Terbungkam. Seolah-olah dia tahu apa saja yang ingin ditanyakan Evelin. Bahkan jeda untuk bersuara juga tidak diberikan.
“Kakak dan aku saling memanggil dengan nama panggilan, Luc. Sehingga takkan ada yang tahu kalau kita berasal dari Tenebris. Bagaimanapun juga, perjuangan untuk bisa hidup sampai saat ini tidaklah mudah. Ada banyak yang dikorbankan dan itu neraka. Kuharap cepat atau lambat ingatanmu kembali, Lucia.”
Terdiam. Sentuhan yang ditorehkan Lucius ke pipi Evelin menusuk kesadarannya. Tak terlihat kasih sayang sebagai saudara, dan entah kenapa sensasi anehnya mengingatkan pada sosok tidak diharapkan.
Robert.
Dan Lucius terasa agak mirip dengannya.
“Bersiaplah, karena siang ini kita harus bekerja.”
Selesai mengatakan itu, sang pemuda pun pergi meninggalkannya. Menjelang waktu yang ditentukan, keduanya sudah bersiap dengan pakaian bak pengelana. Dihiasi jubah gelap sebagai luaran, Evelin tertegun menyaksikan penampilan adiknya.
“Kenapa kau menutup mata kirimu?”
“Karena kita unik, Lucia. Dan tak satu pun yang boleh tahu tentang ini,” sambil menyodorkan penutup mata.
Perempuan itu menerimanya. Jujur ia masih tak menyangka akan fakta yang terasa bagai khayalan di otak. Mengingat warna mata dirinya dan Lucius memang berbeda.
Kanannya biru dan lainnya merah.
Rambut sama-sama coklat, juga memakai anting berbentuk air mata dengan berlian hitam sebagai hiasan. Walau laki-laki, Lucius tampak cocok memakainya.
“Ini,” ia menyerahkan dua pedang pada Evelin.
“Kenapa yang ini seperti disegel?”
Tiba-tiba sang pemuda menyentuh gagangnya. “Karena pedang ini berhantu, Lucia. Jangan pernah gunakan kecuali kematian sudah di depan mata.”
“Berhantu?”
Guratan tipis menyeruak di bibir adiknya. “Bukankah sudah kukatakan? Senjata di Tenebris dibuat dari kumpulan mayat. Apa kamu bisa bayangkan berapa banyak tubuh dan jiwa yang dikorbankan?” kekehnya. Perlahan disentuhnya pipi sang kakak. “Lebih dari ribuan menjadi tumbalnya.”
Evelin pun langsung menepisnya walau pelan. Rasanya aneh diperlakukan seperti itu. Atau, mungkin masih sulit baginya untuk menerima kenyataan.
“Ayo kita pergi,” ajak Lucius yang jalan duluan.
Sesaat, sang gadis menoleh ke belakang. Menatap lekat kediaman sederhana berlantai dua itu. Asri dan indah, begitulah lukisannya. Dihiasi pohon akasia juga magnolia di sekitar.
“Omong-omong, apa pekerjaan kita?” Tak ada jawaban kecuali sosok yang ditanya terus berjalan. Penasaran tentunya. Tapi balasan mungkin tidak akan di dapatkan kecuali mereka sampai di tujuan. Insting Evelin merasa begitu. “Apa ini?” kagetnya saat melihat ada sekumpulan perkemahan di bawah tebing. “Siapa mereka?”
“Orang-orang dari kerajaan Orion.”
“Orion?”
“Salah satu yang menghancurkan Tenebris.”
“Lalu apa pekerjaan kita? Jangan bilang mengacau di sana.” Lucius menyeringai dan memamerkan apa yang ada di balik jubahnya. “Busur? Kau ingin menembak mereka?”
“Pimpinannya.”
Raut meremehkan langsung terlukis di rupa gadis muda. “Benarkah? Dari sini?”
“Tentu saja.”
“Apa bisa? Ini sangat jauh. Kau harus turun sedikit agar tidak meleset.”
Laki-laki itu malah mengabaikan kakaknya. Mulai mengambil satu panah dan bersiap melancarkan serangan. Embusan angin kasar yang mengusik tak mengganggu dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Wanita Terkutuk
Fantasy(18+) Warning! Mengandung kekerasan dan konten dewasa. Mohon bijak dalam membaca. Evelin Gosca, sang pembunuh bayaran di dunia nyata pun harus merasakan cinta pada pandangan pertama yang pahit. Di mana dirinya malah menghabiskan malam bersama dan m...