24. Luka Mengejutkan

151 12 0
                                    

Entah bagaimana bisa ksatria elit itu juga muncul di sana. Namun kehadirannya bersama Kaizer tidak mengganggu fokus sang singa. Selain tangannya terus menerus membalik buku-buku tentang kutukan di dunia.

“Walau kudengar kau sudah kembali, tak kusangka kau akan ke sini. Apa yang sedang kau cari?” Raygan menyandarkan tubuhnya di salah satu lemari.

“Buku kutukan.”

“Untuk apa?” dahi berkerut menghiasi sosok Raygan.

Helaan napas kasar tersembur dari mulut Atlea Bartodon. Segera ia taruh buku di tangan, di mana benda itu menuliskan hal sia-sia. Cuma tentang kutukan hewan di dalamnya, semakin menyulut emosi karena apa yang dicari tak berjumpa.

Lambat laun ia lepaskan zirah di badan. Mengundang tatapan bingung dua kenalannya.

“Kamu mau apa?” bingung Kaizer.

Tapi tak ada suara yang pecah dari mulut Atlea. Tangannya terus bergerak sehingga sekarang ia pun bertelanjang dada.

Akan tetapi, sang pangeran juga ksatria elit kerajaan Orion terbelalak melihatnya. Tak bisa berkata-kata setelah mendapati pemandangan tak biasa.

Bahu kiri dari tubuh tangguh dan terlatih itu telah ternoda. Memar besar tercetak di kulitnya. Biru keunguan namun dihiasi urat darah berwarna hitam.

“Bahumu—” Raygan mendekat. “Apa yang terjadi?!”

Atlea tak menjawab. Rahang menegas dengan sorot mata tertumpu pada bahu ia pamerkan sekarang.

“Atlea,” panggil Kaizer tiba-tiba. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Butuh sejenak waktu untuk singa hutan itu agar bersuara. Lirihannya benar-benar menyentak kesadaran rekannya.

“Pembunuh komandan, merekalah pelakunya.”

Bagai guntur turun ke hati. Setelah pimpinan tertinggi para ksatria Orion, sekarang pahlawan perang mereka juga menjadi korban. Batin bergemuruh memenuhi perasaan Kaizer yang merasa tercoreng di sana.

“Apa pemuda aneh dan perempuan gila itu?”

Atlea tersenyum. Terkekeh pelan karenanya. Disentuhnya memar nyata di bahu kiri namun tidak merasakan apa-apa.

“Ya, memang pemuda aneh itu. Dia yang memukulku dan kakaknya mengampuniku. Andai bukan karena kebaikannya, aku pasti sudah mati.”

Pernyataan sang ksatria berhasil mengundang lirikan tajam pendengar. Urat-urat di leher Kaizer kian menegang, ia murka dan tak bisa menerima itu semua. Penyesalan mencuat di diri, berbisik seharusnya ia membunuh musuh-musuhnya.

Bukannya membiarkan kedua orang itu melarikan diri ke bawah tebing seperti sebelumnya.

“Aku akan membunuh mereka.”

“Jangan!” sela Atlea tiba-tiba. “Bahkan jika itu dirimu, kamu bukanlah tandingannya.”

Raygan menatap tak percaya mendengar ucapan laki-laki di depannya.

“Kamu meremehkanku?”

“Aku paling tahu kemampuanmu, Yang Mulia. Tapi memang itulah faktanya. Anak muda bernama Lucius itu bukan sekadar pembunuh biasa. Pola bertarungnya, dia seperti Raja Hidea. Dan terlebih parahnya lagi, mata kirinya punya kutukan. Karena itulah aku bisa seperti ini sekarang!” tekannya.

Kaizer terbungkam. Raygan yang masih diam di posisinya pun perlahan mendekat. Memandang lekat memar di bahu kiri Atlea.

“Tampak aneh bukan? Pukulannya membuat bahuku mati rasa,” tunjuknya pada memar besar itu. “Tapi di area sekitar, seperti dihantam batu besar. Awalnya hanya sedikit tapi sekarang mulai menjalar ke perutku. Jika kalian berdua juga terkena serangannya, Orion akan berada dalam bahaya. Aku bahkan tak yakin jika diriku nanti akan baik-baik saja.”

“Tutup mulutmu, lebih baik sekarang kau pergi menemui tabib, Atlea,” perintah Raygan.

“Hah ... baiklah.”

Sang singa hutan pun perlahan memasang bajunya. Walau zirah tak ikut ia kenakan mengingat cukup menyusahkan.

Sepeninggalan dirinya, raut muka tak terlukiskan memenuhi rupa Kaizer.

Gurunya tahu kalau pangeran muda itu pasti kesal pada lawan mereka sebelumnya.

“Mata ruby, aku tak menyangka jika itulah yang ditutupi mereka. Aku benar-benar penasaran apa bocah-bocah itu benar-benar berasal dari Hidea.”

Kaizer tidak mengatakan apa-apa. Langkah kakinya pun membawa laki-laki itu menuju kamarnya. Mendekat ke arah balkon dan bersiul tiba-tiba.

Tak lama kemudian seekor elang besar mendatanginya. Bulu putih kecoklatan memenuhi hewan itu.

Setelah menulis sebuah pesan dalam kertas berukuran kecil, ia ikatkan pada kaki elang yang bertengger. Tak ada aba-aba, hewan itu langsung mengepakkan sayap meninggalkan Kaizer. Seolah sudah tahu langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Dan sekarang di sinilah Lucius juga Lucia. Di malam hari di luar kediaman mereka. Dengan obor di tangan, pemuda itu lemparkan benda di genggaman. Berharap saksi kehidupan keduanya terbakar sepenuhnya.

Keputusan mereka sudah bulat untuk pergi dari sana. Demi kedamaian dalam pelarian sekaligus persembunyian.

“Ayo,” ajak Lucius sambil meraih lengan sang kakak.

Desiran aneh menyapa benak Lucia. Ketika tangan dingin adiknya menyentuh kulit. Bahkan gemetar juga ikut dirasa, bertanya-tanya kebenaran apa yang dipendam pemuda itu.

“Luc,” panggilnya tiba-tiba.

Sosok itu tak menoleh tapi Evelin yakin jika Lucius mendengarnya. Secara saksama, ia perhatikan sang adik dari atas ke bawah, tapi ketika kembali memandangi punggungnya, secercah kehangatan terasa di relung hati.

Seperti bisikan bahagia kalau dirinya tidaklah sendirian.

“Luc,” Evelin kembali memanggilnya.

“Hm.”

“Apa kamu tidak ingin melihat wajahku?”

“Aku sedang malas bercanda, Lucia.”

Lawan bicara Lucius itu pun terkekeh pelan. Walau lengannya masih dipegang ia tidak keberatan. Perlahan dirinya mendongak, menyaksikan kemilau bintang di atas sana.

Begitu banyak jumlahnya, membuat pikiran bodoh untuk menghitungnya sekilas terlintas di otak Lucia.

Akan tetapi, suasana berbeda ditorehkan di sebuah lokasi yang tak jauh dari mereka.

Area yang berseberangan dengan dua bersaudara Tenebris, di mana entah lawan atau kawan sedang berada. Seharusnya dua sosok pria beda usia itu menikmati istirahatnya, namun gagal akibat kehadiran penyamun di sana.

Dan darah berserakan setelah salah satu di antaranya membantai tanpa ampunan.

Seringai di bibirnya kian melebar akibat merasakan kenikmatan. Sampai beberapa saat kemudian semua sirna. Sambil diiringi bunyi langkah kaki dua pria itu menoleh ke seberang mereka.

Mendapati dua penonton di tepian sungai sana, menatap dengan ekspresi yang tak dapat dilukiskan maknanya.

“R-Robert?!” syok Lucia.

Seketika tiga pendengarnya menatap lekat gadis itu. Lucius yang masih setia memegang lengannya, mengeratkan sentuhan. Walau penasaran, tapi ia berharap agar sang kakak tidak melakukan kebodohan.

Sebab sensasi ini mengingatkannya pada pertemuan mereka dengan Kaizer yang dipanggil Cristhian oleh Lucia.

“Kalian,” Behella tersenyum tipis karena tak menyangka akan bertemu utusan bayaran itu.

Namun orang di sebelahnya masih tak bisa mengalihkan pandangan dari Lucia. Perlahan ia angkat tangan dan menunjuk diri sendiri.

“Halo Nona, apa tatapan aneh itu memang ditujukan padaku?” tanya Siez Nel Armarkaz, sang pangeran sekaligus anak ketiga dari kerajaan Darkaz.

“Robert,” lagi-lagi Evelin memanggilnya begitu. Tatapannya kian menajam bersamaan dengan gemetar memenuhi badan. “Kenapa kau muncul lagi di hadapanku?!” pekiknya tiba-tiba.

Aura gelap di dirinya seketika menyeruak di hadapan tiga penontonnya. Dan Lucius yang terkejut pun langsung menyentak cengkeramannya, dia menatap tak percaya pada kakaknya yang murka.


Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang