26. Kehadiran Marabahaya

145 12 0
                                    

Ah, sepertinya memang susah bersikap pura-pura. Jujur saja, Evelin sangat ingin mengatakan kebenaran pada pemuda di depannya. Meneriakkan fakta kalau dia bukanlah Lucia.

Tapi, akankah semua baik-baik saja?

Bisakah dia percaya nantinya?

Mengingat sudut hati Evelin juga membisikkan ketakutan sekarang. Ia tidak bodoh, dirinya sadar kalau Lucius ini mengerikan.

Walau sosok yang memiliki rupa Robert telah muncul, tapi tak terelakkan jika auranya juga dimiliki Lucius. Evelin memang takut padanya, sebab ia yakin kalau sosoknya bisa saja mati jika macam-macam dengan adik dunia baru di depan mata.

Lain pula dengan Kaizer. Tak tahu kenapa, semenjak melihat lebam aneh di bahu Atlea, pikirannya mendadak kacau. Cenderung merasa bersalah karena tidak serius melawan dua sosok asing yang sudah membunuh komandan ksatria.

Seharusnya hari itu ia ikut mengejar Lucius dan Lucia dengan melompat ke sungai. Tapi berandai-andai seperti apa pun semua sudah terlanjur terjadi.

Sampai akhirnya fokusnya teralihkan akibat kehadiran seekor burung di luar jendela. Begitu berisik kepakannya, membuat sang pangeran bangkit dari rebahan dan menemuinya.

Hewan itu langsung bertengger di bibir jendela dengan tangan Kaizer tanpa basa-basi mengambil sesuatu di kaki sang burung.

Sebuah surat kecil yang memang sengaja diikat di sana dan entah siapa pengirimnya.

‘Mereka ke utara, perkiraan lokasi pinggiran kota atau Darkas. Waktumu tiga hari untuk membalasnya.’

Kaizer pun tersenyum miring membaca pesan itu. “Akhirnya, bersiaplah karena aku akan membunuh kalian berdua,” seringainya.

Sementara menjelang pagi, Lucius dan Lucia yang seharusnya beristirahat sambil menutup mata terus saja merinding. Tak tahu kenapa, entah karena alam terbuka yang membisikkan sensasi dingin atau kurang tidur menghiasi keadaan, mereka tampak menyedihkan.

Bagaimanapun dua bersaudara Tenebris masih dalam proses pertumbuhan.

“Lucia, bangun. Carilah makanan untukku,” perintah Lucius seenaknya.

“Aku mengantuk, kau saja yang cari,” gumamnya dengan mata tetap tertutup sempurna.

Bahkan dua bersaudara itu juga tidur dalam posisi berpelukan di atas tanah. Dan siapa pun yang melihat pasti akan mengira mereka sebagai pasangan. Walau nyatanya itu hanya bentuk kasih sayang dan penghalau kesepian.

“Aku juga mengantuk.”

“Kalau begitu tidak usah makan. Kita sama-sama tidur, nanti saja bangunnya, Luc,” Lucia pun semakin menenggelamkan wajah ke dada bidang adiknya.

Seolah-olah kantuk memang menjadi raja, tingkat kepekaan keduanya pun melemah.

Sampai-sampai tak sadar kalau ada dua sosok yang menyaksikan tidur mereka. Salah satunya menyeringai sementara lainnya menggelengkan kepala.

Di waktu yang terus berlanjut, matahari terlihat di posisi hampir mencapai puncaknya. Bersamaan dengan sebuah aroma nikmat ikut menyusup masuk ke penciuman dua sosok muda yang menutup mata.

Perlahan salah satu dari mereka menggeliat, mencoba mengumpulkan kesadaran yang masih mengambang di alam mimpi.

“Sudah bangun?” sapa seseorang.

Evelin yang melihat sosok pembicara pun mengernyitkan dahi. “Luc,” panggilnya dengan tangan terus mengeratkan pelukan. “Aku melihat setan tua.” Sang penyapa pun mendelik padanya, sementara yang lain tertawa. Sungguh rasanya sangat lucu mendengar ocehan mengigau gadis itu.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang