12. Penyerangan Presiden

299 12 0
                                    

Dan akhirnya, tepat di jarum jam menunjukkan pukul 01.40, sebuah ledakan dengan suara mengudara keras membangunkan seluruh penghuni istana presiden. Rumah tepi, ikut membubungkan api merah menyala yang bisa dilihat kediaman di luar area.

Teriakan panik terdengar jelas. Presiden Jason dan istrinya terbangun waspada. Saat pria itu terburu-buru mengambil senjata di laci nakas sebuah suara mengagetkannya. Sosok di balik pintu, melirihkan kata sambil menyeringai.

“Selamat malam.”

Suara dua buah tembakan memekakan telinga. Kejadian yang berlangsung cepat membuat para penghuni seperti semut yang ditimpa bencana. Berlari tak tentu arah, beberapa sibuk menghubungi bantuan, entah pihak pemadam, keamanan negara, atau siapa pun yang harus hadir menurut naluri di sana.

Teriakan keras tiba-tiba memecah suasana, mulai membuat yang lain panik dengan pemandangan di mata. Presiden Jason dan istrinya, tersungkur berlumuran darah di lantai dan ranjang. Cairan merah kental mengalir di area dada keduanya. Kepanikan, rasa bersalah, amarah, geram, ketakutan, bercampur aduk jadi satu.

Pengawal sekaligus penjaga keamanan istana segera memberikan bantuan tercepat untuk membuat suami-istri itu tetap bertahan.

Mungkin malaikat kematian sedang menanti waktu tertentu, terlebih masih ada denyut lemah yang tertinggal di kedua tubuh itu. Sementara, sosok berlari panik sambil meraih tangan pelayan lain meneriakkan kalimat tak terduga.

“Cepat hubungi dokter! Tuan dan nyonya tertembak!” membuat hiruk-pikuk semakin menjadi-jadi. Langkahnya pun tertinggal di belakang, membuka pintu kamar yang ada di sebelahnya. Di tatapnya pemandangan di luar jendela, begitu ribut terlebih sirine polisi seakan memekik terburu-buru.

“Baiklah, selanjutnya bagaimana?” seringainya semakin melebar. Dilirik kembali arloji, 01.47, sorot matanya berubah. “Hm? Sebentar lagi. Aku semakin bergairah.”

01.50, ledakan kedua selanjutnya terjadi di area sayap kiri bangunan. Mobil pemadam kebakaran memasuki halaman istana, seperti dikejar kematian. Para petugas bergerak terburu-buru, beberapa orang berteriak histeris, dua tubuh berhasil dipindahkan ke mobil bersama seorang dokter yang memang bertugas dan tinggal di istana. Tapi, ia takkan bisa berbuat banyak. Tidak di kondisi yang menekan waktu bagi detakan jantung penuh gugup dan cemas.

Barbara pun keluar dari salah satu kamar sambil menatap keadaan. Dirinya ada di area sayap kiri yang penuh api, namun ia sudah memperkirakan daya ledak bom di tempat lain takkan mengenai posisinya. Keributan ini, semakin menguntungkan terlebih topeng palsu terlepas di wajah dan tertelan kobaran itu sekarang.

“Saatnya pergi,” ucapnya sambil melepas ikatan rambut yang membuat surainya tergerai indah.

Akhirnya, pelarian dirinya pun dihantui dengan perburuan dari banyaknya aparat negara yang mulai menggeledah kediaman. Mencari penyusup di bawah bayang-bayang tekanan kebakaran sekaligus ledakan yang mungkin akan terjadi lagi untuk mengantar mereka menuju kematian.

Ponsel Cristhian Ronald berdering tak karuan. Membuat yang punya, bersama pasangan tidur di sebelahnya terbangun.

“Cih! Siapa pagi-pagi begini?!” ia segera mengangkatnya.

“Cris! Ayah dan Megan diserang!” suara keras dari sosok sang kakak mengejutkannya.

“Apa! Apa yang terjadi?!”

“Aku tidak tahu! Aku tidak menginap di rumah! Dan tiba-tiba ada panggilan memberitahuku kalau mereka diserang!” Cristhian terdiam. “Di mana kau, Cris? Aku membutuhkanmu!”

Pemuda itu seketika menoleh ke arah Evelin yang menatap penasaran. “Aku akan menghubungimu lagi nanti,” panggilan langsung diputus begitu saja.

“Cris! Cris!” teriak Daniel karena tak terdengar lagi suaranya. “Sial!” ia pun melempar ponsel ke dinding rumah sakit.

“Ada apa?” Evelin menyentuh lengan Cristhian yang tampak berekspresi tak karuan.

“Ayah dan ibuku diserang.”

Evelin terdiam. Kalimat itu jelas langsung memunculkan sosok tersangka di batinnya. “Apa yang akan Kakak lakukan?”

“Aku keluar dulu,” ucap Cristhian dengan langkah meninggalkan sang gadis yang sorot matanya masih mengikuti punggungnya.

“Maafkan aku, Kak Cris,” gumam Evelin meringkuk kesepian.

Di kediaman Presiden Jason, ditemukan bukti beberapa bom yang masih belum aktif di dekat taman. Tertutup oleh rindangnya tanaman rambat untuk mempercantik kediaman. Bahkan beberapa tabung gas sebagai pemicu kebakaran juga berhasil di dapatkan.

Daniel mengepal erat tangan, terlebih fakta kalau pelaku masih belum ditemukan. Tak ada jejak apa pun. Tidak sidik jari, rekaman CCTV, atau saksi. Kecuali sebuah topeng kulit hangus yang bahkan tak bisa diselidiki siapa pemiliknya.

Walau diperkirakan milik pelayan, tapi hasil pemeriksaan topeng yang di dapat cuma jejak silikon, darah binatang, dan kulit manusia dari orang yang sudah teridentifikasi mati sebulan lalu. Tak hanya satu, tapi ada dua orang.

Pertama, seorang gadis korban pembunuhan oleh psikopat yang kabur dari rumah sakit jiwa. Mayatnya ditemukan di gudang bawah tanah rumahnya dalam keadaan terpotong-potong dan tertusuk paku ke dinding kayu.

Kedua, dari pemuda berusia 17 tahun. Cucu mantan admiral angkatan laut yang mati dalam tawuran antar sekolah.

Jadi, bagaimana bisa kulit kedua orang itu melekat di topeng? Cara mengerikan apa yang mereka gunakan sehingga sedikit pun jejak di topeng tak bisa dikenali pelakunya? Aparat bertanya-tanya apa yang kurang dari penyelidikan mereka.

Sementara, di sebuah hotel tampak seorang pria sudah menunggu kedatangan sosok yang dinanti. Barbara tertawa, sambil melepas topengnya. Bahkan ia juga menarik kulit di lengan sehingga robek seperti sarung tangan stocking. 

“Bagaimana?”

“Anda tak lihat berita? Tentu saja berhasil,” ucapnya. Ia mengambil pisau dan mengikis kulit wajah sehingga tampak seperti kulit arinya mengelupas namun tak terluka.

Cukup lama sosoknya begitu, bahkan Antonio juga melakukan hal serupa. “Sepertinya aku alergi lilin,” sambil menyentuh mukanya begitu semua selesai.

“Jadi, selanjutnya apa? Memburu gadis kecilmu?” tanya Barbara.

Wajah pink dengan hiasan freckles jelas di muka. Rambut potongan pixie cut dan mata hazel tampak melukiskan rupa Barbara. Dia berusia sekitar 29 tahun. Perawakannya seperti seorang atlet, namun memiliki kemampuan beladiri kungfu yang handal. Dirinya merupakan mantan inteligen militer, sama seperti Antonio.

Tapi mereka berasal dari negara yang berbeda dan merupakan musuh sebelumnya. Sekarang keduanya bertugas sebagai pembunuh bayaran dan mata-mata untuk organisasi milik Robert.

Marcus tak menjawab. Ia memilih menghisap rokoknya. Barbara kembali melanjutkan ucapan. “Sungguh gila. Bagaimana bisa dia jatuh cinta? Bakatnya hancur karena dia terlalu naif.”

“Sepertinya mereka keluar negeri. Aku sudah mendapatkan jejak dari keberangkatan kapal yang mereka tumpangi,” sambung Antonio melepas kaosnya.

“Marcus? Kita harus memburunya,” Barbara menimpali.

“Lakukan sesukamu,” pria itu pergi meninggalkan mereka.

“Gadis itu, apa dia benar-benar hamil?”

“Entahlah. Apa pun itu, Robert takkan mengampuninya,” Antonio beranjak ke kamar mandi.

Di tempat berbeda, seorang laki-laki syok begitu mengetahui penjelasan dari adiknya. Ia masih tak percaya dengan apa yang di dengar.

“Kalau begitu tetaplah bersembunyi. Gunakan gadis itu sebagai tumbal demi keselamatanmu.” Cristhian terdiam mendengar perkataan Daniel. “Biar aku yang menangani hal-hal di sini. Begitu penjahatnya ditemukan, maka kembali. Aku benar-benar membutuhkanmu di sisiku. Karena itu tetap sembunyi. Jangan sampai kamu tertangkap,” lanjut kakaknya memberi perintah.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang