Sekarang di sinilah Lucius dan Lucia. Di istana merah kerajaan Darkas. Disebut begitu karena seluruh taman yang ada di sana dihiasi bunga-bunga berwarna merah. Cukup aneh sebab tak ada kaitannya dengan arsitektur bangunan.
Sementara dua bersaudara yang sudah selesai berganti pakaian dengan pelayanan terbaik saling berbagi pandangan.
Lucius tersenyum saat menyaksikan pancaran keindahan sang kakak.
“Kamu sangat cantik, Lucia,” pujinya tanpa basa-basi.
“Dan kamu sangat tampan.”
Pemuda itu mendekat lalu menarik hiasan emas yang mengikat rambut kakaknya. Membuatnya tergerai dan agak mengejutkan Evelin.
“Jangan ikat rambutmu.”
“Kenapa?” gadis itu memamerkan wajah bingung.
“Tidak cocok untukmu,” sambil tersenyum meledek.
Evelin pun mengedarkan pandangan malas. Dan ia biarkan Lucius mengurus dandanan rambutnya. Jujur saja, semenjak bangkit sebagai sosok Lucia, dirinya mulai nyaman dengan keadaan itu.
Rasanya tak ada salahnya hidup memakai wujud baru. Terlebih dirinya tak sendirian lagi di dunia ini.
“Sudah selesai,” Lucius tampak puas setelah mengatur surai indah milik sang kakak.
Bahkan pelayan yang masih menemani mereka, ikut tersenyum melihat kasih sayang dua bersaudara di depan mata.
Nyatanya alasan sang pemuda melakukan itu bukanlah karena kakaknya tak cocok mengikat tinggi rambutnya. Hanya saja pakaian berwarna hitam yang melekat di badan terlalu memamerkan kemolekan Lucia.
Dan juga leher jenjang disertai dada membusung yang tampak nyata akan mengundang nafsu para serigala. Lucius benar-benar tak ingin jika kakaknya menjadi sumber cuci mata bajingan di luaran sana.
“Ayo, kudengar mereka sudah menyiapkan sajian untuk kita,” ajak Lucius yang meraih tangan Lucia.
Dengan dituntun dua ksatria serta seorang pelayan, mereka sampai di ruang makan istana yang sudah dihuni beberapa orang di dalamnya.
Semua menoleh pada sosok pendatang. Beragam sorotan hadir walau beberapa mengukir senyum di bibir.
“Selamat siang, baginda raja Ostro dan baginda ratu Seana. Suatu kehormatan bagi saya Lucius dan saudari saya Lucia untuk bisa bertemu kembali dengan anda,” sapa Lucius sambil mengatur hormat bersama kakaknya.
“Oh ayolah, Nak. Tadi kalian sudah melakukannya bukan? Tak perlu kaku begitu. Sekarang ayo duduk di sini. Ayo jangan malu-malu,” ajak pimpinan tertinggi kerajaan Darkas.
Berhias rasa canggung dua bersaudara Tenebris pun duduk berhadapan dengan putra dan putri pria itu.
Jujur Lucius dan Lucia takkan pernah menyangka, kalau mereka akan sangat diterima dengan baik di sana. Sosok Ostro Armarkaz sungguh berbeda dari bayangan, terlebih julukan raja berdarah dingin tertopang di bahunya.
Netra aquamarine diselingi surai perak serupa garis keturunannya, semakin menambah daya tarik ketika senyuman merekah. Dia seperti pria santai namun siapa yang tahu wujudnya di luar sana.
Entah sekadar bermuka dua, tapi sambutan untuk Tenebris bersaudara begitu ramah luar biasa.
“Bagaimana? Apa makanannya sesuai dengan lidah kalian?”
“Tentu saja, Yang Mulia. Makanan ini rasanya sangat luar biasa,” Lucius menanggapi pertanyaan Seana.
Lain halnya dengan sang kakak yang sibuk menyantap sajian. Entah sudah berapa lama Evelin tidak makan senikmat ini, dirinya tak ingat. Terlebih ketika bersama Cristhian bayangan makan sambil diburu tekanan masih terngiang.
Dan beberapa orang yang tak mengalihkan pandangan dari keduanya, memendam beragam perasaan.
“Ini cukup mengejutkan,” Sid Nel Armarkaz, anak pertama sekaligus putra mahkota kerajaan itu tiba-tiba bersuara. Senyum tipis yang terpatri di bibir seakan memamerkan keangkuhan. Semua orang pun menoleh padanya. “Aku sudah dengar sepak terjang kalian. Tapi siapa sangka, ketika melihatnya secara langsung kalian berdua benar-benar jauh dari bayangan.”
“Memangnya anda membayangkan kami seperti apa? Yang Mulia.” Lucius yang duduk berhadapan dengannya pun memasang ekspresi menyenangkan.
Evelin merinding, karena baru pertama kali melihat pancaran aneh itu. Sepanjang hari bersama adiknya Lucia, jarang guratan bibir barusan tampak di mata. Kecuali raut menyebalkan dan ukiran sinis yang diperlihatkan.
Namun tanggapan berbeda justru terasa di benak dua wanita lainnya. Ratu Seana Nel Armarkaz dan anak keduanya yaitu tuan putri Olea Nel Armarkaz malah terpesona.
Terlebih detak jantung yang semakin tidak normal berkumandang di dada. Tanpa sadar Olea pun mencengkeram erat pinggiran dressnya. Menunduk perlahan akibat hasrat konyol berbisik ke otak, melantunkan nyanyian kalau ia mungkin saja jatuh cinta.
“Besar, berotot, dan jelek?” lirikan matanya pun beralih pada Lucia. Tapi tatapan itu justru mengarah ke belahan dada sang wanita, “namun nyatanya justru sangat menawan, cantik, dan begitu menggoda.”
Tawa pun tiba-tiba pecah di mulut sosok termuda. Sontak saja hal tersebut mengundang perhatian semua orang bahkan pelayan juga kaget dibuatnya.
“Ah, maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku semuanya,” Lucius pun menghentikan makan sambil menaruh sendok serta garpu di piring saji. Tangannya terangkat untuk menghapus kristal bening di salah satu pelupuk mata, sedangkan Evelin mengernyitkan dahi bingung melihatnya. “Maafkan aku karena sudah tidak sopan saat makan.”
Raut mukanya langsung berubah seketika. Tak ada lagi keramahan, keadaan mendadak serius mengikuti ekspresi Lucius.
Raja Ostro yang menyaksikan hanya menghela napas pelan. Padahal ia ingin mengatakan sesuatu tadi, tapi perubahan suasana jelas merusak kondisi hati.
Entah putranya atau pembunuh bayaran muda itu yang salah, tapi makan siang mereka menjadi tidak nyaman.
Malam pun datang membuat Lucius dan Lucia beristirahat di kamar yang sama. Padahal ruangan milik sang pemuda ada di seberang, tapi sosoknya memilih terdampar di sana. Menggerutu tak jelas entah kenapa.
“Oh ayolah, Lucius. Bisakah kamu diam sebentar? Kepalaku sakit mendengar ocehanmu sejak tadi,” keluh perempuan itu akhirnya. Sejak merebahkan tubuh di ranjang mewah tengah ruangan, sang adik tak henti-hentinya bersuara.
Semua gara-gara pangeran pertama kerajaan Darkas. Bahkan setelah suasana makan siang dan malam yang rusak karena pria itu, mulutnya terus saja melontarkan pujian kurang ajar.
Jelas di mata kalau ia tertarik pada Lucia. Dan raja Ostro serta ratu Seana hanya bisa meminta maaf atas perbuatannya. Keduanya juga tidak menyangka, putra pertama yang akan menjadi raja dengan mudahnya berkata tak senonoh pada tamu mereka.
Sampai-sampai pimpinan tertinggi di sana menjanjikan hukuman untuk mendisiplinkan sikap anaknya.
“Bagaimana bisa aku diam? Apa kau tidak ingat perkataannya? Kalau bukan karena berada di istana, aku pasti sudah merobek mulutnya. Dia tidak pantas jadi calon raja, si brengsek Robert-Robert itu jauh lebih baik darinya.”
Evelin tersentak. Matanya membulat sempurna dengan mulut yang menganga. Bagaimana bisa adik tubuhnya memanggil sang pangeran begitu?
“Kenapa kamu menatapku begitu?” lanjutnya.
“Dan kenapa kamu memanggilnya begitu?”
“Kan kamu sendiri yang duluan memanggilnya seperti itu.”
Akan tetapi perdebatan mereka terhenti tiba-tiba akibat bunyi ketukan di pintu kamar. Keduanya sontak menoleh dan perlahan berbagi pandangan. Bersamaan dengan gangguan di pintu yang terus berkumandang.
“Kamu tunggu di sini,” Lucia bangkit dari tidurnya. Namun sang adik malah memegang lengannya.
“Biar aku yang buka,” Lucius mendahului dirinya dan berjalan menuju pintu. Walau perawakan pemuda itu terkesan santai, tapi mungkin takkan ada satu pun yang mengira. Jika hatinya memendam gejolak untuk membantai pengganggu di luar sana. “Kau—”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Wanita Terkutuk
Fantasy(18+) Warning! Mengandung kekerasan dan konten dewasa. Mohon bijak dalam membaca. Evelin Gosca, sang pembunuh bayaran di dunia nyata pun harus merasakan cinta pada pandangan pertama yang pahit. Di mana dirinya malah menghabiskan malam bersama dan m...