44. Dua Iblis Tenebris

81 6 0
                                    

Kehadiran pria itu sontak membuat para utusan Libra murka. Tanpa ragu Tarbias dan juga Eran menarik pedang mereka.

Berbeda dengan seseorang yang hanya bersikap waspada pada pembantai kerajaannya.

Prizia D'Librias. Sosoknya justru tak terlihat marah.

"Siapa kau?!" Dusk Teriel jelas terkejut melihat respons para utusan Libra.

"Tel Avir Ignatius. Jadi, apa kalian juga ingin bertarung denganku?"

Ignatius.

Nama belakang itu menyentak Lucius. Ia menatap tak percaya pada laki-laki yang bisa dipastikan berasal dari kerajaannya. Namun rupa asing Tel Avir membuatnya waspada. Karena bagaimana pun tak semua Ignatius sejalan dengan prinsip Tenebris.

Apa lagi orang asing di depan mata tak pernah tampak di kerajaan semasa hidupnya.

"Berani-beraninya keparat sepertimu muncul di sini!" suara senjata yang beradu pun melukiskan suasana. Pedang sang komandan Eran Lybria, dan juga pisau panjang tamu tak diundang itu saling bertemu dengan percikan di mata bilah keduanya.

Seolah tak peduli lagi pada pertemuan delapan kerajaan, keduanya bertarung di atas meja. Menjadi tontonan setiap pasang mata yang terusik namun enggan terlibat di dalamnya.

"Kau memang hebat," diiringi tawa dari laki-laki itu. Walau memuji nyatanya Tel Avir berhasil menggores pipi sang komandan. Membuat lawannya menatap masam dirinya. "Kenapa melihatku seperti itu?"

"Setelah apa yang kau lakukan apda kerajaanku, berani-beraninya keparat sepertimu muncul di sini?!"

Tel Avir hanya menyeringai. Dentingan senjata yang terakhir memaksanya melompat dari meja. Dan sekarang menatap remeh orang-orang di sekitarnya.

"Tak perlu kaget bukan? Aku memang datang untuk memburu kalian."

Dan tak disangka, ucapannya berhasil membuat para hadirin menjadi siaga.

"Ignatius, apa kau datang untuk balas dendam?" pertanyaan sang wakil komandan kerajaan Leo membuat Tel Avir menatapnya datar.

"Balas dendam?" ia malah terkekeh pelan. "Benar juga, kerajaanku hancur karena kalian ya? Sepertinya bukan ide yang buruk jika aku membantai kalian karena alasan yang sama."

"Hentikan."

Seketika pandangan mereka teralihkan. Fokus orang-orang pada sosok berambut panjang itu pun buyar dengan kehadiran laki-laki berwajah dingin.

Tegap posturnya, surai coklat dengan netra merah pekat khas Tenebris menghiasi wajah. Garis rahang yang tegas, ia tampan namun juga tak tersentuh di saat bersamaan. Tombak biru bermata lima yang dihiasi batu ruby pun menjadi daya tarik tersendiri bagi lawan.

"Kau," Tarbias terkesiap melihatnya. Tanpa sadar tangannya gemetar karenanya. Laki-laki itu, tak diragukan lagi dialah yang sudah memenggal kepala sang raja. Dan sorot mata tajamnya pun membuat orang-orang tak berkutik untuk mendekat.

"Akhirnya kau di sini juga, Hon."

Sementara laki-laki dengan tombak di tangan pun mengedarkan pandangan. Sampai akhirnya tatapannya pun terhenti pada sang pengendali hewan. Terdiam sejenak sebelum akhirnya bersuara yang mengejutkan mereka.

"Pengkhianat," ucapnya tiba-tiba pada Fabina. Kepala yang dimiringkan pun menunjukkan keangkuhan. Tombak pun diangkat dan ujungnya diarahkan pada sang tabib Orion. Membuat mereka waspada akan apa yang dilakukan selanjutnya. "Selanjutnya kalian, Orion."

Selesai mengatakan itu ia pun berbalik.

"Apa maksudmu?!" pertanyaan Kaizer pun menghentikan langkah pria itu. Ia pun menoleh ke belakang. Sorot matanya masih tetap dingin seperti sebelumnya.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang