditambah ukiran rupa selayaknya dewa, sungguh menggoda untuk mencuci mata.

Namun sorot mata sayu yang menajam itu mengernyitkan dahi penontonnya. Merasa penasaran akan jawaban karena tak kunjung dilontarkan.

“Pangeran?”

“Aku menginginkan utusan itu.” Behella Nel Markaz terdiam. “Aku menginginkan utusan itu, Paman. Bisakah kau bawakan padaku?” sorot matanya memancarkan ambisi.

Sang wakil Raja hanya terkekeh menanggapi. Mendekat, namun langkahnya tertuju pada kuda di belakang sana. Di mana hewan itu sibuk mencari makan di dekat pinggiran sungai.

“Apa yang kamu inginkan? Mereka cuma pembunuh pinggiran.”

Siez berpaling, melirik Behella lewat sudut mata. Seringai melebar di bibirnya dan itu jelas tak terlihat di pandangan adik ayahnya.

Lagi pula, cerita yang dilantunkan wakil raja Darkas menjadi hiburan tersendiri baginya. Karena setelah sekian lama, akhirnya ada yang mampu menundukkan komandan ksatria Orion dan juga singa hutan mereka.

Bukankah sang utusan asing itu sangat luar biasa?

“Pembunuh pinggiran ya. Tapi dengan prestasi seperti itu bukankah mereka terlalu mencurigakan?”

Behella tidak menanggapi selain tangannya sibuk mengelus punggung kuda. Desiran air sungai yang jernih menjadi tumpuan mata. Sekilas santapan lezat tertangkap pandangan. Berbisik ke hati untuk segera menangkapnya.

Siez yang menyadari arah tatapan pamannya hanya melirik malas sekarang.

“Apa anda selapar itu? Sampai mengabaikan pertanyaanku.”

Helaan napas pelan tersembur dari pria itu. Gagal sudah, padahal ia berniat menangkap ikan tapi keponakan mengganggu kesenangan.

Decihan pecah di mulutnya dan ia pun menatap sinis sang pangeran.

“Mencurigakan atau tidak, hasil kerjanya mengagumkan. Dan kurasa, lebih baik kita terlibat hanya di bidang itu saja. Karena entah mengapa, saat bersama kakak beradik itu aku merasa tidak nyaman. Seolah-olah ada kematian di depan mata.”

Pernyataan Behella berhasil mengusik perhatian. Justru itulah yang ingin dirasakan Siez. Ia semakin tertantang dan mengharapkan dua utusan asing dalam cengkeraman.

Wakil raja Darkas menyadarinya. Terlambat sudah, keputusan telah dibuat. Saat pandangan bergairah terukir di rupa sang keponakan, pertanda ambisinya tak dapat dipatahkan.

Tampaknya neraka dua pembunuh bayaran kenalannya akan segera menjadi kenyataan.

Dan di tanah yang menjadi lokasi hunian dua bersaudara Tenebris, terlihat mereka sedang bersiap-siap.

“Apa kita memang harus pindah?”

Lucius pun menoleh pada kakaknya. Melempar jubah baru beraroma bunga.

“Tentu saja. Kita sudah ketahuan. Tak ada lagi alasan untuk menetap. Cepat atau lambat mereka akan tahu jati diri kita. Dan itu sama saja dengan malapetaka.”

“Tapi kita tidak mengatakan apa pun bukan?”

“Namun Atlea melihat mataku. Menurutmu, apa yang akan dipikirkan Orion? Saat mendapati pembunuh bayaran memiliki netra terkutuk.”

Evelin terkesiap. Benar perkataan adiknya, jika mereka tidak pindah musuh pasti akan terus berdatangan. Dan Orion, lagi-lagi ia teringat Cristhian. Laki-laki yang menjadi lawan tanding Lucius sekaligus bunga rindu.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang