43. Tenebris Pengganggu

70 6 0
                                    

Kalimat laki-laki itu pun memaksa beberapa orang memasang muka masam.

Hanya seseorang yang menyeringai, siapa lagi kalau bukan Siez Nel Armarkaz. Sosoknya yang berpakaian serba hitam itu memang mampu membuat Orion menatap murka.

Dan akhirnya Kaizer hanya bisa mengepal erat kedua tangannya. Sorot mata yang tak lepas dari dua utusan Darkas menandakan kalau dirinya masih tak terima.

Tapi senggolan pelan yang dilayangkan Fabina menyadarkan sang pangeran.

"Tenanglah, kita akan berurusan dengan mereka nanti."

Kaizer terpaksa membuang muka. Pertanda kalau dirinya setuju akhirnya.

"Jadi, apa yang ingin di bahas pada pertemuan ini?" Aqua D'Rius Argova bersuara. Raja kerajaan Aquarius itu menatap lekat utusan salah satu kerajaan yang memicu kehadirannya di sana.

Dan orang-orang yang duduk di meja itu ikut menatap sumber pandangan. Tiga utusan dari kerajaan Libra pun dilirik bergantian.

Sampai akhirnya salah seorang yang memiliki surai pirang dan bermata hazel menghela napas pelan.

"Jujur saja. Aku ingin meminta maaf pada kalian semua karena meminta pertemuan ini secara tiba-tiba," sekilas Tarbias pun memandangi mereka bergantian. "Tapi aku tak punya pilihan. Aku yakin kalau kalian pasti sudah mendengar kabar yang beredar. Kalau Libra diserang musuh asing sehingga sang Raja pun harus meregang nyawa."

Penjelasannya mendadak membungkam suasana. Tentunya itu sangat mengejutkan para hadirin mengingat tak ada informasi tentang kematian sang Raja Libra. Selain gosip yang menyebutkan kalau memang banyak pihak kerajaan tewas akibat pertempuran yang tiba-tiba.

"Jadi Raja Libias," sang komandan utama kerajaan Aries bergumam. Hal itu membuat tatapan Tarbias teralihkan padanya.

"Ya, beliau sudah tiada. Musuh berhasil membunuhnya saat ayahku berusaha melindungi anak dan istrinya."

Dusk Teriel pun terdiam mendengar ucapannya itu. Seketika ingatannya kembali ke masa lalu, di mana dirinya berada di kerajaan Libra. Menjadi utusan Aries untuk menjalin kerjasama. Sikap ramah tamah yang dihadirkan sang Raja berhasil memperkuat perjanjian mereka.

Tentu saja nasib pemimpin kerajaan Libra sekarang menjadi hantaman tersendiri baginya.

"Siapa?" Ratu Ariana Vergiva yang tenang dan berwibawa itu tiba-tiba menyela.

Tarbias pun sekilas menunduk sebelum mengeluarkan suaranya.

"Entahlah. Dua orang itu sangat asing bagiku."

"Apa!" Ian Delbrian, utusan kerajaan Cancer itu malah berteriak tanpa aba-aba. Membuat rekannya yang sibuk memakan roti sejak awal pertemuan berdecak karenanya. "Dua orang?! Maksud anda kerajaan Libra diporak-porandakan dua orang saja?!" tanyanya dan mengabaikan tatapan jengkel di sampingnya.

"Ya."

Pernyataan itu memaksa orang-orang di sana menjadi saling pandang.

"Anda yakin hanya dua orang saja?" Fabina Orborox akhirnya bersuara. Bagaimana pun penjelasan sang pangeran di pandangan masih sulit diterima.

"Ya. Memang hanya dua orang yang menyerang Libra." Eran Lybria yang sejak tadi diam akhirnya ikut serta. Sang Panglima itu pun menatap lekat tabib Orion yang berseberangan tak jauh darinya. "Dan dua orang bermata merah itu entah kenapa mengingatkan aku pada sesuatu."

"Mata merah?"

"Gurumu."

Sosok berkulit putih pucat itu terdiam. Tiba-tiba ia tertunduk dalam, lirihan sang panglima jelas menyentak kesadaran. Kalau orang yang dimaksud tidaklah asing bagi sang tabib kerajaan.

Perlahan Fabina mengangkat wajahnya dan menatap pria itu dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Tuan."

Sekarang tak ada lagi yang berbicara, selain menunggu utusan dari Libra menyuarakan isi hatinya. Sepertinya bagi orang-orang yang hadir di sana, lebih baik menonton di tepian menurut mereka.

"Apa kau benar-benar tidak mengerti?" pria yang tersohor namanya itu pun memajukan tubuhnya. "Orang yang menyerang kerajaan kami mirip dengan gurumu, Fabina. Mata mereka mirip dengan guru terkutukmu itu."

Tak dapat dipungkiri kalau hati Fabina terasa panas. Tangan yang tersembunyi di bawah meja mendadak terkepal.

Entah kenapa ia merasa disudutkan. Dan kepala yang dimiringkan pun menjadi jawaban. Sebelum isi pikiran dilirihkan ia pun melirik sekilas para utusan Darkas di seberang.

"Hanya mirip bukan? Guruku sudah mati. Anda tahu itu, Panglima Eran. Karena anda juga ada di sana, saat aku membunuhnya."

Seringai tipis tiba-tiba tercetak di bibir salah satu pendengar. Memang tak kentara, namun disadari dua di antara mereka.

Pangeran Caiden Bro'Cercacia, dan juga Pangeran kedua kerajaan Leo, Sizas El'Traumer, mereka berdualah yang menyadari ekspresi aneh Lucius Vez Ignatius barusan.

"Ah," Siez yang menyela langsung ditatap aneh orang-orang. "Aku paham sekarang. Mata merah, apa mungkin iblis itu? Sepertinya sisa-sisa dari mereka merangkak untuk balas dendam ya. Jadi sekarang bagaimana?" ditambah kekehan pelan yang mengalir di sela-sela bibirnya pun memantik penasaran dan beragam tanda tanya.

"Tutup mulutmu!"

"Apa maksudmu?"

Bentakan juga pertanyaan dari Kaizer dan Tarbias terdengar bersamaan. Sontak pangeran kerajaan Libra itu menatap aneh pada sosok yang tak jauh darinya. Tampak di mata kalau pangeran Orion itu benar-benar murka. Apa lagi saat melihat utusan Darkas entah apa permasalahan mereka.

Tapi bukan Siez namanya kalau ia tak memancing emosi lawan. Di bandingkan sang kakak yang bajingan, ia sangatlah menyebalkan. Namun tak dapat dipungkiri kalau sebagai pangeran ia cukup telaten menilai lawan.

"Ayolah Orion. Kenapa kalian terlihat sangat marah? Pertemuan ini bukan tentang kita. Tapi tentang Libra yang sedang diserang musuhnya. Aku hanya menyuarakan isi hatiku, bisakah kalian tidak menyela?" tanggapnya dengan santainya. "Jangan membuatku berpikir kalau kalian ada sangkut pautnya."

"Tutup mulutmu, Pangeran!" Fabina terlihat tak terima. "Jangan pikir kami akan lupa atas apa yang sudah kalian lakukan. Kalian, bekerja sama dengan pembunuh itu untuk menghabisi komandan kerajaan kami," tunjuknya pada Lucius yang menatap remeh mereka.

Sementara suasana yang semakin panas pun membuat Siez semakin memekarkan senyumnya.

"Kalian yang mulai bukan? Kenapa marah begitu? Dulu kalian juga yang memantik perang bukan? Sampai tujuh kerajaan ikut membantu." Pernyataan pangeran Darkas membuat orang-orang menatap lekatnya. "Kalau begitu jangan terkejut kalau sisa-sisa iblis itu mulai menampakkan muka. Hanya menunggu waktu sampai dia mendatangi kerajaan kita semua."

"Kupikir ucapan anda sudah sangat keterlaluan, Pangeran." Vreya Srigia'Lovil, ratu kerajaan Virgo yang tampak tak berminat pada pertemuan akhirnya buka suara. Senyum tipis pun tersungging di bibir sang pendengar. "Dan untuk kalian Orion. Bukankah kalian terlalu emosi sejak awal? Pertemuan ini bukan hanya tentang kalian. Selesaikan urusan pribadi di luar, lagi pula kerajaanku tak butuh ocehan keras kepala yang buang-buang waktu sekarang."

Ocehan panjang lebarnya pun berhasil memanaskan suasana. Utusan dari Orion pun menatap tajam pada sosok ratu. Dan hal itu membuat salah seorang utusan dari kerajaan Virgo menyelanya.

"Kondisikan tatapanmu anak muda," Agrios Rigias'Virga, sang ksatria menatap tak suka. Lirihan yang jelas-jelas ditujukan pada Kaizer pun membuat sang pangeran murka. "Lagi  pula apa yang dikatakan Pangeran Darkas memang benar. Jika itu iblis dari Tenebris, maka tak dapat dipungkiri kalau kerajaan kalianlah pemicunya."

"Hai ... hai ... hai ..., sepertinya pembicaraan kalian sangat menarik."

"Kau!" pekik Eran Lybria.

Teriakan yang tiba-tiba itu jelas menyentak kesadaran mereka. Terlebih kehadiran tak di sangka-sangka. Lelaki berambut panjang itu berhasil mengacaukan pertemuan dengan kemunculannya.

Seringai lebar pun tercipta di bibir Tel Avir Ignatius yang berdiri angkuh di atas meja.

"Rupanya di sini kalian, Libra."

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang