37. Rahasia Gelap

106 9 0
                                    

“Apa maksudmu?” pertanyaan itu terdengar lantang. Tangan terkepal menghiasi sosok Lucia, dan jangan lupakan tatapan tajam yang terpatri di wajah.

Hanya saja, Bharicgos memamerkan ekspresi tak berminat. Sekejap mata dirinya muncul di depan Lucia, menguarkan aroma seperti cendana dari balik tubuhnya.

Ia tersenyum, tangannya perlahan terulur, menyentuh dengan lembut pipi sang putri. Membuat gadis itu bergidik ngeri.

“Ingin kuceritakan sesuatu?”

Sementara suasana berbeda terlukis di ruangan itu. Tempat di mana tuan putri Tenebris terlelap dalam tidurnya. Dan kehadiran sang adik dengan luka yang menganga ditatap datar oleh pangeran kerajaan Darkas.

“Ingin kucarikan tabib?”

Lucius mengabaikan, memilih mendekat pada sang kakak. Perlahan digenggamnya tangan Lucia, dan aksi selanjutnya benar-benar membungkam Siez yang menyaksikan.

Taring, terlihat nyata. Seperti siluman dengan warna kedua mata yang berbeda. Tanpa aba-aba gigi runcing itu ditancapkan ke lengan sang gadis muda, memancarkan aroma anyir darah diselingi bunga.

Benar, Lucius sedang menghisap darah kakaknya.

“Monster,” kalimat itu mengundang senyuman. Tapi terkesan meremehkan. Begitu selesai anehnya tak ada jejak luka di tangan putri Tenebris. Selain bekas darah, namun lenyap dijilat adiknya. “Pembunuh bayaran yang dikutuk ya, Pangeran.”

“Kau, sudah tahu ya?” Lucius menyeringai padanya.

Dan mungkin tak akan ada yang menduga, kalau jiwa Lucia sedang berkelana di tempat berbeda. Menatap tak percaya pada remaja yang bersuara, akan fakta kelam kerajaan tempat kelahiran raga yang ditempati.

“Kau sesat,” Lucia, tidak. Lebih tepatnya Evelin yang bersuara. “Bisa-bisanya kau mengajarkan itu? Apa dunia ini kekurangan manusia? Sampai-sampai hubungan sedarah dilakukan.”

Ia justru tak tersinggung. Senyum miring yang tersungging membuat gadis itu agak jengkel.

“Memangnya kenapa? Lagi pula, memang begitulah cara kita mempertahankan kekuatan.”

“Tapi hal itu jelas tidak bisa dibenarkan!” sanggahnya.

“Kenapa?”

“Kau masih bertanya? Tentu saja hubungan antar saudara itu dilarang.”

“Itu hanya menurutmu.”

Evelin meradang. Dia memilih membuang muka, tak ada gunanya lagi berbicara dengan leluhur pertama.

Apalagi saat mengingat ocehannya yang menyuruh Lucia untuk menikahi sang adik, hal tersebut jelas tak dapat diterima.

Tapi, sensasi aneh tiba-tiba terasa di badan. Seperti tarikan di area hati dan juga kepala. Evelin yang memakai raga Lucia, menyentuh dada.

Dia sesak napas dan tak tahu apa penyebabnya.

“Jika tidak mau dengan anak itu, bagaimana denganku? Aku tak masalah jika harus memiliki permaisuri seumur cucu-cucuku.”

“Menjijikan,” lirihnya sambil menahan sakit.

Keringat dingin terus bercucuran, memaksa raga itu mengusapnya kasar. Sakit yang dirasa juga tak dapat dilukiskan, membuat kesadarannya mulai menghilang.

Dia pun jatuh pingsan. Tetapi, ketika akan tumbang sosok Bharicgos berhasil menangkap tubuhnya. Menggendong Lucia layaknya seorang pangeran.

“Apa kamu masih bisa mendengarku?” senyum miring terpatri di bibir. “Tak ada yang sedarah di Tenebris. Karena kita lahir dari bibit iblis. Kita semua seumuran, Nona. Hanya saja, kepompongku terlebih dahulu pecah dan menjadi leluhur pertama. Itulah rahasia sesungguhnya dari para singa belantara.”

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang