14. Tidak Lagi Berharga

43 16 2
                                    

Baik Jaehyun maupun Jiho, keduanya sama-sama melihat ke arah test pack bergaris dua yang ada di meja makan. Suasana makan malam yang tadinya terasa nyaman seperti pada malam-malam biasanya, lambat laun berubah.

Jiho beralih menatap Jaehyun, yang tampaknya sedang menunggu penjelasan seperti apa yang akan diberikan Jiho. Menarik napas dalam-dalam, Jiho pun menjawab, "Iya. Saya hamil."

Seusai melontarkan kalimat singkat itu, Jiho merasa sesak. Hidup Jiho yang memang hancur, seolah jatuh ke dalam lubang gelap. Yang mana Jiho tidak akan pernah mampu keluar dari lubang gelap tersebut.

Kenapa semua hal yang buruk selalu menimpa Jiho? Kebahagiaan ... apakah itu memang suatu hal yang sulit digapai oleh siapapun? Atau mungkin hanya bagi Jiho saja?

Siang tadi, sewaktu Jaehyun pergi, Jiho juga ikut pergi. Mati-matian Jiho menekan rasa takutnya kala Jiho menginjakkan kaki ke Rumah Sakit. Tujuan Jiho ke sana untuk memastikan keakuratan dari test pack yang telah digunakan.

Beberapa hari sebelum Jiho bertemu dengan Jaehyun, Jiho ingat. Pernah disuatu pagi, Jiho terbangun dari tidurnya di tempat yang asing. Juga, dengan kondisi yang kacau. Siapapun tahu, bahwa Jiho mendapat pelecehan. Atau mungkin, Jiho melakukan atas kemauannya sendiri. Untuk hal itu, Jiho sedikit pun tidak ingat. Kendati demikian, Jiho ingat bahwa terakhir kali ia berada di sebuah Restoran.

"Jiho ...,"

Jiho memalingkan wajah lalu menghela napasnya. "Ini bukan anak Anda. Jadi Anda tidak perlu bertanggung jawab," ucap Jiho. Ia berdiri dari duduknya, membereskan peralatan makan yang ada di meja, dan kembali berujar, "Gaji Anda ... hari ini akan saya transfer. Besok pagi, Anda boleh berhenti bekerja untuk saya."

Jaehyun menatap Jiho penuh afeksi. Mengetahui maksud dari ucapan Jiho barusan, Jaehyun merasa seakan ditusuk dengan pedang. Namun apa yang dirasakan oleh Jaehyun saat ini sedikit pun tidak ada bandingannya dengan apa yang dirasakan oleh Jiho.

Jiho yang menghindari tatapan Jaehyun. Jiho yang berpura-pura sibuk dengan peralatan-peralatan makan itu. Juga Jiho yang tidak menunjukkan emosi apapun melalui raut wajahnya. Semua hal yang dilihat oleh Jaehyun pada Jiho sekarang, membuat Jaehyun nyaris kehilangan akal.

"Kamu ngusir aku?"

Sorot tatapan Jaehyun menajam. Jiho yang berlalu-lalang di hadapan Jaehyun, merupakan hal yang amat tidak disukai Jaehyun. Jiho bertingkah bahwa itu bukanlah masalah besar.

"Jika Anda menganggapnya seperti itu, silakan. Itu terserah Anda."

"Kenapa bukan anak aku? Malam itu, jelas-jelas kalau aku udah bersikap kurang ajar ke kamu. Aku udah—"

"Tidak." Jiho menginterupsi, menghentikan aktivitas yang tengah dikerjakan lalu menatap Jaehyun. "Anda tidak melakukan hal yang melewati batas malam itu. Saya dan Anda ... tidak melakukan hubungan badan."

"Kenapa kamu seyakin itu? Bisa aja—"

"Saya tidak tidur semalaman. Jadi saya tau. Malam itu, saya juga membuat Anda kehilangan kesadaran diri. Saya memukul kepala Anda menggunakan lampu tidur."

Mendengar penjelasan dari Jiho, dalam lubuk hati Jaehyun yang paling dalam, Jaehyun merasa lega. Jaehyun juga merasa bangga, karena Jiho berhasil menghentikan aksi gila Jaehyun dengan tindakan yang seperti itu. Di sisi lainnya, Jaehyun benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Pegangan Jaehyun pada gelas kaca yang kosong itu kian erat. Jaehyun mengatupkan rahang, menahan napasnya yang memburu, sembari terus menatap Jiho yang sedikit pun tidak beranjak dari posisinya.

Entah harus merasa bersyukur atau malah sebaliknya, Jiho sama sekali tidak dapat mengingat wajah lelaki yang telah melakukan hal yang tidak pantas padanya itu. Bahkan apa saja yang dilakukan pun, Jiho tidak ingat.

Ya, mungkin dengan tidak dapat mengingatnya, Jiho akan mampu bertahan. Setidaknya sampai anak tak berdosa itu lahir.

Jiho mengumpat di dalam hati. Mengatai diri sendiri yang padahal tadinya, memiliki niat untuk merenggut nyawa calon bayi itu, untuk ikut bersamanya meninggalkan dunia yang kejam ini.

"Kalau besok aku pergi, kamu yakin gapapa?"

Tidak. Jiho jelas akan kenapa-napa. Namun untuk memberitahukan hal tersebut, Jiho merasa tidak pantas. Hampir sebulan tinggal bersama, Jiho mulai terbiasa dengan hadirnya Jaehyun dalam kehidupan Jiho. Jiho mulai terbiasa dengan wajah tersenyum Jaehyun. Ucapan selamat pagi juga selamat malam yang diucapkan oleh Jaehyun, merupakan rutinitas Jiho untuk mendengarnya.

"Kamu tidur aja duluan. Biar aku yang cuci piringnya," kata Jaehyun.

"Saya bisa—"

"Kamu mau aku pergi besok, 'kan?" Jaehyun mengambil alih apron yang dipegang Jiho. "Selamat malam, Jiho."

❄️❄️❄️

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Hingga saat ini pun, Jiho sebentar pun belum memejamkan mata. Bahkan kasur yang seharusnya ditiduri pun sama sekali tidak dihampiri.

Perempuan itu hanya berdiri di dekat jendela kamar, ketika merasa penat, ia hanya akan duduk di lantai sembari bersandar di dinding.

Sebenarnya, itu merupakan rutinitas Jiho tiap malam. Terkecuali jika Jiho meminum obat tidur terlebih dahulu, ada kemungkinan Jiho akan tertidur. Itu pun, Jiho hanya akan tidur di lantai tanpa menggunakan bantal juga tanpa menggunakan alas tidur apapun.

Setiap hari yang dijalani Jiho memang selalu terasa penat, namun hari ini ... rasa penat itu beramai-ramai menyerang jiwanya.

Bahkan hingga detik ini pun, masih sulit bagi Jiho untuk memercayai bahwa dirinya tengah mengandung. Hal yang telah menumpuk selama bertahun-tahun di pundak Jiho kian bertambah. Selain itu, Jiho amat tidak suka akan fakta bahwa ia tidak hanya bertanggung jawab atas nyawanya sendiri.

Setelah ini, apa yang harus dilakukan oleh Jiho ke depannya? Apa Jiho harus menjaga diri ... serta melindungi nyawa yang tengah dikandungnya? Tapi jika dipikir-pikir lagi, kenapa Jiho harus melindungi nyawa calon anak yang tidak pernah diinginkannya itu? Kenapa Jiho harus repot-repot menjaga diri hanya demi memperjuangkan kehidupan nyawa yang ada di kandungannya itu? Padahal tujuan Jiho selama ini, Jiho ingin menghabiskan seluruh tabungannya lalu pergi meninggalkan dunia yang begitu keji.

Tanpa sadar, Jiho melontarkan rentetan kata kasar. Bukan untuk calon bayi itu, melainkan untuk dirinya sendiri, juga untuk kehidupannya yang sedari awal tidak lagi terasa berharga.




 Bukan untuk calon bayi itu, melainkan untuk dirinya sendiri, juga untuk kehidupannya yang sedari awal tidak lagi terasa berharga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HURT; (Don't) Make Me Feel Better (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang