35. Ketahuan

108 11 0
                                    

Pertarungan sengit menghiasi dua sosok dengan usia yang terpaut tidak begitu jauh.

Fabina dan Lucius.

Begitu banyak helaian sayap gagak berguguran. Bahkan mayat hewan pemakan bangkai itu juga berserakan. Bunyi bilah pedang yang saling beradu melukiskan sesuatu.

Arti dari keseimbangan kemampuan.

Walau begitu, tak dapat dipungkiri kalau wajah Fabina terlihat tertekan. Bahkan jika goresan sama-sama menghiasi pipi kiri mereka, seringai lebar malah menyeruak ke permukaan. Milik Lucius yang tampak senang.

“Kau gila!” sang pengendali hewan mengumpat. Bahkan di sela-sela adu kekuatan, pembunuh bayaran itu sempat-sempatnya menebas gagak yang tersisa. Dan memaksa darah di mata pedang agar terbang berceceran.

Andai Fabina tak menghindar, maka itu akan menjadi senjata makan tuan. Di mana darah hewan yang dikendalikan hampir mengenai mata.

Sayup-sayup tawa pelan mengalir ke pendengaran. Tak jelas apa yang lucu, tapi Lucius mulai mengambil jarak. Dahi berkerut karena penasaran menjadi jawaban dari sang ksatria Orion di pandangan.

“Sepertinya, langit akan hujan.”

Fabina seketika menengadah. Cuaca cerah terpampang nyata, bagaimana bisa pemuda itu mengatakan hal dusta? Pemikiran kalau orang ini sedang mengulur waktu menyusup ke pikiran.

“Apa kau sedang menunggu bantuan?”

Lucius tersenyum tipis. “Bantuan? Pembunuh bayaran sepertiku? Tampaknya kau terlalu meremehkan aku.” Ujung pedang terselubung pun dihantamkan ke tanah. Sekilas menarik perhatian lawan walau tak ada sensasi menakutkan apa pun dari senjata yang diperban.

Jujur saja, Fabina memang penasaran dengan pesona bilah yang masih terkurung dalam sarungnya.

“Aku tidak meremehkan dirimu. Tapi sepertinya keberuntungan tidak memihak padamu.”

Bunyi langkah kaki perlahan menarik atensi Lucius pada pemiliknya. Dari balik pepohonan, seseorang muncul mengenakan kain tipis penutup wajah. Tapi mulai dilepas dan memamerkan rupa asli sang pendatang.

Bersamaan dengan angin kasar yang menerpa, gerakan rambut ketiganya semakin memperjelas pesona mereka. Dan juga menguarkan aura nan berbeda.

Kaizer.

Dialah yang telah hadir untuk mengacaukan pertarungan Fabina juga Lucius.

Hanya saja siapa sangka kalau adik dari Lucia tampak tenang menanggapi. Sepertinya ia tak takut jika sampai dikeroyok lawannya.

“Pangeran Orion, dan juga pengendali hewan legendaris. Kalau kalian mati di sini, bukankah itu akan sangat menarik?”

Dan seperti perkataan Lucius, tiba-tiba gemuruh memecah langit sana. Hujan yang turun tanpa aba-aba menjadi saksi kehebatan sang pemuda.

Semua karena pedang tersarung telah terlepas dari segelnya.

Di satu sisi, Evelin terperangah. Sosoknya yang berada di menara jam terdiam melihat tumpukan mayat di depan mata. Lima pengelana, mereka dibunuh tanpa ampun oleh Siez.

Lubang menganga di masing-masing jantung mereka, menjadi tanda seberapa kejam laki-laki berekspresi santai di dekatnya.

Perlahan sang pangeran mendekat. Memaksa desiran tak biasa menggerogoti gadis muda. Dan ia tersentak ketika tangan dingin itu menyentuh pipinya. Mengusap lembut jejak darah yang menghiasi wajah Lucia.

“Jadi, apakah kamu takut? Nona.”

Kakak dari Lucius itu hanya diam. Tatapan yang saling beradu, deru napas nan bertabrakan, aroma mint juga mawar begitu berseberangan, melukiskan mereka berdua. Wangi bunga yang pekat dari tubuh Lucia, dan mungkin gadis itu tak sadar kalau hal tersebut begitu menggoda.

Pesona Wanita TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang