Haina Ver Ignatius.
23 tahun, sosok yang memiliki tato di bahu kanan dan juga paha itu menggerutu pelan.
Memakai pakaiannya yang cukup menggoda. Belahan dada yang terpamer nyata, atau keindahan pahanya menjadi sensasi tersendiri untuk cuci mata.
Hanya saja ada satu orang yang selalu mengganggap badannya tak lebih dari sekadar buah busuk di dekatnya. Siapa lagi kalau bukan sang kembaran, Hion Ver Ignatius.
Entah kenapa dia selalu menatap dingin pada wanita. Terkadang tatapan muak seakan ingin mengenyahkan mereka dari pandangan juga ikut tampil di mukanya.
Satu hal yang menjadi keuntungan bagi Haina agar tak ditendang dari sisinya, cuma ikatan darah sebagai saudara kembar.
"Hion, aku masih belum mandi," lirihnya manja.
Tapi sosok itu mengabaikan, langkahnya terus menapaki jalanan ke arah hutan. Membuat sang kembaran menyorot sinis dirinya.
"Lihat saja, suatu saat aku pasti akan membunuhmu."
"Jika kau benar-benar leluhur pertama, kenapa kau tidak mati?" pertanyaan yang dilontarkan Lucius membuat kakaknya geleng-geleng kepala.
Ketiganya sekarang berada di kamar Lucia. Entah bagaimana bisa mereka berakhir di sana, namun yang jelas putra mahkota kerajaan Darkas ditinggalkan begitu saja.
"Kau kurang ajar ya."
Lucius mengabaikan ucapannya dan terus menyuarakan penasaran. "Bukankah leluhur itu harusnya sudah tua ya? Gigi rontok, rambut berserakan, tinggal tulang dan melata di tanah."
"Brengsek, kau pikir aku apa?"
"Rambutmu terlalu panjang," lagi-lagi ia mengoceh seenak perutnya.
Lucia semakin geleng-geleng kepala. Harus ia akui kalau keduanya begitu serasi. Apa lagi jika dalam masalah berdebat.
"Ada yang datang."
Ucapan Bharicgos membuat atensi dua bersaudara itu teralihkan. Seperti ucapannya, di balik pintu sudah ada yang berdiri di sana. Anehnya Lucius ataupun Lucia tak bisa menangkap hawa kehadirannya sebelumnya.
Suara pintu yang diketuk pun membuat Bharicgos mengijinkan sang tamu untuk masuk ke dalam.
"Ini sebenarnya kamar siapa?" Lucia dibuat bingung akan sikap tak tahu malunya.
Siez Nel Armarkaz, dialah sang pendatang.
Wajahnya terkesan tenang, seakan sosok asing di depan mata bukanlah gangguan. Apa lagi saat dirinya mendapati sklera dua bersaudara itu tak lagi sama. Atau netra berlian darah yang memenuhi kedua mata Lucius.
Dia tidak terlihat terkejut sama sekali.
"Ada apa?" pertanyaan lelaki termuda di sana menyiratkan kalau ia sudah tahu dengan maksud kedatangan sang pangeran.
"Akan ada pertemuan besar di tanah Hades. Kalian akan ikut atau bagaimana?"
"Pertemuan?"
Pandangan Siez pun teralihkan pada Lucia. "Ya, pertemuan para utusan seluruh kerajaan. Semua disebabkan oleh serangan besar-besaran di tanah Libra. Sehingga kerajaan itu pun mengirimkan surat untuk pertemuan darurat."
"Begitu ya," Lucius pun mengangguk-anggukkan kepala. "Serangan besar-besaran? Siapa pelakunya?"
"Entahlah. Kita akan tahu begitu ke sana."
Sementara Bharicgos hanya diam mendengarkan. Namun sorot matanya tak henti-hentinya memperhatikan sang pangeran. Sejujurnya ia tak terusik jika tak dianggap, tapi hawa kehadiran sosok itulah yang mengganggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Wanita Terkutuk
Fantasy(18+) Warning! Mengandung kekerasan dan konten dewasa. Mohon bijak dalam membaca. Evelin Gosca, sang pembunuh bayaran di dunia nyata pun harus merasakan cinta pada pandangan pertama yang pahit. Di mana dirinya malah menghabiskan malam bersama dan m...