38. Racun Kutukan

115 10 0
                                    

Mendingin, begitulah ekspresi Lucius.

Seakan dinginnya malam mendukung tekanan sang pemuda, sang kakak pun dipaksa meneguk ludah kasar. Cengkeraman di lengannya cukup menyakitkan, namun dirinya enggan menyela.

“Kakakku?”

“Benar.”

Tiba-tiba Lucius menarik Lucia agar berdiri di belakangnya.

“Kau menginginkan kakakku?”

“Apa kalimatku barusan kurang jelas?” pandangan pun perlahan diedarkan. Siez melangkah menuju balkon yang terbuka, menyaksikan hamparan di sekitar dengan mata sayunya.

“Apa kau menyukai kakakku?”

Evelin terperangah. Tak menyangka, adik sang raga akan bertanya terang-terangan. Tatapannya pun teralihkan pada sosok di seberang, di mana laki-laki itu menatapnya sempurna.

Mengusik masa lalu akan lirikan milik sang bos yang agak dibencinya.

“Mungkin, aku lebih tertarik pada kakakmu.”

Lucius tak lagi mengatakan apa-apa. Dirinya memilih melonggarkan cengkeraman pada lengan kakaknya. “Kakakku,” ia pun menoleh pada Lucia. “Terlalu berharga untuk disandingkan denganmu.”

“Hm?” Siez pun menatapnya dengan sorot mata meremehkan. “Apa kau baru saja merendahkan aku?”

Senyum tipis terpatri di bibir pucat itu. Entah kalimat apa yang akan dilontarkan, tentunya sang pendengar dibuat penasaran. Terlebih gemuruh angin di luar ruangan, menghantam jendela pada jeda keheningan.

Lambat laun sorot mata Lucius terlihat tak biasa. Dia mulai tampak seperti orang yang berbeda.

“Apa yang bisa kau tawarkan pada kakakku?”

“Lucius!” hardik gadis itu. Sungguh ia tak habis pikir dengan pikiran adiknya, bisa-bisanya sang pemuda seakan ingin menjual raga yang ditempati Lucia.

Tapi sayangnya bentakan Evelin diabaikan, bahkan memandanginya pun tidak dilakukan. Pangeran Tenebris masih menunggu jawaban, dan sosok yang ditanya tampaknya dirundung kebungkaman.

Siez berjalan ke arah mereka sambil menarik pedang di pinggang.

“Ingin bertarung?” Lucius tiba-tiba menyeringai. Belum sempat melakukan hal serupa, pangeran Darkas mengayunkan senjata. Hanya saja gagangnya lah yang diarahkan pada gadis di depan mata.

Lucius dan Lucia pun terdiam melihat aksinya.

Apalagi saat laki-laki tampan itu menjatuhkan tubuhnya. Bertindak layaknya ksatria yang menunggu penghormatan, sebelum turun ke medan perang dan mengoyak keinginan di pandangan.

Siez, merendahkan dirinya di hadapan Tenebris bersaudara.

“Tak ada tahta yang bisa kujanjikan, selain kerjasama juga kesetiaan. Karena itu, beri aku izin untuk menjadi ksatriamu, dan berjanjilah kalian akan setia padaku dan membantuku menggapai tujuanku. Berjanjilah padaku, wahai Yang Mulia Putri, dan juga Pangeran Kerajaan Tenebris.”

Tak dapat dipungkiri raut muka Lucius tiba-tiba mendingin. Bahkan mampu mencekam suasana, tangannya terangkat menyentuh gagang pedang sang pangeran di depan mata.

“Sepertinya, aku harus menguji ucapanmu terlebih dahulu.”

Rintihan berkumandang di tempat yang berbeda. Area di luar kerajaan Darkas, pesona malam dalam hutan menjadi saksi erangan pelan seorang pangeran.

Milik dia yang terluka di area dadanya.

“Aku masih tak percaya kalau mereka masih hidup.”

Ucapan Fabina hanya dibalas lirikan oleh Kaizer. Fokusnya pun teralihkan pada jejak luka yang menganga, di mana tepiannya dihiasi gambaran aliran darah yang nyata. Aliran darah berwarna hitam layaknya akar serabutan.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang