"Kau-" ucap Lucia akhirnya. Bahkan pelukan dilepas secara tergesa-gesa. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau bersikap kurang ajar padaku!"
Sosok itu tertawa remeh. Pandangannya menyapu Lucia, seakan ada yang salah dengan penampilannya.
"Bukankah kita sudah bertemu? Di istana agung Tenebris."
Gadis itu terkesiap. Pikirannya melalang buana pada ingatan sebelumnya. Anehnya ia mendadak lupa. Dan begitu tangan kokoh sang lelaki menyentuh pipinya, dirinya tersadar seketika. Akan pertemuan yang dimaksudkan.
"K-kau-"
"Bharicgos Vez Ignatius. Leluhurmu, sayang."
Lucia pun memandang jijik padanya. Tak habis pikir dengan sifat orang di depan mata.
"Kenapa kau bisa ada di sini?"
"Memangnya kenapa?"
"Bukankah kau-" kalimat tak lagi dilanjutkan. Ia menengadah karena gemuruh di atas sana kembali berteriak. Menyampaikan insting yang berbahaya akan suasana sekitarnya. Tiba-tiba Bharicgos menunjuk keningnya.
"Trucar en absència (memanggil dalam ketiadaan)" selesai mengatakan itu, penutup mata Lucia pun menguap begitu saja. Menampilkan mata merah yang tampak seperti berlian darah. Dan tetesan demi tetesan cairan berwarna senada membasahi pipi. Perlahan sklera putihnya pun menghitam.
"A-apa yang kau lakukan?" Lucia mendadak bingung dengan perubahannya. Karena salah satu pandangannya sekarang terasa berbeda. Menajam dengan jarak penglihatan tak terduga.
"Hanya melakukan apa yang seharus-"
"Lucia!" panggilan itu pun memutus ucapan sang lelaki. Mereka menoleh pada sumber suara, di mana seorang pemuda berambut coklat menatap dingin keduanya.
"Princeps bellum (sang pangeran perang) ya," gumamnya diselingi senyum lebar. "Benar-benar pertemuan tak terduga."
Lucia yang mendengarnya terdiam. Bahasa aneh barusan entah kenapa mendatangkan sensasi yang tidak menyenangkan. Dan sekarang bunyi langkah kaki Lucius semakin tidak menyamankan suasana.
Sorot mata dingin juga ekspresi datar itulah penyebabnya.
"Mata itu, Tenebris?"
Bharicgos tertawa pelan. Begitu Lucius sampai di hadapannya, pedang terselubung pun di arahkan tepat ke leher lelaki itu.
Sosok berambut merah yang diancam tak bergeming sedikit pun. Sorot matanya menatap lekat Lucius namun dengan raut yang tak bisa di jelaskan.
"Princeps bellum," lagi-lagi Bharicgos mengulangi ucapannya.
"Apa?"
"Sepertinya, kau masih belum sadar," sambil mencengkeram pedang terselubung itu. Lucia terperangah, menatap tak percaya pada kejadian di depan mata. Pedang milik adiknya perlahan meneteskan darah. "Senjata terkutuk tingkat atas ya? Ah, eques? Nama yang indah. Oh! Dia kembar?" pertanyaannya membungkam dua bersaudara di sana.
Lucia dan Lucius saling melirik. "Dari mana kau tahu nama senjataku?"
Pertanyaan sang adik menyentak pendengaran Lucia. Kenapa ia baru tahu kalau itu nama senjatanya? Atau hal itu tak begitu penting? Pikirannya kalut. Terlebih lagi suasana di sekitar tidaklah tenang.
Mencekam.
Aura tak bersahabat milik adiknya, atau secercah sensasi menakutkan sosok berambut merah terus mendominasi taman labirin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Wanita Terkutuk
Fantasy(18+) Warning! Mengandung kekerasan dan konten dewasa. Mohon bijak dalam membaca. Evelin Gosca, sang pembunuh bayaran di dunia nyata pun harus merasakan cinta pada pandangan pertama yang pahit. Di mana dirinya malah menghabiskan malam bersama dan m...