47. Hion & Bharicgos

52 3 0
                                    

Hempasan angin kasar menghantam mereka. Semua disebabkan oleh senjata Haina dan juga Lucius yang beradu.

Rantai berduri ataupun pedang terselubung itu tampak seimbang.

"Kau Tenebris. Kenapa menyerang?"

Mendengar itu Haina menyentak rantainya. Memaksa Lucius mundur beberapa langkah.

Walau sosoknya terluka namun tak meruntuhkan kekuatan Haina. Selain tampang angkuh yang sekarang melekat di muka.

"Bukankah sudah jelas? Tentu saja untuk membasmi kalian."

Seketika mata Lucius menyipit tajam. Jawaban konyol barusan jelas bukanlah yang ia harapkan.

Sementara di satu sisi, Hion sekarang sedang berhadapan dengan dua Darkas.

"Hati-hati. Dia sepertinya menguasai beberapa aliran pedang."

Tentu saja penjelasan Bharicgos menyentak pendengaran rekan-rekannya.

"Sepertinya Ignatius memang terlahir luar biasa ya," Siez menggeleng pelan. Teringat kembali dengan sosok Lucius di seberang. Pemuda delapan belas tahun itu pun juga serupa. Dilihat dari keahlian berpedangnya bisa dipastikan ia memakai banyak aliran.

"Kenapa melawan kami?"

Pertanyaan Behella hanya dibalas dengan tatapan dingin. Tak terlihat niat menjawab selain langkah yang semakin mendekat. Dan hal itu pun memaksa dua Darkas untuk menarik pedangnya.

"Mungkin dia tuli," Siez pun terkekeh pelan.

Langit mulai menggelap saat menaungi langkah kereta kuda anggota kerajaan Orion.

Tatapan dingin Kaizer keluar jendela mengundang perhatian dua rekannya.

"Pikiranmu tampak berat," seseorang menyela.

Perlahan tatapan sang pangeran pun teralihkan pada sosok bersurai biru itu. Tak hanya rambutnya, mata dan juga pakaiannya hampir senada.
Sang komandan kerajaan baru yang sebelumnya hanya menjabat sebagai wakil saja.

"Bagaimana pun aku seorang pangeran. Tentu banyak yang aku pikirkan."

Jawaban barusan membuat sang penanya memiringkan kepalanya. Fabina Orborox tampak tak berminat mengikuti pembahasan. Selain sorot mata yang terus memandangi tangannya.

"Jadi atas pernyataan perang mereka, apa yang akan anda lakukan?"

Sang tabib kerajaan tersentak mendengarnya. Akhirnya ia pun fokus pada pembicaraan mereka.

"Kenapa menanyakan itu?"

"Bukankah sudah jelas?" lirikan Zarcon Siraydel pun mengarah pada pangeran di depannya. "Mereka menginginkan perang dengan Orion. Jadi, apa langkah Yang Mulia selanjutnya? Bagaimana pun aku harus berjaga-jaga agar hal tidak memungkinkan tidak memberatkan kita nantinya."

Sementara di tempat yang berbeda, sebuah kereta kuda tampak berhenti di dekat sebuah kolam.

"Aku masih tak habis pikir dengan mereka."

"Apanya?" sosok bermata emerald itu menghentikan kegiatan mengasah pedangnya.

"Tenebris. Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?" Tak ada jawaban dari dua laki-laki di depannya. "Kita tahu kalau mereka takkan membiarkan kerajaan kita begitu saja."

"Entahlah."

"Apanya yang entahlah? Jangan berbicara singkat Pangeran, kau membuatku pusing," keluh Don Sias akhirnya.

Perlahan tatapan lelaki berambut hitam itu mengedar ke segala arah. Pelan dan melambangkan ketenangan. Ditambah berisik burung-burung di sekitar, seakan menunggu kata-kata yang akan dilontarkan olehnya.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang