29. Pelecehan

253 12 0
                                    

Sosok tak asing di mata. Mengenakan pakaian terlalu santai di badan. Namun kemeja putih dengan dua kancing tak terpasang sungguh memamerkan keseksian di raga. Seolah ingin menggoda setiap kaum hawa yang memuja fisiknya.

Lucius yang menyaksikan kehadiran itu malah mendecih tiba-tiba. Mendadak suasana hatinya semakin memburuk sekarang.

“Mau apa kau ke sini? Kami ingin istirahat,” ucapnya tanpa sopan santun.

Sang pangeran yang mengganggu justru tertawa. Sungguh ia merasa terhibur setiap berurusan dengan pemuda di depannya. Sebuah buku dalam kondisi terbuka di tangan kanan perlahan tertutup sempurna. Ia pun mendekat dan memegang bahu Lucius, “Behella dan ayahku ingin bertemu kalian. Kamu tidak keberatan bukan?”

Lucius pun menghela napas jengah. Jujur saja ini sangat menyebalkan, entah apa yang diinginkan dua rakun tua itu sehingga mengganggu istirahatnya.

“Lucia, raja dan adiknya ingin bertemu dengan kita. Kamu tidur saja biar aku yang mengurusnya,” ujarnya sambil menatap lekat sang kakak.

Gadis itu langsung mengangguk, karena tanpa disadari Siez kalau Lucius menyeringai setiap berbicara. Evelin tidak bodoh sebab ia tahu ada yang sedang direncanakan olehnya.

Sebelum pergi Siez sempat-sempatnya berkedip padanya, menimbulkan jengkel perempuan itu karena rupa Robert lah di mata.

Sepanjang perjalanan hanya hening menerpa, walau berisik langkah kaki terdengar, namun suara dua pemuda yang tak jauh jarak umurnya enggan berkumandang.

Lucius yang memasang tampang tak bersemangat namun rasa waspadanya sungguh luar biasa. Karena nyatanya dua pedang tersarung di pinggang tak pernah terlepas darinya.

Tapi entah kenapa langkah kaki pangeran Siez mendadak berhenti begitu saja.

“Ada apa?”

Senyum tipis terukir di bibir sosok yang ditanya. Di lorong itu hanya ada mereka berdua. Jalan menuju ruang bawah tanah, walau sebenarnya aneh bagi Lucius untuk diajak ke sana tapi ia sudah memperkirakan akan semua kemungkinan yang ada.

Perlahan Siez berbalik dan mendekat.

“Menurutmu, bagaimana kakakku?”

Pertanyaan itu, bahkan suara yang dilantunkan mengundang penasaran sang pemuda. Tak ada lagi Siez santai di depannya, laki-laki dengan aura misterius begitulah kesannya di mata Lucius.

“Bajingan, calon raja buruk karena aku bisa melihat kekacauan di tangannya,” jawaban yang dilontarkan dengan nada meledek itu justru disambut seringaian tipis di bibir pendengar.

Sementara Lucia, sekarang dirinya dikejutkan dengan kehadiran paling menyebalkan di balik pintu. Putra mahkota Sid Nel Armarkaz, tanpa basa-basi mengajaknya untuk jalan-jalan.

Berniat menyajikan lukisan maha indah dan bersejarah milik kerajaan.

Tak peduli beragam penolakan yang di dapatkan, ia terus-terusan mengocehkan bujukan.

Evelin yang hidup di tubuh Lucia pun akhirnya terpaksa mengambil keputusan.

Menyetujuinya setelah mendengar senjata langka akan dipamerkan. Tak tahu kenapa sosoknya mendadak tertarik, sampai tak peduli pada lirikan penuh nafsu milik sang pangeran.

Bahkan sesekali Sid menjilati bibirnya, senyum tipis terukir di bongkahan ranum itu setiap melangkah di depan Lucia.

Pijakan mereka yang menaiki tangga ke lantai dua, ditatap aneh seseorang tak jauh dari sana. Mengernyitkan dahi bingung karena penasaran perempuan itu akan dibawa ke mana oleh putra mahkota.

“Ayo masuk,” ajak Sid begitu tangannya membuka sebuah pintu.

Jujur saja Lucia merasa aneh dengan sekitar. Tak ada penjaga sepanjang langkahnya, bahkan di depan ruangan yang katanya menyimpan barang langka, satu batang tubuh pun selain mereka tidak tampak.

Batinnya menerka-nerka kalau orang ini mungkin saja sedang merencanakan sesuatu padanya.

Jalan mereka pun terhenti ketika Sid memperhatikan sebuah lukisan besar di dinding kiri.

“Ini,” Lucia menatap tak percaya pada pemandangan di depan mata. Bagaimana bisa lukisan orang yang sangat menakutkan itu terpampang di sana? Dadanya bergemuruh tiba-tiba dengan gemetar menggerogoti raga.

“Ada apa? Kamu baik-baik saja?” tanya laki-laki itu karena menyadari perubahan ekspresi Lucia.

“Ah!” sontak saja Evelin menepis tangan yang menyentuh bahunya. Napasnya memburu dengan keringat dingin mengalir di pelipis.

Sid yang diperlakukan seperti itu pun memandang geram padanya. “Ah, maafkan aku. Aku tak bermaksud untuk mengagetkan dirimu, Nona,” ucapnya dengan tangan terkepal.

Tapi gadis itu malah mengabaikan, dengan ketakutan memenuhi diri ia pun berbalik melangkah pergi. Namun yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan.

“Brengsek! Kau pikir kau bisa pergi begitu saja?!”

Napas Evelin pun tercekat karenanya. Cengkeraman yang tiba-tiba berganti menjadi tarikan kasar pada lengannya. Tanpa sempat melindungi diri, tubuhnya pun langsung menabrak pinggiran lemari.

“Agh!” erangnya.

“Kau! Aku takkan pernah mengampunimu! Berani-beraninya kau bersikap sombong di depanku!” kesal Sid sambil menjambak rambut Lucia.

Rasa sakit yang begitu luar biasa pun langsung membuat perempuan itu meronta-ronta. Tapi tak tahu kenapa, sosoknya seperti tak punya tenaga. Terlebih Sid terus menyeretnya namun mata pesakitan Evelin tetap mengarah pada lukisan di depan.

Gambaran menakutkan yang sudah membangkitkan trauma.

“Bagus! Memang beginilah seharusnya!” putra mahkota pun menindih perempuan itu tanpa iba.

Tak peduli seberapa keras teriakan Lucia, lorong menuju ruangan barang langka memang sepi keadaannya. Terlebih lokasi yang berada di lantai dua paling ujung tanpa penjaga sangat strategis untuk melancarkan aksi hina.

“Lepaskan aku brengsek! Lepas!” gadis itu terus memberontak sambil beruraian air mata. Di sela-sela usaha ingatan wajah di lukisan tadi kembali menghantui. Ia benar-benar tak berdaya, bayang-bayang masa lalu sungguh menggerogoti pikiran.

Tanpa Evelin sadari kalau Sid sudah berhasil mengoyak bajunya. Padahal ada pedang di tangan kiri namun cengkeraman pada kedua lengan di atas kepala mematahkan gerakan sang gadis muda.

Isak tangis yang begitu memenuhi ruangan sudah tak ada artinya. Sampai akhirnya tanpa mereka sadari seseorang pun datang dan memukul kepala sang pangeran dengan brutal.

Tanpa sempat melawan balik laki-laki itu pun jatuh pingsan.

“Kau! Kau baik-baik saja?!” sosok yang baru datang langsung menolong Lucia. Namun pelukan tiba-tiba dari gadis setengah telanjang itu membungkam mulutnya. Tanpa bisa di hentikan ia pun membalasnya. “Tenang saja, aku di sini jadi semua akan baik-baik saja,” lirihnya dengan usapan lembut di punggung terbuka.

Andai ia tak datang tadi, mungkin saja gadis cantik itu sudah ternoda di tangan kakaknya.

Sementara Lucius dirinya terdiam di ruang bawah tanah. Penampakan yang tadi diperlihatkan raja Ostro juga wakilnya berhasil membuat sosok itu beristirahat di sana.

Jarinya mengetuk pelan meja di samping tempat duduknya, dan Behella yang menemani hanya melirik lewat sudut mata.

“Jadi, apa jawabanmu? Wahai anak muda,” sang raja pun melipat tangan di dada. Duduk berseberangan dengan Lucius yang menatap tanpa minat padanya. “Walaupun masih muda, aku tahu kalau kau sangatlah cerdas. Bukankah tawaran ini sangat menarik?”

“Tidak menarik karena aku harus mengeluarkan banyak tenaga.”

“Ayolah, Nak. Kau masih muda, memang sudah seharusnya kau mengeluarkan banyak tenaga.”

Lucius pun tersenyum sinis. Ia miringkan kepala dan menopang dagunya dengan tangan kanan. “Kalau begitu, bagaimana jika kupinjamkan otakku saja? Sisanya prajuritmu yang bekerja. Ide bagus bukan?”

“Sepakat,” seseorang yang dari tadi diam pun bersuara.

“Behella, kau—”

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang