48. Pedang Sova

76 3 0
                                    

“Sova, seandainya kita mati, bagaimana?” pertanyaan sosok bersurai merah itu membuat laki-laki berambut coklat terang di depannya mengernyitkan dahi.

“Kau takut?”

Bharicgos terkekeh pelan. Perlahan pandangan diedarkan ke sekitar, sayup-sayup suara gagak menyusup masuk ke telinga. Semakin lama semakin terdengar keras mengiringi langkah keduanya.

“Aku hanya bertanya, kenapa jawabanmu malah seperti itu?”

“Kita takkan mati dengan mudah. Apa lagi kau Bharicgos, mereka hanya membuang nyawa ke hadapan kita.”

Dan ringkik kuda yang terasa jelas mulai menghampiri keberadaan mereka. Tampak di halaman istana Tenebris, kehadiran beberapa prajurit berzirah merah. Semangat yang tercetak di wajah mereka, senjata beserta bendera yang dikibarkan di tangan pun menjadi tanda dimulainya pertarungan keduanya. “Begitu ya, kau benar juga. Terima kasih sudah menghiburku, Sova Aviel Ignatius.”

“Sova, padahal kau bilang kita tidak akan mati. Lalu kenapa pedang iblismu ada di bocah ini?” bersamaan dengan ocehannya, sekarang justru sosok Hion yang terlihat di depan mata. Pedang yang mengeluarkan pancaran aura berbahaya begitu menggetarkan pijakan mereka.

“Aku tak peduli kau siapa, tapi kau harus mati di sini.”

Di sebuah istana, terdengar ketukan jari di atas meja. Dihiasi pemandangan dari balkon yang mengarah ke tempat pelatihan prajurit. Sosok yang mengamati terlihat serius. Dan sesekali menghela napas pelan.

Dialah Kaztas Von Eraydel. Sang raja bersurai pirang panjang yang terkenal akan kebengisannya. Selesai pertemuan di aula, ekspresinya tak lagi baik-baik saja. Karena bagaimana pun karma sepertinya sedang mencoba menggapai kakinya.

“Yang Mulia? Maaf mengganggu. Tapi ada yang ingin kubahas perihal laporan Pangeran Kaizer itu.”

Kaztas hanya melirik lewat sudut mata. Sebuah perintah pun diturunkan lewat pandangan. Sang bawahan mengangguk sekilas dan tanpa basa-basi duduk di meja yang sama dengan pimpinannya.

“Tentang tantangan Tenebris, apa pendapat anda?”

Sudah ia duga, kalau Raygan Sil Baryn sang wakil ketua ksatria pasti akan menanyakan itu padanya. Semakin kentara tampang tak berminat sang raja. Gerak tangan yang meraih cangkir teh dengan elegan tak luput dari perhatian lawan bicara.

“Bagaimana kondisi para prajurit?” tanyanya begitu menaruh minuman yang diisapnya.

“Mereka baik-baik saja.”

“Kemampuannya?”

Raygan sejenak terdiam. Pandangannya pun teralihkan pada berisik di bawah sana, di mana para bawahan yang sedang berlatih tampak tertawa. Dihiasi peluh membasahi badan, walau lelah mereka justru terlihat bahagia.

“Kemampuan mereka, setidaknya sudah membuktikan kalau mereka pantas menyandang posisi sebagai prajurit kerajaan kita.”

Tak ada lagi suara yang terdengar. Selain fokus keduanya yang terarah pada berisik di bawah sana.

“Begitu?” Raygan menyipitkan mata. “Sayangnya aku mengharapkan sesuatu yang lebih hebat.”

“Yang Mulia, anda—”

“Dengar Raygan. Kita tak butuh kemampuan yang pantas, yang kita butuhkan adalah kemampuan berkualitas untuk memenangkan setiap pertarungan. Besok, kumpulkan seluruh prajurit di arena,” selesai mengatakannya sang raja pun berlalu dari hadapan pria itu.

“Kemampuan berkualitas ya?”

“Tidak, Hion!” pekik Haina melihatnya. Darah yang terus berceceran menjadi saksi dari luka laki-laki itu. Pedang yang terlepas dari genggaman, dikarenakan putusnya tangan kanan membuktikan kalau pertarungan mereka tidaklah seimbang. Bharicgos, jauh lebih hebat dari pada yang mereka pikirkan.

“Pemuda itu,” Tel Avir masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Padahal dirinya tak terlihat sehebat itu, bagaimana bisa?”

“Tak kusangka dia kuat,” Behella terlihat kagum sekarang. Berbeda dengan sang keponakan, walau tak terlihat serius menyaksikan pertandingan, tak dapat dipungkiri kalau ekspresinya agak menyebalkan.

Terkesan meremehkan tontonan yang disajikan.

“Sekarang jawab aku,” Bharicgos perlahan mendekat. Dari mana kau dapatkan pedang itu?” Iris yang tampak merah menyala melambangkan keangkuhan sang pemuda. Surai panjangnya yang tersapu angin menguarkan aroma bunga yang tak jelas jenisnya. Wangi namun juga memberikan sensasi mencekam disaat bersamaan.

“Pedang?” pandangan Haina jatuh pada senjata saudaranya. “Apa maksudmu? Pedang ini milik saudaraku!”

“Heh,” Bharicgos menatap remeh. Diinjaknya potongan tangan yang menggenggam bilah itu. Haina meradang, saat ingin menyerang ia tersentak karena cekalan seseorang. Hion memegang lengannya agar dirinya tetap diam. “Kenapa? Kau tak terima?” pijakannya semakin dalam. Bunyi retakan yang sangat jelas menjadi tanda seberapa hancurnya potongan tangan laki-laki itu.

“Kau!” Haina menggeram. “Lepas Hion! Biar kucincang bocah brengsek itu!” berusaha meronta walau berakhir sia-sia. “Hion!”

“Siapa kau?”

“Orion,” sosok berambut coklat terang itu tampak sibuk dengan anak panahnya. Sesekali menggosoknya dengan sapu tangan gelap namun bermotif bunga. Tiba-tiba senyum tipis merekah di bibirnya. “Ayo kita lihat sampai mana kita bisa bertahan?” dan dalam sekali hentakan, anak panah itu berhasil menembus dinding walau tanpa busur sebagai penariknya.

“Bharicgos, orang yang seharusnya kau layani dengan senjatamu,” lirihan sang pemuda membuat mereka terkesiap.

“Bharicgos? Bukankah itu nama leluhur pertama kita?” Tel Avir menatap tak percaya.

“Kau—”

“Dan senjata ini bukan milikmu,” tekan pemuda itu. Dalam sekali tendangan, potongan tangan Hion beserta pedang itu pun melayang di udara. Dengan sigap Bharicgos menangkapnya, menghempaskan kembali ke tanah selain pedang yang menjadi incarannya.

“Kembalikan pedang itu!” teriak Haina tak terima. Bahkan cekalan tangan Hion pun berhasil ia lepaskan. Tak butuh waktu lama baginya untuk memamerkan senjata terkutuk miliknya. Akan tetapi sosok yang menjadi lawan jelas berada di level berbeda. Hanya dengan sekali tunjuk senjata Wanita itu mrnguap begitu saja. “C-cambukku ….”

“Kalian terlalu meremehkan diriku.”

Langit pagi menyapa, beberapa sosok yang berkuasa tampak menatap sedih pada keadaan di sekitar. Kerajaan Libra, Kerajaan yang sempat dibantai oleh musuh tak terduga. Sang Pangeran sekaligus putra mahkota yang masih tersisa menengadah tiba-tiba.

“Yang Mulia?”

Panggila itu tak berhasil mengalihkan atensinya. Ia masih fokus sampai akhirnya sentuhan di bahu menarik perhatiannya.

“Apa?”

Eran Lybria sang panglima kerajaan terdiam sejenak. Entah apa yang ia pikirkan sampai sosoknya menggeleng pelan. Dan menyodorkan sebuah roti dengan aroma mentega yang khas di tangan.

“Aku tidak lapar.”

“Semenjak kembali anda belum memakan apa pun. Jangan sampai anda sakit, Yang Mulia. Atau kita takkan punya tenaga untuk balas dendam nantinya.”

Butuh sejenak waktu bagi Tarbias sebelum mengambilnya. Dan perlahan ia pun memakannya. Roti mentega yang jelas-jelas merupakan makanan kesukaannya.

Sementara tak jauh dari mereka, berdiri sesosok pemuda. Tangannya yang sibuk mengasah pisau ganda, namun tak fokus ke sana. Selain menyeringai menyaksikan kedekatan Tarbias dan juga panglima kerajaan mereka.

“Aku harap ini bukan keputusan yang salah karena menampung para monster di tempat kita.” Pernyataan Behella justru ditanggapi tawa sang keponakan. “Apa yang lucu?”

“Tidak ada. Hanya saja rasanya menyenangkan melihatmu ketakutan.”

“Kau, dasar gila!”

“Tenang saja, Paman. Kita akan baik-baik saja. Lagi pula bukankah karena itu kita menerimanya? Mereka pasti tahu balas budi walau kita juga salah satu incarannya.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang