“Istirahatlah,” lirihnya mengambil selimut dan menutupi tubuh Evelin.
Walau matanya bisa melihat dengan jelas undangan dari raga sang gadis, dirinya tak berniat lagi melakukannya.
Rasa suka yang Cristhian miliki bukanlah suatu kebohongan. Jika tak menyentuh Evelin memang membuat gadis itu bahagia, maka akan ia lakukan. Dirinya tak ingin menodainya lagi tanpa izin, karena bagaimanapun sekarang sang pujaan mungkin akan mengandung anaknya.
Tak lama kemudian, embusan angin malam tiba-tiba membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap beberapa kali, hanya terang kamar dibantu cahaya rembulan terlihat olehnya.
“Apa yang terjadi?” gumam Evelin menatap langit-langit. Saat akan bangkit, tubuhnya tersentak menyadari tangan masih terikat.
Sekarang, justru tali pengikat erat menahannya pada dua tiang ranjang.
Dengan tubuh masih berselimut, ia coba meronta membebaskan diri. Masih tak ada hasil, raganya juga terasa lemas, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Perlahan, bayangan Cristhian memberinya segelas alkohol menyeruak di kesadaran, membuat Evelin bertambah geram.
“Sudah sadar?”
Sosoknya langsung menoleh pada sumber suara. Lelaki berpakaian santai mendekat dengan sepiring makanan serta minuman di nampan. “Kurang ajar! Kakak memberiku obat bius? Pengecut!”
“Terserah apa tanggapanmu. Aku bukan orang bodoh yang akan meremehkan perempuan sepertimu.”
Cristhian mendekat dan menaruh bawaan di atas meja nakas. “Ayo makan dulu.”
“Bunuh saja aku.”
Lelaki itu terdiam sejenak. “Aku akan membantumu bangun.”
“Cepat atau lambat mereka akan membunuhmu, begitu pula aku.” Cristhian tak mengacuhkan dan mengambil segelas air untuk disodorkan. “Lebih baik kamu membunuhku dan kabur dari sini.”
Tangan sang pemuda tertahan, pandangan tenang diarahkan ke rupa manis di depannya. Entah apa isi otaknya saat ini. “Jadi, siapa mereka yang ingin membunuhku?” Evelin tak menjawab kecuali tersenyum tipis. Cukup lama mereka seperti itu, dirinya membiarkan Cristhian memandangi, karena yang penting sekarang adalah sang pencuri hati kabur demi keselamatan. “Aku mengerti. Kamu pembunuh bayaran berwujud gadis polos? Menjijikan.”
Jantung Evelin seketika remuk olehnya. Kata-kata itu begitu menyayat hati, meneriakkan luka dengan panas membakar mata. Tatapannya lebih memilih terarah diam ke langit-langit, daripada memandang rupa sang perebut perasaan di sampingnya.
Cristhian pun menggeser tubuh, memposisikan diri di atas Evelin dengan ditopang kaki dan tangan agar tak terlalu menindihnya. Pandangannya menyusup masuk ke mata, langit-langit tak lagi tampak karena ulahnya.
“Kenapa kamu tidak mau membunuhku?” Evelin meneguk ludah kasar, tapi sorot penglihatan masih tertahan di sana. “Apa mungkin kamu menyukaiku?” lanjut Cristhian.
Sekarang, mulut gadis itu sedikit terbuka akan kaget yang menerpa. Tak disangka, suara hatinya langsung keluar dari bibir sang pemuda. Tubuhnya bergetar hebat, tak mampu berkata-kata. Kristal bening mulai membasahi pandangan, mencoba bebas mewakili perasaan.
Cristhian tersentak, jawaban yang tak ia dapatkan, terlukis di mata sosok pujaan. Spontan dirinya langsung memeluk gadis itu, sangat erat menyesakkan dada. “Maafkan aku,” lirihnya.
Sambil menggigit bibir bawah, Evelin menahan lontaran suara. Tak mengira kenyataan hatinya dibaca orang di depannya. Perasaannya campur aduk, antara senang dan takut jelas bertengkar dalam benak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Wanita Terkutuk
Fantasy(18+) Warning! Mengandung kekerasan dan konten dewasa. Mohon bijak dalam membaca. Evelin Gosca, sang pembunuh bayaran di dunia nyata pun harus merasakan cinta pada pandangan pertama yang pahit. Di mana dirinya malah menghabiskan malam bersama dan m...