46. Pertemuan Para Ignatius

57 7 0
                                    

Sorot mata tenang sosok berambut perak itu, terus saja memandangi pemuda bersurai coklat.

Bahkan setelah pertemuan para utusan delapan kerajaan berakhir dengan ketegangan, Lucius tak terlihat menyesal.

Ia bahkan sempat menatap remeh pada laki-laki di depan mata.

Siez Nel Armarkaz.

Penolongnya yang sudah membuat mereka bisa pergi dari sana. Andai Lucius tetap gigih memprovokasi Orion, mungkin saja beberapa orang yang menganggapnya ancaman akan segera membantainya.

Terlihat dari tatapan tajam ratu Virgo kepadanya.

"Darkas, apa kalian berkhianat?" pertanyaan Raja Aquarius saat Siez dan pamannya maju untuk menengahi keadaan memantik sebuah kenyataan.

"Berkhianat?" Siez tersenyum hangat. "Dia rekan kami. Tak peduli siapa sosoknya, sudah tugas Darkas untuk melindungi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Bukankah begitu? Pangeran Kaizer."

Tapi tak ada tanggapan dari laki-laki yang diajak bicara. Selain tatapan tajam memenuhi suasana.

Tanpa kata Lucius berlalu dari sana dan diiringi langkah kaki dua Darkas yang tadi hadir bersamanya.

"Benar juga," Siez menghentikan langkah. Perlahan menoleh ke belakang dengan cengiran khas anak muda. "Gelombangnya sudah berubah. Bukankah sudah saatnya kalian menentukan pilihan? Semoga tak ada yang bernasib seperti Libra."

"Kau!" geram sang pangeran kerajaan yang tersindir.

Tapi Siez sudah tak tampak di mata. Sosoknya yang menghilang secara sekejap pun membuktikan kalau ada sihir di dalam dirinya.

Di dunia ini tak semua orang bisa memiliki sihir. Berkah seperti itu hanya bisa di dapatkan dari keajaiban semesta.

Walau udara di penuhi dengan mana, namun tak semua dapat mengumpulkannya. Hanya yang berbakat memiliki harapan untuk itu semua. Bahkan walau pun sudah berlatih selama bertahun-tahun lamanya terkadang sihir tetap enggan dimiliki oleh mereka.

Namun ada satu kerajaan yang bisa mematahkan hukum mana.

Tenebris.

Mereka berhasil mematahkan kenyataan yang sulit menjadi mudah dengan senjata terkutuk buatannya. Tak dapat dipungkiri kalau orang-orang di sana ahli mengendalikan mana. Dan itu semua berkat hasil ciptaan yang mengorbankan perang dan juga nyawa.

Tulang dan darah sebagai salah satu elemen senjata gelap untuk mengokohkan kekuatan kerajaan yang tersohor namanya.

Mencekam.

Setidaknya itulah suasana di tempat Lucia dan Bharicgos berada.

Aura permusuhan dari orang asing di depan mata semakin menggelap setelah kedatangan dua sosok tak terduga.

Hon dan juga Tel Avir.

"Wah ... wah ... wah ..., apa sedang ada pertemuan? Sepertinya kita mengganggu teman," sela sosok berambut panjang itu. Dia hanya menyengir saat mendapati tatapan tajam dari seseorang di pandangan.

"Ignatius?" gadis berpakaian seksi itu bergumam. Matanya tak henti-hentinya menatap lekat pendatang baru di seberang. Tak ada semringah seperti saat melihat Bharicgos. Lebih seperti jengkel karena keinginannya terganggu sekarang. "Kupikir sudah banyak yang mati. Tapi apa-apaan ini?"

Perlahan tangannya bergerak ke belakang. Memegang rambut panjangnya sehingga tertarik ke depan. Namun anehnya surai itu tak lagi sama, selain membentuk rupa rantai berduri yang menjuntai panjang ke tanah.

"Dia—" belum sempat Tel Avir melanjutkan perkataannya, senjata perempuan itu sudah memburu dirinya.

Sontak saja ia dan Hon berlari menghindari kejaran senjata aneh yang mirip cambuk dari kepala Haina.

Berbeda dengan Lucia dan Bharicgos, mereka masih di hadapkan dengan laki-laki yang datang bersama wanita itu.

Tampaknya tanpa perlu disebutkan pun tujuan keduanya sudah jelas.

Sosok berambut merah darah dengan netra senada yang pekat itu juga akan melakukan hal serupa.

"Sepertinya, masih banyak yang harus dituntaskan," hanya dalam sekejap sosoknya sudah berdiri tepat di samping Lucia dan Bharicgos.

Sontak gadis itu terpekik karena ayunan senjata yang mengarah padanya.

"Sial!" umpat leluhur pertama itu. Keduanya terperangah namun sang pemudalah yang terparah karena tangannya terluka akibat melindungi Lucia.

"Hion!" teriak kembarannya tiba-tiba. "Awas saja kalau sampai cacat karena dia calon suamiku!" tekannya dengan tangan mengarah ke leher. Memamerkan gambaran hendak memenggal kepala.

Sosok yang diajak bicara hanya menatap tak acuh. Bagaimana pun juga tujuannya sudah jelas sekarang. Ia terlihat serius dalam memburu orang-orang sekerajaan dengannya.

"Sial! Apa-apaan ini?! Dia monster!" darah pun menetes di sela-sela jari Tel Avir. Bahkan bukan hanya dirinya, Hon juga bernasib sama. Menatap datar pada bahu kanan yang tergores cambuk milik Haina.

"Kenapa?" perempuan itu menatap remeh ke arahnya.

Tak ada jawaban selain tangan kanan yang tiba-tiba terangkat. Bibir merah nan bergumam mengundang kernyitan dahi di wajah Haina.

"Ruby."

Selesai mengatakan itu, sebuah siluet muncul di tangan Hon. Lambat laun membentuk sebuah senjata. Hempasan angin kasar yang berasal darinya pun akhirnya memamerkan wujud sempurna. Tombak biru, dengan lima buah bilah pada ujungnya. Sesuai nama, sebuah batu ruby terlihat merona di sana.

"Ho? Tombak yang menarik," Haina menyeringai. Sedikit membungkukkan badannya dan menatap lekat laki-laki itu. "Sejujurnya kau tampan. Tapi sayang aku akan lebih senang dengan mayatmu."

"Aku juga akan lebih senang dengan mayatmu!" teriakan Tel Avir yang tiba-tiba mengejutkan dirinya. Karena bagaimana pun laki-laki itu muncul begitu saja di belakang Haina. Pekikan yang sontak muncul dari perempuan itu pun menandakan luka baru saja mengenai lehernya. "Kupikir aku berhasil memenggalnya," sambil melirik telapak tangannya. Ada jejak darah di sana, begitu pula dari Haina yang menjadi korban.

Dan jangan lupakan tatapan tajam yang mulai terpancar dari sosok berambut merah itu.

Deru napas nan memburu, disertai kepalan tangan yang semakin erat menandakan seberapa emosi dirinya.

Lambat laun langkahnya yang tak biasa membuat Hon pun mulai waspada.

"Sepertinya, aku terlalu lunak ya."

"Sial!" umpat Bharicgos tiba-tiba. Pertarungan yang berat sebelah benar-benar menyesakkan dirinya. Lucia tak membantu banyak, karena bagaimana pun sosoknya justru sedang dilindungi leluhur pertama itu.

Sementara Hion tampak sibuk membersihkan bilah pedangnya. Mengusapnya dengan sapu tangan merah senada surai miliknya.

Dinodai darah yang sudah jelas milik siapa. Cukup mengejutkan karena sosok Bharicgos tampak kalah telak melawannya.

"Apa-apaan ini?"

Suara yang terkesan dingin mengalun di pendengaran mereka. Semua menoleh pada sumbernya. Terlihat di mata tiga sosok laki-laki yang salah satunya memiliki jarak usia cukup berbeda.

"Lucius!" ekspresi Lucia tampak senang. Karena bagaimana pun juga ia sangat bersyukur melihat kehadirannya.

"Ignatius? Tidak," Haina menatap jengkel pada mereka. "Bau menjijikan rupanya," mendengar itu pandangan semuanya terarah ke dirinya. Beberapa melirik dengan raut wajah tak biasa.

Siez Nel Armarkaz dan juga Behella sang paman.

Sorot mata keduanya menajam saat bertemu pandang dengan perempuan itu.

"Siapa kalian?" Lucius memecah suasana. Dapat dipastikan kalau ia tidak senang sekarang. Apa lagi saat mendapati kalau Bharicgos yang jelas-jelas di pihaknya terluka.

Posisi sang leluhur pertama yang sedang melindungi Lucia sudah menjadi bukti kalau orang-orang ini adalah musuhnya.

"Kau tak perlu tahu siapa kami bocah." Haina menghempaskan rantainya. "Tapi satu hal yang pasti, kau pun juga harus mati di tangan kami."

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang