32. Bar Informasi

136 15 0
                                    

“Lucius. Kamu kenapa?” bingung Evelin melihatnya. Terlebih pemuda itu menjatuhkan kasar badan ke ranjang kakaknya.

“Aku lelah.”

“Memangnya kamu habis melakukan apa?” Pemuda yang menatap langit-langit kamar itu pun melirik sekilas. Mulutnya sedikit terbuka namun tak terdengar suara. Membuat sang penonton bingung dengan tingkahnya. “Hei, aku bertanya padamu.”

Lucius hanya terkekeh pelan, memaksa Evelin yang rebahan di sofa membenarkan posisi duduknya.

“Apa yang lucu?” bingung gadis itu.

“Tidak ada.”

Decihan pun terlontar. Jelas kakaknya merasa kesal, terlebih respons aneh yang diberikan adiknya tidak menyamankan hati. Sosoknya pun langsung menghampiri Lucius dan duduk di tepi ranjang.

“Lehermu kenapa?” tunjuknya pada area bawah telinga sang pemuda. Terlihat jejak kemerahan seperti digigit serangga.

“Ah,” pemuda itu terdiam sejenak. Perlahan guratan di bibir terkesan meremehkan, dan semakin mengundang rasa heran juga penasaran Lucia. Kakaknya benar-benar tampak polos di mata.

“Kamu sebenarnya kenapa? Berhentilah memasang ekspresi seperti itu!” jengkelnya.

Lucius yang di hardik pun tertawa pelan dan menghadap ke arah Lucia.

“Aku hanya memikirkan sesuatu yang lucu. Jangan marah begitu,” bujuknya sambil mengelus kepala sang saudara. Jujur saja, sikapnya ini justru malah membuat Evelin bingung dengannya. Mengingat dirinya yang seorang kakak justru diperlakukan seperti anak kecil oleh adik tubuhnya. “Bagaimana jika kita jalan-jalan? Aku jadi penasaran dengan penampakan di kerajaan ini. Kamu mau kan?”

Tapi belum sempat menjawab, tangan Lucia sudah terlanjur ditarik adiknya. Membuat Evelin yang menghuni raga itu hanya bisa mendengus di dalam hati.

Sepanjang jalan keluar istana, banyak sapaan para pelayan juga pengawal menyambut mereka. Bahkan tak luput pula tatapan kagum pada keduanya.

Di mana Lucia tampak menawan dengan gaun merah yang memamerkan bahu putihnya, juga lekuk tubuh ramping di area pinggang namun bagian dada membusung sempurna.

Tak lupa pula rambut panjang yang tergerai namun dihiasi baby breath sebagai pemanisnya.

Sementara Lucius, dia terlihat gagah dengan pakaian ksatria berwarna hitam. Dua pedang yang tersarung di kiri juga penutup pada salah satu mata semakin mempertegas sisi misteriusnya.

Mungkin bagi siapa pun yang tak tahu tentang mereka, akan mengira keduanya sebagai pasangan muda sempurna. Begitu tiada cela bahkan keindahan tingkat atas pantas disandang pada setiap langkahnya.

Dan sekarang setelah turun dari kereta kuda juga memakai jubah gelap untuk menutupi pakaian mewah di badan, wajah mencolok mereka pun sesekali tetap menjadi tontonan di tengah keramaian pasar kerajaan Darkas.

“Ayo,” ajak Lucius lagi-lagi menarik tangan Lucia.

Tanpa kehadiran prajurit di sekitar semakin mempermudah langkah keduanya. Tentu saja Darkas sudah menyediakan pelayanan itu, tapi saat akan keluar dari istana, Lucius menolak mentah-mentah beberapa pengawal juga pelayan yang ingin mengikutinya bersama Lucia.

Baginya kehadiran mereka tak lebih dari seonggok debu yang mengganggu pemandangan juga pernapasan.

Pintu dari bangunan yang dituju pun sekarang terbuka dan menampilkan beragam pesona di dalamnya.

Lucius tampak riang saat mendapati hamparan bilah tajam mengkilat dalam lemari pajangan.

Ya, toko senjatalah yang di datangi dua bersaudara itu. Dengan masih mengekori Lucius, sesekali Lucia menoleh ke kiri dan kanan. Mengingatkan dirinya kembali pada masa lalu di mana dulu dia juga memasuki tempat seperti ini ketika masih hidup di raga aslinya.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang