14. Doa dan Harapan

364 23 0
                                    

“Apa ini saatnya untuk itu?”

Cristhian mengangkat botol obat yang ada di tangan. Perlahan, dilepas dan jatuh di dekat mereka. “Robert? Siapa itu? Apa maksud isi suratnya? Dan apa arti MS itu?” Beberapa saat berlalu dengan mulut Evelin yang masih tertutup rapat. “Tinggalkan aku.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang tidak mempercayaiku. Lebih baik kamu kembali pada mereka,” sambil melangkah mengambil pisau buah di nakas. Diraihnya tangan kanan sang gadis, lalu menaruh senjata itu di sana agar tergenggam berdua. “Hanya ini pilihanmu,” Cristhian pun mengarahkan ke lehernya.

“Kak Cris! Apa yang kau lakukan?!” Evelin meronta melepaskan genggaman mereka pada pisau tersebut.

“Aku hanya mempermudah tugasmu.”

Gurat emosi terlukis di wajah gadis itu. “Setelah semua yang kita lalui, kau bersikap seperti ini?”

“Ya.”

PLAK!

Spontan tamparan melayang ke pipi Cristhian. “Brengsek kau, Kak Cris!”

Cristhian hanya menyeringai. “Jadi, apa ini artinya kamu tetap ingin bersamaku?” dirabanya pipi yang kesakitan itu.

Tak ada jawaban. Evelin terlanjur marah karena merasa dipermainkan. Dirinya berbalik hendak keluar. "Mau ke mana?” Cristhian menahan pintu agar tak terbuka.

“Minggir kau, Kak Cris!”

“Kamu marah? Aku begini karena tak kunjung mendapat jawaban.”

“Jawaban apa? Aku bahkan tak tahu apa yang kau tanyakan! Begitu banyak ocehan dari mulutmu itu!”

Sang pemuda hanya tersenyum tipis. Disentuhnya pinggir rambut Evelin dan diselipkan ke belakang telinga.  

“Apa kamu akan tetap di sisiku?” Detik-detik berlalu dengan bungkamnya sang pujaan. “Jangan diam saja, kamu punya mulutkan?” disentuhnya bibir bawah gadis itu dan diusap lembut.

“Aku—”

Hening.

Perlahan, suara dari dua bibir saling bertaut mengambang di keadaan. Jawaban yang hendak dilontarkan Evelin, tertelan dalam ciuman Cristhian. Entahlah, pemuda itu selalu melakukan apa pun sesuka hatinya.

Dirinya terlalu ahli dalam hal ini. Bermain rasa dalam ekspresi dan bicara, bahkan pertengkaran terasa manis dibuatnya, mulai membangkitkan gelora Evelin walau dirinya agak murka.

Bibir mereka menjauh secara perlahan, tapi tidak dengan tatapan. Masih beradu, melukiskan cerita yang tak disampaikan lewat suara. Tiba-tiba Evelin memeluknya. Erat walau tubuh kecilnya gemetar saat dibalas rangkulan sang pemuda.

“Semua akan baik-baik saja,” gumam Cristhian.

Mata Evelin berkaca-kaca. Kalimat penyemangat untuk mereka, walau ada bayang doa tersirat di sana, keduanya memang ingin hidup bahagia.

“Seandai—”

“Ini takdir kita,” potong Cristhian. “Apa kamu tahu, Evelin? Jika bukan karena pekerjaanmu, kita takkan pernah bertemu.” Tangan kanan sang pemuda mulai mengelus lembut kepalanya.

“Kita juga takkan pernah menghabiskan malam seperti itu,” dengan nada agak jengkel.

Senyum mulai melebar di bibir sang pemuda karena ucapan sosok dalam dekapan.

“Entahlah. Karena menurutku, kisah kita tak hanya dimulai di atas ranjang. Tapi saat kamu dan aku bertatapan,” keningnya pun disandarkan pada bahu kanan Evelin.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang