16. Pesan Terakhir

400 26 4
                                    

Tersentak, dua sosok yang berpikir takkan ditemukan justru ketahuan. Mereka mendelik kaget pada rupa menawan di belakang sana dengan langkah angkuhnya.

“R-Robert!” pekik Evelin. “Bagaimana bisa?!” gadis itu gemetaran. Cristhian terkejut, nama yang di dengar tak asing dan membuatnya berdiri di depan sang pujaan. Sebagai pelindung, jika terjadi apa-apa.

Tersenyum. Perlahan guratan itu melebar membentuk seringai. Membelah wajah untuk memperlihatkan seberapa menakutkan sosok yang berjalan dan akhirnya berdiri tenang sejarak lima meter dari mereka.

“Lari dan terus lari. Mau sampai kapan? Sudah kukatakan bukan? Pengkhianatan harganya mati,” dan ia pun melemparkan kalung perak tepat di hadapan mereka.

Terbungkam.

Evelin terbelalak, kakinya gemetar pelan dan mencoba melangkah ke depan.

“Evelin!”

Cegatan Cristhian diabaikan karena perasaan sudah hancur tak tertahankan. Sang gadis muda, akhirnya meraung keras mendapati kalung yang terbuang di hadapan. Sesak di dada di mana itu ternyata merupakan lambang sosok Marcus tersayang.

Pria yang telah membesarkannya menjadi seperti sekarang.

“Evelin! Apa yang terjadi? Kalung apa itu?!” putra presiden terlihat panik.

Robert tersenyum, tertawa pelan seperti mendapati tontonan yang menyenangkan.

“Bersyukurlah, karena aku hanya membawa kalungnya. Jika kepalanya, aku juga tak tega pada pamanku tersayang.”

“Siapa kau brengsek!”

Sosok itu memiringkan wajah, menatap remeh pada dia yang menantang. “Aku? Pemilik sesungguhnya, dari Evelin yang kau nodai.”

“Apa!” Cristhian pun menatap tak percaya ke arah sang pujaan.

Tampak di mata, Evelin masih meraung dengan perasaan terluka. Jatuh terduduk karena sesak yang dirasa. Dan suara berisik pun menghampiri mereka.

“Jangan bergerak!” teriak pihak aparat negara yang datang ke sana. Tentunya bukan sekadar kebetulan kehadirannya.

Bahkan seringai kian melebar di bibir sosok berkacamata. Robert menggerakkan pesona ranum itu untuk melontarkan kalimat tak bersuara. Evelin yang tersadar dari kesedihannya terbelalak menyaksikan ucapan perpisahan mantan pimpinannya. Tangan terkepal menghiasi penampakannya.

“Angkat tangan! Atas tuduhan—”

Berisik pun berkumandang. Tak disangka, tembakan berteriak dari pistol di tangan gadis muda yang tiba-tiba dikeluarkan. Tiga aparat yang menyergapnya langsung membalas serangan.

Tapi, siapa yang bisa mengira kalau cinta itu memang buta. Bisikan lembut di hati bergerak tanpa ragu ke tubuhnya. Cristhian secara refleks melindungi Evelin. Walau kenyataannya gadis tersebut berniat menembak Robert namun hanya mampu menggores pipinya.

Sang pemimpin keji itu tersenyum sambil darah terus mengalir menghiasi rupa.

“Jatuhkan senjatamu!” perintah salah satu dari tiga penegak hukum itu.

Sementara suasana pilu jelas memeluk gadis muda yang tak bisa berkata-kata. Saat tangannya berhasil meraih tubuh sang pujaan penyelamat hidupnya.

“K-kak Cris,” napas yang kian memburu mewakili Evelin.

Robert mengangkat salah satu tangannya, sebagai tanda agar tiga pendatang tak lagi menyerang mantan bawahan.

“E-Evelin,” dengan rasa sakit semakin menjalar ke seluruh raga, putra presiden itu mulai menggerakkan sentuhan untuk menggapai wajah tersayang yang dicintainya.

Tiga tembakan bersarang di tubuh sang pemuda. Hanya menunggu waktu sampai dia meregang nyawa. Gadis tersebut tidak bodoh, dia belajar titik vital untuk membunuh cepat mangsanya. Jelas tak ada gunanya lagi untuk berharap agar Cristhian baik-baik saja.

Serangan sudah menembus organ dalam juga arteri brakialis di lengannya.

Perlahan pistol di tangan bergerak untuk menembak kepala. Putra Presiden tersentak dan menahan gadis itu dari aksi bunuh dirinya.

Dengan mengumpulkan seluruh tenaga, senyuman terukir di awal pesan terbaiknya.

“Kuatkan dirimu,” tangan Cristhian menyentuh pipi perempuan itu. “Bahkan jika dunia serasa ingin membunuhmu.” Tetesan kristal bening pujaan hati berjatuhan ke rupa pemuda tak berdaya. “Hidup bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga perjuangan.” Evelin merasakan sesak di dadanya. “Berdirilah di atas kedua kakimu.” Tangan bergetarnya mencoba menghapus air mata. “Aku akan selalu melihatmu, bahkan jika tubuhku sudah tidak ada bersamamu.” Lambat laun putra presiden tak bisa menghentikan tangisan yang ikut menyuarakan kesedihannya. “A-aku, mencintaimu Evelin. Maafkan aku tak bisa lagi di sisimu. Aku, benar-benar menyayangimu.” Senyum pilu pun tersemat di wajahnya. “Sekali lagi maafkan aku, calon anakku.” 

Dia akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya.

Terguncang. Begitulah kondisi yang menghantam gadis muda. Seolah lupa kalau dirinya berada dalam rentangan tangan bahaya. Walau menonton dalam diam, ekspresi Robert masih menekan.

Perlahan memainkan mata sebagai tanda pada tiga orang yang akan menangkap bawahan tersayang.

Tapi, Evelin tiba-tiba berbalik dan melancarkan tembakan akurat pada mereka. Sambil berlari dengan perasaan hancur memenuhi raga serta hatinya. Namun sayang, usaha kabur demi janin juga harapan Cristhian sirna begitu saja.

Karena salah satu pihak aparat yang terkena serangannya berhasil menanamkan peluru di jantungnya.

Dan akhirnya, gadis itu tersungkur tak jauh dari mayat kekasihnya. Robert tersenyum, walau tidak menyangka akan tertembak senjata Evelin, tapi dirinya tak tampak kesakitan.

Langkahnya masih santai mendekati raga Cristhian. Menginjaknya tanpa perasaan. Menatap remeh pada bawahan yang tersiksa sekarang. Jelas baginya, irama napas Evelin berjarak bunyinya. Seperti detakan jantung di pinggiran jurang. Menyambut kematian di detik-detik kepastian.

“Kurang baik apalagi diriku?” tangannya menyentuh ujung rambut gadis itu. “Bahkan aku sudi menonton kematianmu.”

Tatapan mata sayu namun memendam dendam tersirat jelas di penglihatan Evelin. Walau ia yakin dirinya akan mati, namun sosoknya bersumpah. Berharap bisa membunuh laki-laki ini demi kekasih dan calon buah hatinya.

Robert pun terkekeh menyaksikan saat-saat sekarat mantan bawahannya. “Mari bertemu lagi di neraka, bawahan terkasihku.”

Selesai mengatakan itu sosoknya pun pergi dari sana. Melangkah sambil menjauhkan jas yang disandang untuk menutupi tubuh depannya. Dia terdiam ketika mendapati darah telah memenuhi kemeja putih di badan.

Pada bagian perut kiri, diiringi rasa sakit yang tak terlukiskan. Perlahan dirinya tersenyum bersamaan dengan jatuhnya fisik ke pijakan.

Menyedihkan sebenarnya, karena Robert memiliki raga lemah di balik pemikiran kejinya. Tawa pelan pun tersembur di mulut bersamaan dengan lirihan di sana.

“Aku ingin hidup lagi,” gumamnya dan perlahan menutup mata.

Sementara seorang gadis muda, merasa kalau pandangannya mulai mengabur. Dengan penglihatan masih terarah pada kekasih tersayang, kalimat penyesalan tersembur di antara bibir merona.

“M-maafkan aku, semuany—”

Hening berkumandang. Kecuali desiran angin kasar di pelabuhan. Sebagai ucapan perpisahan untuk tubuh-tubuh yang tergeletak di sana. Miris sebenarnya, karena beberapa bawahan Robert hanya diam menonton kejadian.

Mengingat mereka mengakui kemampuannya namun tak betah menjadi bawahan. Orang-orang tak tahu diri yang memang ingin menjatuhkan.

Sekarang, sensasi dingin berkumandang. Menyusup masuk lewat ruang-ruang terbuka ke kulit yang bisa disentuhnya. Mentari mulai memancarkan pesona, sebagai nyanyian awal agar malam tertidur sebagaimana mestinya.

Seseorang menggeliat dalam lelapnya. Diiringi kesadaran yang menendang diri agar terjaga.

Perlahan namun pasti, kelopak itu bergerak pelan. Terbuka, memamerkan mata dengan iris tak biasa. Dua warna yang berbeda seolah langka penampakannya.

“Sudah sadar?”

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang